1 | Penjual Minuman Manis

1.5K 38 0
                                    

Aku takut sendiri, aku takut dengan yang namanya sepi. Yang dulunya aku hanya anak introver, tidak suka bergaul dan berdiam diri rumah, kini menjadi seseorang yang kecanduan keramaian. Bayangan itu hadir seperti kaset rusak di kepalaku, entah apa yang terjadi, yang jelas aku takut sendiri. Bagiku, sendiri adalah ancaman, memori di kepala terus memutarkan sebuah kejadian menyeramkan yang aku sendiri tidak tahu. Menurut Kak Salsa, keluarga satu-satunya yang peduli dengan manusia aneh ini, aku lupa sebagian dari masa lalu, hanya tersisa phobia yang begitu menyiksa.

"Rima!" teriak Kak Salsa, padahal dia ada di sampingku, tetapi manusia yang satu ini sungguh anu.

Aku mendengus. "Apa?"

Lihatnya gadis itu malah tersenyum kecil, lalu kembali sibuk dengan laptopnya lagi. Kebiasaanku ini tidak bisa dipungkiri, aku seperti bayangan kakak kandung sendiri. Di mana ada dia, di situ pasti ada aku. Rima Berliana. Tidak ada yang tidak kenal denganku, di sekolah aku hampir mengenal semua penghuninya, termasuk ibu kantin.

"Kak, gue bosan. Keluar yuk, cari cogan." Ucapanku seperti angin lalu, dia masih sibuk mengetik sebuah cerita yang ada di kepalanya. Kakakku itu emang tukang halu, hobinya menulis, walaupun pembacanya sedikit.

"Kak, ayok cari cogan," ajakku sembari menarik pergelangan tangannya. Walaupun dia kakak, tetapi badanku jauh lebih besar dari dia. Sampai ada yang bilang, kak Salsa adalah adikku. Pengen banget berteriak di telinga orang-orang yang melontarkan kalimat tersebut. Namun, aku juga memiliki malu, jika aku berteriak, nanti aku viral dan jadi pembicaraan banyak orang. Kadang aku heran, kenapa kak Salsa itu imut-imut kok aku amit-amit. Sebenarnya saudara kandung bukan?

"Mau ke mana sih, Dek?" tanyanya membuatku menghentikan langkah.

"Ke mana aja, Kak. Yang penting ketemu cogan." Mendengar jawabanku Kak Salsa hanya pasrah. Dia memang kakak terbaik di dunia ini. Dia yang memeluku saat phobia datang, dia menggenggam tangan erat saatku tidak percaya diri, bahkan dia rela tidak naik kelas hanya ingin sekelas dengan adiknya ini.
"Itu cogan, Dek," tunjuknya sembari tersenyum sumringah. Dasar cewek bar-bar, lihat cowok ganteng langsung senang. Aku juga gitu sih.

Terlihat jelas, lima cowok ganteng tengah bermain basket. Percayalah cowok ganteng kalo lagi keringatan gantengnya plus-plus. Kalo kata Mei-Mei mah 'aku suka, aku suka'. Aku langsung menarik tangan Kak Salsa, tetapi bukan untuk mendekati cowok-cowok ganteng itu, aku menarik Kak Salsa ke penjual minuman terdekat.

"A ieu baraha?" tanyaku sembari mengambil air mineral.
Penjual minuman itu masih dibilang muda, dia juga ganteng, kulit sawo matang dan lesung pipi yang dia miliki membuatnya terlihat manis.

Dia tersenyum, lalu menatapku. Duh salah tingkah nih dedek bang. "10 ribu neng geulis."

Mendengar gombalannya membuatku tersipu. Asli ganteng guys. "Nih A, hatur nuhunnya Aa manis."

Penjual minuman tersebut hanya terkekeh, yang malah membuatku tersenyum malu. Aku menoleh ke belakang mendapati Kak Salsa tengah memasang raut muka jijik.

"Kenapa? Enek lihat muka adiknya?" tanyaku pura-pura ngegas, dia langsung tersenyum kecil.

"Bukan enek, cuma anu aja lihat tingkah lo."

Tanpa memedulikan kakak, aku memutuskan mendekati cowok-cowok ganteng yang tengah bermain basket.

Aku jadi berharap bola basket itu mengenai kepala, terus aku pingsan dan salah satu dari mereka menggendongku. Setelah itu berantem, kenalan, pacaran deh.

"Woy, Dek. Kenapa bengong?" tanya kak Salsa mengacaukan khayalanku ini. Dengan wajah masam, aku menggeleng.

Pandanganku tertuju pada kelima cowok ganteng di depan, tanganku menggenggam tangan kak Salsa. Membayangkan salah satu cowok yang tengah bermain basket itu menggenggam tanganku sembari tersenyum semringah. Sepertinya aku keracunan tulisan kak Salsa, karena sebelum dipublikasikan kakakku itu mewajibkan adiknya yang baik, manis, dan tidak sombong ini untuk membaca ceritanya terlebih dulu.

"Jangan halu di tempat rame, nanti dikira gila." Mendengar suara Kak Salsa membuatku mendengus dan kembali memperhatikan cowok-cowok ganteng tersebut. Kegiatan ini menjadi kebiasaanku dan Kak Salsa, awalnya sih aku yang diajak, tetapi karena aku ketagihan, aku jadi yang sekarang mengajak Kak Salsa cuci mata.

Aku dan kak Salsa hanya bisa terpesona, bahkan sampai mereka mulai beranjak pergi. Rasanya ingin sekali mengelap keringat itu, apalagi saat salah satu dari mereka melirik kami sekilas. Walaupun hanya melirik, tetapi mampu membuat pipiku dan Kak Salsa tersipu.

Langit sudah mulai berwana orange, jadi melihat para cowok ganteng itu meninggalkan lapangan, aku dan Kak Salsa kembali pulang.

Sesampai di rumah, aku melihat mobil hitam milik papa terpakir rapi. Merasakan tangan Kak Salsa yang berkeringan dingin, membuatku menoleh. Kak Salsa tentu berbeda denganku, dia akan sangat terpukul jika mama dan papa ada di rumah, yang tandanya rumah akan ramai dengan suara teriakan dan umpatan kedua orang yang kami sebut orang tua.

"Enggak usah gelisah gitu, Kak. Nanti kita bikin party di kamar, musiknya yang besar supaya enggak denger suara mereka." Aku sebagai adik mencoba menenangkan Kak Salsa, jika bukan aku siapa lagi? Kak Salsa takut pertengkaran, tetapi aku malah suka, karena dengan mereka bertengkar, aku akan merasa ada orang di rumah.

Tanpa meminta pesetujuan pemilik tangan, aku menariknya sedikit kasar, jika tidak kasar mungkin aku tidak bisa membawa kakak kesayanganku ini masuk rumah.

"Saya mau cerai!" teriak seorang wanita paruh baya. Iya, dia mamaku.

"Saya juga maunya gitu, tapi dengan kita cerai warisan kita akan ada di tangan dua anak tak berguna itu!"

Tidak mau membuat Kak Salsa semakin tertekan, aku langsung berjalan sembari menarik tangan Kak Salsa menuju kamar. Lalu menghidupkan musik dj dengan volume full.

Tanganku menggoyangkan tangan kak Salsa untuk menari, lalu gadis cantik tersebut tersenyum ke arahku. Kami berpesta malam ini, tidak perlu memikirkan kedua orang yang tidak pantas dipanggil orang tua.

Rahasia RimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang