ONE

48 7 0
                                    

Ketika ku sebut hidupku bahagia, ternyata didalam kebahagiaan itu tersimpan luka yang sangat dalam.

Bila banyak orang yang menyebut ayah adalah cinta pertama namun bagiku itu adalah kesalahan terbesar yang pernah terucap dari mulutku untuk pria dewasa yang dulu kusebut ayah.

Seseorang yang telah menghancurkan segalanya termasuk mimpinya membuat gadis yang baru berusia 18 tahun itu sangat membenci lelaki terlebih kepada lelaki yang dulu ia sangat sayang yaitu ayahnya.

Ayahnya menghancurkan semua kebahagiaan yang telah ia bangun bersama ibunya hanya dengan hitungan beberapa detik saja.

Ketika itu ia sangat bersemangat saat seorang wanita yang biasa dipanggil Ibu mengajaknya untuk mengirimkan bekal makan siang untuk ayahnya yang sedang berada dikantor.
Sehingga ia rela mengesampingkan segala urusanya hanya untuk bertemu lelaki yang selalu mengajaknya jalan-jalan diakhir pekan.

Disaat ia sampai untuk menggampai pintu ruang kerja ayahnya dengan ibunya yang masih berdiri disamping, ia membuka pintu itu dengan tidak sabaran, tapi ketika melihat lelaki yang biasa disebut ayah itu  seakan dunianya gelap. Beberapa detik ia tak dapat mencerna apa yang dilihatnya seluruh badannya bergetar dan napas tercekat seakan-akan sulit untuk bernapas ditambah buliran air mata yang ia tidak tahu kapan sudah mengalir dengan derasnya di kedua pipinya.

Lalu ia menengok melihat kesamping untuk melihat ibunya yang sudah menangis tanpa bersuara, disaat itu seakan dunianya runtuh. Baru pertama kali seumur hidup ia melihat ibunya menangis dan itu menambah dunia ini hancur seketika. Ia tak percaya dengan apa yang terjadi, lelaki itu berselingkuh  dengan clientnya tepat di depan mata gadis itu dan ibunya.

Ayahnya melihat ke pintu dengan tatapan yang sulit diartikan antara kaget sedih dan menyesal ia tak tahu dengan apa yang dilihat sekarang apakah itu benar istri dan anaknya.

Lalu lelaki itu melepas wanita yang sedang duduk dipangkuanya dan berjalan kearah kami, lantas aku dan ibuku mundur seketika dengan menatap lelaki itu dengan pandangan jijik.

Aku berucap dalam hati bahwa mulai detik ini ia benci dengan namanya lelaki terlebih dengan ayahnya.
Ibu dari gadis itu menggenggam tangan anaknya dengan sangat kuat lalu berlari menuju lift menghiraukan lelaki yang meneriakan namanya.

Didalam lift ia masih saja menahan tangisnya agar tidak terlihat lemah didepanku dan tak tau harus bagaimana setelah ini.

"Novelia dengarkan ibu, lupakan apa yang tadi kamu lihat anggap saja semuanya tidak pernah terjadi dan lupakan ayahmu karena detik ini ibu akan bercerai dengan dia. Setelah ini kita akan pulang lalu kemaslah pakaianmu karena ibu tidak sudi untuk melihat dia lagi." Ucap ibu sambil menahan tangisannya.

Aku hanya mengangguk saja dengan ucapan ibu seakan mengerti dengan apa yang dirasakan dia.

"Ibu..." sela novelia, terjadi keheningan  yang cukup lama.

"Jika kau ingin menangis, menangislah aku tak akan ikut menangis."

Ibu pun menghambur kedalam pelukanya menumpahkan segala yang ada dalam hatinya saat ini sambil menangis sejadi jadinya. Novelia berjanji pada ibunya bahwa ia tidak akan menangis, tapi baru beberapa menit ia berjanji ia sudah mengikarinya

"Maafkan aku novelia. Aku sudah menjadi orangtua yang egois." Sesegukan ibunya disela pelukan mereka

"Ibu dengarkan aku, ini semua bukan salah ibu jadi berhenti menyalahi diri sendiri."

"Tapi, aku sudah menjadi orangtua yang tidak berguna untukmu."

Novelia menghela napas sejenak,

"Ibu kau salah, kau adalah harta yang paling terpenting dalam hidupku. Tak ada yang aku ingin selain dirimu. Jadi  berhentilah menangis aku tak mau melihat mu seperti ini. Kita akan membangun semuanya dari awal, hanya berdua tak ada yang menganggu kita jadi berhentilah menangisi lelaki itu. Aku tak ingin ibu terlihat lemah." Ucap diriku dengan suara yang sedikit gemetar.

Dentingan suara pintu lift menyadarkan kita lalu ibu melepas pelukan dengan masih mengenggam tanganku menuju mobil yang ada diparkiran. Ibu mempercepat langkahnya saat lelaki itu kembali meneriakan namanya.

Aku langsung bergegas masuk mobil sesampainya di parkir, ibu pun melakukan seperti yang aku lakukan.

"Julia berhenti.... ini tak seperti yang kau lihat. Maafkan aku.." sanggah lelaki itu sambil menggedor gedor kaca mobil sebelah kanan.

Tapi ibu menghiraukan lelaki itu dan menambah kecepatan mobilnya agar sampai cepat dirumah lalu pergi untuk selamanya.

Aku melihat ke kaca spion, lelaki itu menangis dan berlalu menuju mobil miliknya.

"Ibu... apakah kau baik-baik saja." Inisiatifku agar menghindari kecanggungan diantara kami.

Ia hanya membalas dengan anggukan kecil sambil melihat kearahku seakan berkata aku baik-baik saja, lalu kembali kearah jalanan.

Sesampainnya dirumah aku langsung masuk kekamar untuk melakukan apa yang tadi ibu suruh saat di lift dan mulai mengkemas pakaian dan barang-barang yang menurutku penting. Lalu keluar menuju kamar ibu yang sudah siap dengan membawa dua koper besar.

Pintu depan dibuka dengan sangat keras menampilkan lelaki yang tadi ia lihat diparkiran. Tubuhnya kembali bergetar dan menengok kearah ibunya yang dibalas dengan satu anggukan.

"Kita akan menghadapinya bersama." Ucap ibunya seolah mengerti apa yang aku pikirkan.

"Julia apa yang kalian lakukan? Mengapa membawa koper? Novelia mau kemana kamu? Mengapa membawa koper juga?."

Ayahnya berjalan menuju mereka berdua lalu membrondong dengan banyak pertanyaan.

"Sudah cukup berbasa-basinya? Kami akan pergi dan jangan pernah mencari kami lagi. Kurasa semuanya sudah cukup dan aku sudah memutuskannya dalam 2hari pengacaraku akan membawa surat penceraian dan kau jangan mempersulitnya karena aku sudah melihat semuanya." Ucap ibu dengan panjang lebar.

"Apa yang kau bicarakan julia? Aku tak mengerti. Lalu apa dengan surat penceraian? Aku tak ingin berpisah dengan kalian. Kumohon dengarkan penjelasanku dulu, ini tidak seperti yang kau lihat julia. Kau jangan jadi orangtua yang egois untuk novelia, kita akan memilih jalan yang benar julia. Kumohon jangan tinggalkan aku." Sergah ayah dengan wajah yang hampir menagis.

"Apa katamu, tidak seperti yang kau lihat? Lalu bagaimana jika dengan seorang client yang duduk dipangkuan bossnya? Apakah itu wajar? Dan yah kau benar, aku sudah menjadi orangtua yang egois. Dan aku sudah memilih jalan yang benar, jangan mempersulit kami untuk keluar dari rumah ini."

"Julia....ini tidak benar."

"Novelia dengarkan ayah ini tak seperti yang kau lihat, aku sangat menyayangimu jangan tinggalkan ayah sendiri novel..." ucap ayah padaku yang semakin membuyarkan tangisanku.

Hendak aku ingin menjawab pertanyaan ayah, tapi ibu sudah membawaku keluar rumah untuk masuk kedalam mobil. Aku menengok kebelakang untuk melihat ayah yang sedang menangis tanpa berniat untuk menyusulku.

Aku berkata dalam hati bahwa ini jalan yang terbaik dan aku tidak akan menyesalinya. Juga ini akan terakhir kalinya ia menangisi seorang lelaki dan akan menjaga ibu dengan segenap hidupnya.















*Hai... ini cerita pertamaku di wattpad. Aku gak berharap banyak kok cuma berharap kalian suka aja sama cerita ini. Dan jangan lupa tekan bintang yah....*

IT'S (not) MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang