Suatu Hari Hujan Turun

26 4 3
                                    


    Hembusan angin berdesir halus mencium lembut leherku, gema guntur membayang dibalik kilatan petir memecah langit ku, gemericik air mengalir dengan tanpa ampun membasahi bumiku. Hari ini hujan turun sangat deras. Mengingatkanku akan suatu hal. Membuat Aku merasa marah, benci, takut, sedih dan segala macam perasaan lainnya yang berbaur menjadi satu. Lebih-lebih aku takut merasa kesepian. Hal yang paling ditakuti oleh semua orang. Hanya menatapnya saja membuat rasa sepi menjalar di dalam tubuh ini. Entah mengapa semua kenangan tentang hujan membuat rasa di hati ini menjadi sepi dan sakit. Aku memandang langit yang menghitam, dihadapkan pada dua pilihan. Mengenang atau melupakannya. Lalu Kupejamkan mata ini dan menunduk dalam, mengingat kembali masa itu.

                   ***
 
    Pagi hari itu, sangat sepi dan dingin. Di dalam rumahku tak ada kata, bahasa maupun tawa. Diluar terlihat gerimis cantik yang  membiaskan cahaya mentari. Mengguratkan lengkungan pelangi di ufuk barat sana. Indah, namun tak kumiliki indah pagi itu.
Karena aku merasa sepi dan sakit dalam peluk dingin. Menyantap sarapan tak senikmat pemandangan pagi ku. Hanya ingin bersama-sama itu cukup, lebih dari cukup. Tanpa perlu makanan mewah ataupun banyak. Aku akan sangat bersyukur bila kebersamaan bisa aku rasakan setiap pagi, siang, ataupun sore.

    "Gerimis... aku mohon. Jangan menambah sepi ini menjadi lebih dingin dan kaku." Aku melangkahkan kaki memasuki kelasku yang telah ramai dipenuhi oleh siswa siswi disini.

    Di Sekolah, aku berusaha menekan egoku untuk tetap tersenyum disaat aku bersama teman-temanku. Perasaanku selalu menjadi lebih baik  apabila melihat senyum dan tawa yang keluar dari mereka. Mereka sahabatku, temanku, sebagian dari jiwaku, yang tidak pernah tau sepiku. Hanya saja mereka berhasil membuat aku tertawa. Menutup sebagian lukaku. Tapi, terkadang tawa itu menjadi luka dimataku. Sebab rasa iri, aku benci melihat tawa yang menertawakan tawa. Aku tidak memilikinya dalam diamku.

    Mengingat marah Ayah ketika hujan, aku diam di balik buku yang kupegangi tapi tidak aku baca. Seringkali aku jadikan perpustakaan sebagai tempat pelarian atau persembunyian. Aku lari dan sembunyi dari keramaian, tidak mau menambah sepiku di keramaian. Aku mempunyai keputusan dan berhak lari dari hatiku sendiri. Sekarang aku menatap jendela dan merasakan angin berhembus melalui celah jendela. Gerimis pagi tadi kini menjadi hujan yang semakin deras setiap jamnya. Aku kedinginan, tersenyum lalu bersedih.

    Ayah benci hujan, sebab ibu pergi ketika hujan turun. Ibu tak pernah kembali. Aku juga adikku besar dan hidup hanya ditemani Ayah dan kemarahannya akan hujan. Setidaknya yang aku lihat, Ayah membenci hujan atau aku salah karena hanya melihatnya saja? Entahlah. Ayah tidak pernah cerita kemana Ibu pergi. Karena itulah keluargaku seakan tak pernah ada! terutama saat Ayah merasakan air hujan. Ayah menangis dan rumahku akan hening. Tiada yang berani mengusik jiwa-jiwa sepi yang terbius oleh pikirannya masing-masing. Mengingat hal itu membuatku jadi miris sendiri. Aku menutup buku dan mendapati wajah yang tersenyum memandangiku di seberang meja. Ringan Dia merebut buku yang ku pegangi.

    "Hai.... sore nanti kamu jadi kan latihan bareng aku!!!" Dia menyapa dengan senyumnya yang membuat aku iri. Senyumnya tanpa ada beban. Sangat melayang tanpa tekanan.

    "Azura!!! Kamu bikin kaget saja."

    "Kamu harusnya tahu dong! Nanti sore kita latihan bareng Deva. Keren kan?"

    "Ya keren buat kamu! Buat aku??? Kan kamu tahu aku gak begitu gimana sama dia."

    "Awas... nanti jadi suka loh. Katanya dulu ngefans sekarang benci. Diam diam entar cinta loh!"

    Aku tidak menghiraukan ucapannya. Azura menarik tanganku berlalu meninggalkan perpustakaan yang mulai ramai. Dia sahabatku tapi tidak tahu hatiku. Karena aku tidak pernah memberinya cerita luka dan sepiku. Cukup berteman dengannya saja membuat aku merasa ada di bumiku ini. Dia tidak perlu mengetahui hatiku atau jiwaku, karena cukup jiwanya separuh dalam diriku adalah bahagiaku. Itulah salah satu alasanku bisa tersenyum bersama temanku.

Jerami MembekuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang