L-17

2.3K 220 37
                                    

...

Iqbal tahu yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Memeluk Bia di saat orang yang dicintainya sedang mengalami kesedihan yang sama besarnya. Iqbal tahu Lentera kuat, Iqbal tahu Lentera terbiasa menanggung sebuah beban sendirian, sebab itulah ia mendekati Bia, menerima pembagian beban dari gadis itu.

Tapi Iqbal tak tahu kalau Lentera sudah jatuh sejak lama, Lentera sudah kalah sejak lama, Lentera sudah tak mempunyai cukup ruang lagi untuk setiap masalah yang berdatangan dalam hidupnya.

Kini Iqbal hanya bisa menunggu di depan kamar perempuan itu, sedangkan yang lain sudah mengerubungi Lentera-nya.

"Tidak ada masalah, dia hanya lelah. Sepertinya juga dia belum makan," ucap Dokter kepada Mami dan Papi. Dokter Wijaya melirik ke arah Lentera yang masih berbaring. "Benar kan?" Tanyanya pada Lentera tentang ia yang belum makan seharian.

Lentera mengangguk lemah, tangannya terangkat memegangi lukanya yang sudah diperban.

"Nah, kalau begitu jangan lupa makan. Jangan terlalu banyak bergerak, cukup istirahat dan tenangkan pikiran supaya kamu bisa pulih dengan cepat." Kata Dokter Wijaya kepada Lentera. Lentera mengangguk sebagai jawaban. Dokter Wijaya tersenyum ke arah Mami dan Papi, lalu meninggalkan kamar Lentera.

Sepeninggalan Dokter Wijaya, Iqbal masih terdiam di ambang pintu bersama Bia yang berdiri di belakangnya.

Kehadirannya sudah tak diterima lagi di rumah ini.

"Ngapain lo masih di sini?" Tanya Aldi yang hendak memasuki kamar Lentera. Iqbal mendongak, lalu menjawab. "Gue--"

"Lo harusnya pergi dari sini, Bal. Lentera juga kayak gitu karena lo dan Mama lo. Baru ini gue bilang jujur kalau gue nyesel pernah anggep lo sebagai sahabat gue."

Gue nyesel pernah anggep lo sebagai sahabat gue. Perkataan terakhir Aldi tadi menggema di telinga Iqbal. Ia tak pernah menyesal telah menjadikan Aldi dan Kevin sebagai sahabatnya. Ia malah merasa beruntung. Tapi ia salah, Aldi tak pernah merasa beruntung mempunyai sahabat seperti dirinya. Iqbal tak tahu apa jadinya jika Kevin yang sekarang lebih dekat dengan Aldi mengetahui hal ini. Mungkin Kevin akan mengatakan hal yang sama.

Brak.

Suara pintu yang ditutup dengan keras menyadarkan Iqbal dari lamunannya. Lelaki itu menghela napas, lalu menoleh ke belakang.

"Kita pulang ke rumah, ya." Ucap Iqbal sambil membawa tangan Bia ke dalam genggamannya. Iqbal tahu hatinya panas tiap kali menatap perempuan itu, tapi ia tak mau kesalahan yang sama terulang lagi. Mamanya mungkin salah, tapi tidak dengan Bia.

Mungkin ia harus menerima kenyataan kalau Tuhan memang tidak mengizinkan dunia menjadi luas untuk mereka.

...

"Ra, makan, ya. Tadi kata dokter lo harus makan." Pelita yang duduk bersila di atas kasur terus memaksa Lentera untuk membuka mulutnya.

Seperti terkunci, seperti terisolasi, bibir Lentera terus mengatup sekalipun matanya memperhatikan lurus ke pintu kamar.

Pelita kalah. Ia sadar sekeras apa pun ia memaksa, ia bukanlah tempat menangis yang tepat untuk Lentera. Pelita tahu mata Lentera berair, Pelita tahu kekecewaan adiknya itu lebih besar, Pelita tahu Lentera ingin terisak. Tapi bukan di depannya, melainkan di depan seseorang, jika bukan Oma, bukan Tante Riska, maka jawabannya adalah Iqbal.

MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang