L-21

2.5K 231 8
                                    

Sudah ada kesepakatan antara semesta dan takdir.

...

Cahaya yang begitu terang masuk ke dalam mata Iqbal kala ia membuka matanya. Tak butuh waktu lama, mata Iqbal sudah bisa menyesuaikan diri dengan terangnya cahaya di tempat ia berdiri sekarang.

Tempat yang asing, tempat yang lebih indah dibandingkan Teropong Angkasa. Iqbal tersenyum kala sebuah ide untuk mengajak Lentera bermain ke tempat ini terlintas di pikirannya.

Tapi, di mana motor Iqbal? Di mana hiruk piruk kota Jakarta yang biasa ia jumpai?

"Hei," sapa suara seorang wanita dari belakang. "Aku udah nunggu kamu dari kemarin."

Iqbal membalik tubuhnya, lalu tersenyum kala melihat Nada berdiri tak jauh di hadapannya.

Tapi, senyum itu menghilang kala pertanyaan mengapa ia bisa melihat Nada terlintas di benaknya.

"Ini tempat apa?" Tanya Iqbal. Matanya menjelajah, tapi yang ia temui hanya sebuah pelangi dan air terjun kecil yang sangat indah.

"Jangan takut, Bal. Kamu akan terbiasa di sini, sama seperti aku." Jawab Nada. Gadis itu melangkah mendekati Iqbal. "Ikutin aku," lanjut Nada.

Iqbal mengikuti ke mana langkah gadis itu berpijak. Tak ada orang selain mereka berdua, yang terdengar sejauh ini hanya suara gemercik air terjun. Sampai akhirnya telinganya menangkap suara yang begitu lemah, suara orang yang sedang berdoa.

Doa-doa itu pun bisa ia dengar, terdengar lebih jelas dibandingkan gemercik air terjun tadi.

Istirahat selama yang kamu mau, tapi jangan lupa kalau doaku selalu ada untuk kamu. Terbuka atau terpejamnya mata kamu. Dengar atau tidaknya kamu. Yang penting, aku sudah tenang karena aku tahu Tuhan dengar doa-doaku.

Iqbal kenal suara itu, suara seseorang yang ingin ia temui. Itu suara Lentera. Iqbal tidak mungkin salah dengar.

"Di mana Lentera?" Tanya Iqbal. Nada menoleh, tersenyum tipis kala doa-doa yang diucapkan Lentera terus-menerus ia dengar.

"Jauh, bisa kita lihat, ada di depan mata kita, tapi terasa begitu jauh. Nggak bisa kita sentuh sekalipun tangan kita sampai."

"Nada," panggil Iqbal lirih. "Ini tempat apa?"

"Istirahat. Kamu yang menentukan ingin istirahat selamanya atau hanya sementara. Kalau aku, Tuhan ingin aku beristirahat selamanya."

Iqbal merasakan sesuatu yang sangat berat jatuh menimpa kepalanya, ini tempat istirahat.

Padahal, yang ia ingat, ia tak pernah meminta untuk beristirahat sejenak selelah apa pun ia pada ujian Tuhan.

"Di sini enak. Kamu bisa terus ada di samping orang yang kamu sayang, tanpa takut kenyataan dan takdir akan marah."

Iqbal menoleh pada Nada. Itu pun ia tahu, karena ia pernah memberitahu Lentera tentang hal itu.

"Kita bisa melihat dunia tanpa harus menjadi bintang." Nada menyentuh pundak Iqbal, tersenyum manis kala pria itu menoleh. "Istirahat selamanya, ya?"

MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang