1. Kepergian Ibu

22 0 1
                                    

"Assalamualaikum" aku mengucap salam sambil mengetuk pintu depan rumah.
Dari dalam terdengar suara langkah kaki dan suara seorang wanita sambil menjawab salamku "Waalaikusalam, tunggu sebentar".
Pintu terbuka dan kulihat ibu dengan baju daster kebesarannya. Aku langsung memeluk ibu. Aku rindu ibu. Ibu mengusap rambutku pelan sambil melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah diikuti oleh aku.
Aku masih memeluk tubuh ibu sambil tangan ibu mengelus rambutku. "Gimana wawancaranya kemaren dek?" Tanya ibu lembut.
Aku merengut sedetik kemudian menghempaskan nafas. "Ndak tau bu, katanya nanti nunggu tiga minggu sampai sebulan baru pengumuman hasilnya. Do'akan saja ya bu yang kali ini jadi rezeki". Jawabku sendu.
Ibu hanya mengangguk mengerti atas jawabanku. Ya, aku kini berusia 24tahun. Dua tahun yang lalu aku menyelesaikan S1ku, dan selama itu aku luntang-lantung menjadi pengangguran. Aku tak tau aku harus bersedih seperti apa lagi mengenai hal ini.
Hari ini aku baru pulang dari ibu kota setelah menghadiri undangan wawancara dari salah satu perusahaan tempat aku melamar pekerjaan. Karena sudah seperti kebiasaan, aku kali ini juga tak memiliki harapan yang cukup besar. Mungkin karena aku sudah terlalu sering gagal dalam berbagai seleksi mencari pekerjaan. Maka untuk hasil kali ini aku juga pasrah saja apapun hasilnya.

***
Aku mengerjapkan mataku untuk memulihkan kesadaranku dari tidur ketika pintu kamarku di ketuk. Sambil setengah sadar aku menjawab "masuk saja, pintunya tidak dikunci". Lalu kudengar pintu yang terbuka dan kemudian ditutup lagi.
Aku duduk di kepala ranjang dan ibu duduk di depanku. Wajah ibu terlihat sendu, walaupun senyum merekah dari bibirnya. Lalu tangan ibu mengelus pipiku lembut. Aku hanya setengah melongo melihat perilaku ibu kepadaku. Selama ini walaupun terkadang manja tapi ibu tidak pernah bersikap seperti ini terhadapku.
"Ada apa bu?" Tanyaku lembut sambil menatap masih dengan tatapan heran pada ibu.
Ibu hanya tersenyum, tanganya menggenggam tangaku. "Nara, ibu baru sadar kalau kamu sudah besar sekarang. Sebentar lagi kalau kamu sudah bekerja pasti kamu akan meninggalkan ibu. Dan sepertinya ibu akan susah untuk menjaga kamu lagi setelah itu. Makanya nanti kalau kamu sudah bekerja sendiri jangan lupa menabung ya dek". Ucap ibu masih sambil tersenyum.
Aku hanya diam, tak tau harus menjawab apa. Jujur ibu tak pernah berbicara seperti ini kepadaku. Jadi aku masih tak tau harus bagaimana. Belum lagi aku menjawab ibu sudah menarikku kedalam pelukannya. "Besok kalau kamu sudah menikah, kamu harus jadi istri yang baik. Nurut sama suamimu ya. Ingatlah, saat kamu sudah menerima seorang lelaki menjadi suamimu itu artinya kamu sudah harus berbakti padanya, menuruti apa perintahnya selama itu baik. Jadilah istri yang penurut dan kurangi sifat tak mau terbukamu itu. Kau tau dek, nantinya dalam hubungan suami istri kejujuran adalah hal yang paling penting". Ucap ibu lembut, sangat lembut bahkan masih sambil memelukku.
Aku merenggangkan pelukan dengan ibu. Menatap mata ibu penuh dengan tanda tanya. Baru kali ini ibu mengajakku berbicara mengenai hal seperti ini. Apalagi ini mengenai pernikahan. Siapa yang akan menikah? Ya aku pasti ingin menikah, tapi kan tidak dalam waktu dekat ini. Lagi pula pacar saja aku tak punya lalu bagaimana aku akan menikah. Ahh ibu ada-ada saja ini.
"Ibu ini bicara seolah Nara mau pergi jauh bu. Lagian bu, kalaupun nantinya Nara kerja jauh kalau ada waktu libur Nara pasti pulang untuk ketemu ibu. Nara gak akan ilang-ilangan kayak Mas Fredy dan Mas Rendi kok. Jadi ibu tenang saja. Dan untuk masalah menikah, itukan masih lama bu. Nara saja masih jomblo ngenes gini". Jawabku asal sambil mengelus tangan ibu yang ada di pahaku.
Ibu lagi-lagi hanya tersenyum. Lalu ibu merogoh kantung dasternya, mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Aku mengernyit bingung ketika ibu meraih pergelangan tanganku dan memasangkan sebuah gelang emas di pergelangan tanganku. "Ini milik ibu, dulu ibu membeli ini dari hasil menyisihkan uang bulanan yang diberikan oleh bapak. Ibu ingin memberikan hadiah untuk putri ibu. Maaf baru setelah kamu sebesar ini ibu baru bisa memberikannya". Ucap ibu seraya mengusap pergelangan tanganku yang telah memakai gelang pemberian ibu.
Aku diam, tak terasa air mataku meleleh. Ibu tak pernah bicara sesedih ini padaku, bahkan ketika aku dulu sering menuntut ibu untuk membicarakan mengenai kedua kakakku ibu tak pernah terasa selemah ini. "Tapi bu, Nara yang harusnya berterimakasih sama bapak dan ibu karena sudah mau mengurus Nara. Mau mendukung Nara selama ini. Padahal Nara belum bisa memberikan apapun kepada bapak dan ibu". Ucapku sambil sesekali menghapus air mataku yang tak mau berhenti keluar.
"Nara, cukup kamu mau bertahan berada di sisi bapak dan ibu saja sudah cukup. Adanya Nara adalah hadiah terbaik untuk bapak dan ibu disamping kedua kakakmu". Ucap ibu sambil menghapus air mataku yang tak mau berhentiengalir.
"Nara, ibu tau kamu adalah gadis yang kuat. Apapun yang terjadi nanti Nara harus tau bahwa ibu tidak pernah sedikitpun meninggalkan Nara. Bahwa rezeki, jodoh dan mati itu telah ditentukan oleh Allah maka Nara harus paham benar bahwa Allah selalu bersama Nara. Jangan pernah takut semdirian dan ditinggalkan dek, karena Allah tidak akan meninggalkan". Ibu menjawab setiap perkataanku dengan halus dan lembut. Aku hanya mengangguk, tak tau lagi harus menjawab apa. Lalu aku dan ibu berbaring bersama diatas kasur. Ibu membelai rambutku dengan lembut dan entah karena halusnya elusan ibu atau memang aku yang lelah habis menangis aku terlelap.

CINTA KINARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang