2. Pemakaman

16 0 0
                                    

Air mataku tak berhenti menetes. Rasanya semua masih seperti mimpi. Ibu pergi. Meninggalkan aku untuk selamanya. Aku hanya bisa menatap kosong arah jenazah ibu yang telah di kafani. Disampingku bu Budi masih senantiasa memelukku dan menenangkanku, sebentar kulirik beliau juga ikut menangis. Aku bahkan seperti tak sanggup untuk membalas ucapan bela sungkawa dari semua tamu yang datang. Bibirku kelu hanya bisa menyebut kata "ibu" tak ada yang lain. Dalam keadaan aku seperti ini otakku terasa kosong, tak bisa berpikir apapun. Yang ada hanya rasa tak percaya bahwa ibu yang paling aku sayangi telah meninggalkanku. Hingga sebuah pelukan disertai tangisan membuatku tersentak dan ku dapati Budhe Marni, kakak ipar bapak yang merupakan kerabat terdekatku menangis histeris melihat ke arah jenazah ibu.
"Sabar ya nduk, ikhlaskan ibumu". Ucap budhe Marni sambil mengelus rambutku dengan sayang.
Aku hanya membalas dengan mengangguk sebentar. Lalu aku kembali memandangi jenazah ibu lagi. Air mataku tak berhenti mengalir. Entahlah, rasanya hatiku kosong. Aku bahkan tak bisa merasakan apapun disekitarku. Suara orang-orang yang mengaji maupun berbiacara hanya terdengar seperti dengungan. Bahkan aku tak tau dimana bapak. Seingatku dari semalam aku pingsan sampai pagi ini aku tak melihat bapak.
Suara imam masjid yang datang kerumah untuk membantu mengurus acara pemakaman ibu mengagetkanku. "Nara, apa ada keluarga yang masih mau ditunggu kedatangannya? Kalau tidak, pemakam ibumu bisa dilaksanakan lebih cepat lebih baik" kata beliau.
Aku diam dan merenung. Aku tak lagi-lagi tak bisa berpikir. Otakku benar-benar kosong. "Apa kedua masmu pulang? Kalau iya, kita bisa menunggu tapi kalau mereka berdua tidak pulang maka pemakaman busa kita lakukan sekarang" kali ini aku mendengar suara Bu Budi yang masih setia disampingku.
Pikiranku mulai bekerja, dan aku baru ingat bahwa aku tak sempat mengabari Mas Feerdy ataupun Mas Rendi. Aku baru saja akan merenggangkan pelukan Bu Budi dan beranjak berdiri untuk mencari handphone ketika ada seseorang yang memelukku. Kali ini pelukannya erat. Aku diam. Rasanya dadaku sesak karena pelukan ini hingga kurasakan ada tetesan mengenai rambutku. Tepukan pelan dipundak kami berdua merenggangkan pelukan kami. Aku baru menyadari bahwa yang tadi memelukku adalah Mas Rendi dan yang menepuk pundak kami berdua adalah Mas Ferdy. Tak ada yang bicara diantara kami bertiga. Hanya saling memandang dengan sorot penuh duka. Mas Ferdy mengelap air mataku yang masih terus saja menetes tak mau berhenti dan Mas Rendi lagi-lagi mengecupi puncak kepalaku sambil masih sesenggukan. Ajakan para bapak-bapak untuk segera mensholatkan jenazah ibu membubarkan pelukan antara kami. Kini aku berdiri dipojok rumah sambil di peluk Budhe Marni yang masih sesekali menghapus air matanya yang menetes.
"Budhe nanti nginep disini kan?" Tanyaku pada Budhe Marni, suaraku sebenarnya lebih terlihat seperti bisikan.
"Iya Nara, budhe nginep disini sampai 7harinya ibumu. Kamu jangan khawatir ya". Ucap budhe marni sambil mengelus rambutku.
Aku hanya mengangguk tanda mengerti. Mataku masih mengerjap-ngerjap mencoba menghalau air mata yang terus turun tanpa mau berhenti.

Sholat jenazah sudah selesai dilakukan. Kini semua bersiap untuk membawa jenazah ibu ke pemakaman. Aku sudah mulai agak tenang, walau sesekali masih menangis. Karena jarak yang tudak terlalu jauh maka kami semua sepakat untuk berjalan kaki. Aku berjalan dibelakang keranda ibu dengan dipeluk dari kanan oleh Mas Rendi dan lengan kiriku tak hentinya di elus oleh Mas Ferdy. Tak ada yang memungkiri bahwa kepergian ibu yang sangat tiba-tiba menanamkan kesedihan mendalam untuk kami.
Kami berjalan perlahan hingga gerbang pemakan sudah terlihat didepan. Mas Rendi dan Mas Ferdy tak pernah sedetikpun melepaskan pelukannya teehadapku, seolah mereka melindungi aku agar aku tak jatuh. Memang tanpa sokongan dari kedua kakakku mungkin aku sudah duduk sambil menangis meraung-raung.
Prosesi pemakaman mulai dilakukan. Ketika jenazah ibu mulai dimasukkan kedalam liang lahat, aku tak kuasa menahan diriku. Aku berontak, menangis, meraung dan berusaha berlari untuk menghalangi bapak-bapak yang entah siapa saja aku tak peduli untuk memasukkan jenazah ibu. Mas Rendi dan Mas Ferdy mengejar aku dan langsung memelukku yang histeris sambil menuntunku membaca istighfar. Sementara proses pemakaman tetap dilanjutkan.
Badanku terasa lemas dan aku di dudukkan di kursi kayu pendek yang entah didapatkan dari mana ketika proses pemakaman hampir selesai. Ketika pembacaan do'a terakhir sebelum semua bubar aku baru menyadari kehadiran bapak. Bapak berdiri diantara para pelayat yang lain sambil sesekali menyambut uluran tangan dan menjawab ucapan bela sungkawa dari para pelayat.
Aku menatap bapak dengan sendu, entahlah aku tak tau dengan apa yang aku rasakan. Bukan serta merta aku menyalahkan bapak begitu saja, tapi aku merasa bapak adalah orang yang seharusnya memikiki penjelasa paling logis mengenai kepergian ibu.
Pandanganku terhadap bapak ternyata diikuti oleh Mas Ferdy, Mas Rendi dan Budhe Marni yang masih berada disampingku.
"Ada apa Nara?" Tanya Mas Ferdy dengan lembut sembari berjongkok menjajarkan dirinya  kepadaku.
Aku mendongak sambil menggeleng, aku hanya tak tau bagaimana memulai bercerita.
"Kamu bisa bercerita kepada kami Nara" kali ini Mas Rendi yang bicara dan entah sejak kapan ikut berjongkok pula disebelahku.
Kini posisiku duduk di kursi dengan diapit oleh Mas Rendi dan Mas Ferdy yang berjongkok di sisi kiri dan kananku. Sementara Budhe Marni berdiri agak jauh dibelakangku yang masih menyalami dan berbicara dengan para pelayat perempuan.
"Aku...aakkuu...." Aku ingin bicara tapi air mataku yang mengalir hingga aku tergagap tak bisa meneruskan.
Kurasakan tangan Mas Ferdy mengelus lembut punggungku dan Mas Rendi mencium puncak kepalaku.
Aku menundukkan kepalaku sejenak lalu mendongak melihat keatas melihat awan kemudian aku menatap tajam kearah bapak. "Malam itu, saat ibu pingsan tamu bapak adalah Marta" ucapku lirih masih menatap tajam ke arah bapak.
Aku tak mengerti, apakah pernyataanku tadi memiliki arti penting tapi yang aku rasakan bahwa tubuh kedua kakakku langsung menegang ketika aku menyebut nama "Marta". Bahkan aku sekelebat melihat bahwa tangan Mas Rendi mengepal erat. Kami bertiga lalu masih dalam keheningan ketika bapak akhirnya menghampiri kami dan mengajak kami pulang, meninggalkan pemakaman ibu.

Perjalanan pulang dari pemakanam kami lalui dengan keheningan. Entah mendapat suntikan tenaga dari mana aku berjalan sendiri, kali ini hanya budhe Marni yang menggenggam tangan kananku tanpa pelukan kedua kakakku. Sementara dibelakangku bapak, Mas Ferdy dan Mas Rendi berjalan dalam diam tanpa satupun bicara.
Aku masih tak tau situasi seperti apa yang terjadi. Tapu ketika sampai dirumah Budhe Marni yang langsung di sibukkan dengan urusan dapur bersama ibu-ibu para tetangga meninggalkanku di ruang tengah. Aku yang duduk masih bisa melihat bahwa banyak tamu dari kenalan bapak yang datang. Bapak sendirian menemui tamunya, tak ku lihat keberadaan Mas Ferdy dan Mas Rendi.
Hari semakin siang ketika aku merasakan seseorang duduk disebelahku. "Kenapa tidak istirahat di kamar Ra?" Ucap orang tersebut, yang ternyata setelah aku menatapnya dia adalah Mas Ardi.
Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan dari Mas Ardi. "Kehilangan orang yang sangat berarti memang berat Nara, tapi bukan berarti kita harus terpuruk juga. Apa Nara mau kalau ibu sedih melihat Nara yang tak berhenti menangis seperti ini?" Ucap Mas Ardi mencoba menghiburku.
Aku hanya menunduk dan air mataku kembali mengalir. "Nara sayang ibu. Nara belum bisa membahagiakan ibu" ucapku jujur untuk membalas ucapan Mas Ardi.
Mas Ardi menggenggam sebelah tangaku lalu mengelusnya pelan dan lembut. "Ikhlaskan ibu pergu Nara, kelak ibu akan tenang. Jangan jadi Nara yang cengeng dan lemah, maka ibu pasti bahagia". Ucap Mas Ardi membalas perkataanku.
Aku hanya mengangguk dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Entahlah, kuat yang seperti apa yang akan dimiliki seorang anak yang baru saja ditinggalkan oleh ibunya.
Mas Ardi masih setia duduk disampingku dalam diam. Hingga aku merasakan tangannya merengkuhku dalam pelukannya dan mengelus lembut lenganku. Aku hanya diam sambil sesekali sesenggukan sampai aku tiba-tiba terlelap.
Aku masih setengah sadar ketika sayup-sayup aku meraskan gerakan tubuhku yang diangkat dan dibawa bediri. Selanjutnya aku sudah terlelap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CINTA KINARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang