SEKEPING SENJA

18 0 0
                                    

Untuk kali ini, aku tak ingin malam itu datang, cukup hari ini hanya sampai senja saja, aku tak ingin menyaksikan sebuah akhir, aku tak ingin ada di sana dengan sebuah sendu, aku tak mau melihatmu menghilang, malam, kumohon aku sedang tak berselera untuk disiksa.

Layaknya kabut yang menyambut malam, kau telah berhasil mengambil mimpiku kini saatnya pagi merubahmu menjadi sebuah kabut, menyejukan namun perlahan akan menghilang, layaknya es yang akan meleleh saat terkena panas, begitupun kamu tentunya ! Masamu yang akan mengering tak tersisa, uap mu akan menjadi kenangan di Atas awan lalu dia akan kembali teringat saat hujan rela jatuh berkali-kali, jadi saat hujan adalah saatnnya mengenang, hujan akan suguhkan kenangan tanpa terlewat.
Waktu selalu dalam jalur yang benar dia tetap dalam prinsipnya tak pernah berubah, tak akan terulang dan akan terus berjalan. Apa pernah waktu beringkar ? Dia tak pernah kembali walau hanya satu detik, dia akan terus berjalan, bagaimana pun kondisinya, sekacau apapun situasinya, dia akan tetap berlalu, tak pernah bisa berhenti atau terulang, begitulah sang waktu yang selalu berhasil memukau
Rasanya ingin ku ulang setiap waktu yang indah, setiap waktu saat kamu ada di sampingku atau aku akan memohon agar waktu menciptakan mesin fotocopy, dimana aku bisa menggandakan perawakan mu, semua konyolmu, kelakukan gila mu, ah ya tuhan, keinginan apalagi ini, bahkan aku menginginkan semua kegilaanmu. Baiklah ! Akan aku perbaiki bagiamana caraku memuja seseorang.
***
Hei ...!
Hari ini aku memutuskan untuk tetap menyapanya, membiarkan mataku tak mengedip saat dia berhasil mencuri semua pandangan ku, saat telapak tangan itu mengambil alih luber pipiku dengan sengaja ku nikmati setiap belainya, ku ijinkan dia membasahi bibirku dengan cara yang indah meski penuh dengan salah.
***
"Treaveling pack ? Handuk ? Cuci muka ?" Entah mantra macam apa itu namanya, aku menggeleng tak ada satupun yang ku ajak masuk kedalam tas ku untuk perjalanan kali ini, laki-laki itu menyerah dengan semua komat-kamit nya, "Lalu apa yang kau lakukan tadi ?" Susul nya, bahkan aku lupa apa yang telah aku lakukan satu jam yang lalu. Biarkan saja ! Aku sedang malas berdebat, hanya sebuah senyuman yang ku jelaskan akan sebuah pertanyaan tadi, laki- laki itu mengangkat alis nya seolah berkata dia mengerti dengan apa yang aku lakukan, yah ! Satu jam lalu, masih.
Saat itu aku memutuskan untuk mengiakan ajakannya, pergi ke sebuah tempat yang pastinya belum pernah aku kunjungi, salah satu wisata alam yang ada di kota Bandung, yah ! Gunung Tangkuban Parahu.
Gunung yang terletak di daerah kota Bandung, bentuk gunung ini adalah stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang di keluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur , mineral yang di keluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang di keluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Itu sedikit informasi yang aku dapatkan dari sebuah website di internet.
Menurut legenda Gunung Tangkuban Parahu berawal dari cerita Sangkuriang dan Dayang Sumbi, saat itu mereka telah merencanakan sebuah pernikahan, tapi karena Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah anak kandungnya yang dulu pergi dari rumah, dia membatalkan pernikahan itu. Namun Sangkuriang tak bisa menerimanya, untuk menghindari itu wanita yang tetap awet muda karena pertapaannya meminta Sangkuriang untuk membuatkan dia danau bersama perahunya dalam waktu semalaman, Sangkuriang berhasil membuat sebuah perahu, dan mencoba untuk membuat danau sesuai dengan keinginan Dayang Sumbi, singkat cerita Dayang Sumbi ketakutan dan akhirnya dia menebar kain tenunnya dan memohon pada dewa agar menggagalkan usaha Sangkuriang, akhirnya doa itu terkabul, karena kesal Sangkuriang menendang perahunya dan jadilah Gunung Tangkuban Parahu yang artinya perahu yang terbalik. Hihi maaf aku tak pandai berstory telling.
***
Pukul 6 pagi, aku berhasil menghirup udara segar kota bandung, kabut yang masih menutupi daerah pegunungan membuatku tak bisa melihat pepohonan dengan pasti.
"Wih Kabut !" Suara itu membuyarkan konsentrasi ku, mendesak nafasku agar cepat-cepat ku keluarkan, ah sial ! Orang ini selalu penuh kejutan, dengan bangga laki-laki yang kini ada di sampingku tertawa lepas, melihat wajah kesalku, kembali menghela nafas pelan, "Huh." Menaruh lengan ku di dada, memastikan jantung ini masih bisa berdetak, meski tak seperti gendrang, hi, well. "Maaf." Sesal si kumis tipis, aku tak perduli, melirik kearahnya lalu tersenyum, tak masalah.
"Kau tahu ?" Tanyaku, entah ada angin apa yang membuat ku berselera untuk memulai sebuah percakapan setelah sekitar 10 menit terdiam.
"Tidak." Jawabnya singkat, aku tetap pada pandanganku, fokus pada keindahan yang terlihat di depan mata.
"Bahasa sunda dari kabut adalah Halimun, apa kau pernah dengar ?" Tuturku, tanpa berpikir panjang dia menggelengkan kepalanya,
"Halimun ?"
"Ya ! Halimun ..." Jawabku ngambang,
"Apa kau senang ?" Susulnya, dengan pertanyaan yang aneh,
"Tentu !" ~ aku senang, karena kau memberiku kesempatan untuk mengenalmu dan kini ku nikmati semua saat aku berada di pengujung waktu. Bahkan aku tak yakin apa kisah ini harus ku akhiri ? Aku mencintaimu ... ku alihkan pandang ku, melihat mata sendu nya yang sayup-sayup meneduhkan lebih dari sejuknya kabut pagi itu, baiknya lupakan saja.
Gerbang masih ditutup, banyak wisatawan lokal yang menunggu pintu gerbang di buka, aku dan dia salah satunya, tak menyangka akan ada sebanyak ini, ku harap angka orang stress di Indonesia akan terus menurun karena mereka selalu sempatkan untuk berpiknik.
Halimun pagi itu berhasil ku sentuh, membantu bulu-bulu tangan ku bereaksi, itu selalu terjadi saat aku kedinginan, merinding tapi aku menikmati semuanya, suguhan pemandangan yang indah untuk sebuah gerbang taman rekreasi, ada hamparan kebun teh yang luas, terlihat awan yang cerah yang mengusir kabut-kabut itu untuk beranjak pergi, sinar matahari yang tak segan lagi menorobos sang kabut dan berpamitan dengan sang embun, yah ! Apa mereka mengatakan kalimat perpisahan ? Apa yang telah mereka rencanakan ? Setelah kabut itu pergi apa yang mereka rasakan ? Ah entahlah, geng tata surya selalu menyimpan rahasia, mereka anggota intelejen yang sempurna, tak pernah ada yang tahu bagaimana mereka bekerja, bagaimana mereka meyembunyikan semua itu, rasa cinta, rindu bahkan rasa ikhlas saat malam berganti siang ataupun sebaliknya, saat tiba tiba hujan turun atau berhenti, saat bintang-bintang tak lagi ada atau bahkan saat miliaran bintang menyerbu sang langit dan pada intinya bagaimana mereka bisa mengadapi kata "Hilang."
Ku lihat senyum mu masih dengan sebuah kumis, kini sedikit gondrong entah apa alasannya kau tak mencukur kumismu, tapi aku tak ingin tahu aku hanya perduli kau yang kini ada disini. "Cari sarapan yuk !" Ajaknya aku mengangguk meski sebenarnya aku tak lapar, tak biasa sarapan pagi-pagi namun mengingat semalaman aku tak makan, tidak buruk untuk dipaksakan, toh aku tak pernah mendengar orang mati karena mengangguk di ajak makan.
"Kabutnya mulai turun yah." Paparnya, aku kembali tersenyum, tak sadarkah kau ? Dirimu layaknya kabut di hidupku, mungkin kau tak akan terkejut mendengarnya, karena itu adalah hal yang biasa aku lakukan, menyangkut pautkan kamu dengan apa saja yang ada di depanku, termasuk kini "Kabut."
Layaknya kabut, yang menyambut malam ku, saat kau telah berhasil mengambil mimpiku kini saatnya pagi merubahmu menjadi sebuah kabut, menyejukan namun perlahan akan menghilang, layaknya es yang akan meleleh saat terkena panas, begitupun kamu tentunya ! Masamu yang akan mengering tak tersisa, uap mu akan menjadi kenangan di Atas awan lalu dia akan kembali teringat saat hujan rela jatuh berkali-kali, jadi saat hujan adalah saatnnya mengenang, hujan akan suguhkan kenangan tanpa terlewat. Hujan adalah satu-satunya tempat yang baik untuk menyimpan semuanya yang pernah terekam, termasuk disaat kamu menguap, bahkan aku ingat bagaimana aku takut akan mulutmu yang terbuka lebar, layaknya seekor Kudanil yang sedang mengamuk atau kehausan di musim kemarau~tapi aku yakin kau tak bermaksud memakan ku kan ?
Masih tentang kabut ...
Kau sibuk dengan sarapan mu, kali ini nasi goreng plus telor dadar yang menjadi sasarannya,
"Ayok kita lomba !"
"Lomba apa ?"
"Siapa yang paling cepat mnghabiskan nasi goreng."
"Apa ada alasan untuk aku setuju ?"
"Oh harus ! Karena siapa yang menang dia akan mendapatkan ciuman." Dasar bodoh, ya tuhan ... apa dia benar-benar tidak bisa menahan diri,
"Kalau begitu aku tak akan mengikutsertakan diriku, aku sedang tak berselera mencium mu."
"Hei ayolah hanya ciuman saja, apa kau sepesimis itu ? Aku tak tahu siapa yang akan menang."
"Aku tak ingin di cium apalagi mencium."
"Apa kau sungguhan ?"
"Sure."
Laki -laki itu tanpa perduli menghabiskan makanannya dengan cepat, ah sial ! Aku tak pernah mengatakan setuju padanya, meski hal sekecil apapun tapi dia selalu melakukan apa yang dia ingin, "Lelaki pemaksa." Gumamku dalam hati.
Kabut itu benar-benar menghilang, gerbang masih saja belum di buka, sekitar satu jam-an lagi aku harus menunggu disini dan tempat ini pun mulai ramai yang awalnya hanya ada tiga mobil yang terparkir, kini pinggiran jalanan terlihat seperti parkiran banyak kendaran yang dominan dengan angkutan roda empat itu berjejer, hampir menutupi setengan jalan, ada yang membuat keputusan menunggu di dalam mobil, berjalan-jalan di sekitar gerbang atau seperti ku mencari sarapan.
Sesekali aku mencuri pandangannya, menertawakan dia yang dengan lahap nya menghabiskan menu yang tersaji di depan, entah memang dia lapar apa sedang berjuang yah berjuang untuk mendapatkan sebuah ciuman, wkwk. Banyak hal yang ku lewati dengannya, tapi tak akan pernah mengalahkan penantian dia. Ah sudah lupakan saja. Andai semua ini akan berakhir dengan sebuah kalimat "Aku dan kamu saling memiliki." Entah setinggi apa tiang bahagiaku saat ini, bahkan aku tak tahu, apa kau benar-benar menginginkan ku ?
"Hei !" Suara itu ..
"Apa ada masalah ?" Tambahnya,
"Oh tidak..." Tembalku,
"Apa kau sedang sakit ?"
"Aku baik-baik saja, jangan khawatir, maaf."
"Apa kau bisa terima kemenangan ku saat ini ?" Sambil menoleh ke arah piring yang telah bersih tanpa sisa, timun dan tomatnya pun raib dia habiskan, aku hanya nyengir,
"Apa harus aku lakukan disini ?" Laki-laki itu menatapku, lalu melihat ke sekeliling, berharap aku akan lakukan hal konyol itu di depan para pengunjung.
"Ayolah ! Disini juga tak apa."
Ah dasar gila, ini bukanlah sebuah ronggeng monyet yang berhak di pertontonkan, lagi pula aku tak akan sekonyol itu, bukankah aku sudah bilang aku sedang tak berselera untuk berciuman apalagi mencium mu sekalipun disini hanya ada kita ya hanya ada aku dan kamu.
"Saat semua selesai ku habiskan, kau menarik lengaku, mengajak ku ketempat yang berkabut, entah apa yang kau rencanakan saat itu, aku harap bukan lagi soal ciuman."
Ah ..
Kau memang selalu bisa membuat ku terpukau dengan cara-caramu yang sederhana, dengan caramu yang kadang tak pernah aku duga. Kau mengajaku ku ke sana, dimana kabut masih bisa aku sentuh, mungkin itu adalah menu sarapan pagi pertama ku yang aku suka, namun sayang menu itu tak akan terulang meski aku mengingingkan semuanya terjadi di setiap pagi-pagi ku yang akan datang, dimana disaat aku membuka mata untuk yang pertama kau suguhkan kerlingan itu, dengan senyuman andalan mu yang ku suka, seakan memanggil seluruh jiwaku yang sempat hilang karena memikirkan sebuah perpisahan yang akan terjadi nanti, seolah semuanya tak pernah ku pikirkan lagi, yang ada hanyalah bagaimana belajar menikmati waktu yang mungkin tak ada lagi yang tersisa, karena memang waktu itu akan terasa sangat cepat berlalu.
Embun - embun masih berpesta di atas permukaan sang klorofil, menikmati sinar sang raja yang mulai menghangatkan mereka, seolah si tuan berkata, masa mereka bekerja telah usai, sampai jumpa esok. Aku kembali melihat kearahnya yang sibuk dengan handpone, "Mas lagi nyari view yang bagus." Jelasnya, seolah dia bisa membaca pertanyaan itu di wajahku yang kucel, "Udah-udah berdiri disitu !" Aku mengambil posisi manja dan dia mulai mengambil poseku. Hanya beberapa menit saja, namun sungguh, itu semua tak bisa ku minta tuk diulang kembali, aku tak bisa lagi merasakan senyumnya yang benar membuatku senang seharian, mendengar tawanya yang berdamai dengan semua hal yang aku khawatirkan, jelas aku akan sangat merindukan hal ini, aku juga tak melewatkannya begitu saja, tak jarang dia mengajak ku untuk foto berdua "Selfie.", "Kalau dilihat-lihat kita mirip tahu." Tukasnya saat semua sudah berlalu, mirip tapi Mas tirus sedangkan aku berpipi chabi, hidung mas mancung sedangkan aku gede berkomedo, mata mas juga gak sekubil yang ku punya, sedikit miripnya, bahkan sebenarnya kita memang tak mirip sedikitpun. Sudahlah jangan membuat ku semakin berharap yang bukan-bukan.
Kabut sudah mulai tak terlihat, sejuk pagipun perlahan mulai memudar, embun-embun mengering, entahlah apa setiap daun-daun ini kecewa ? Embun telah berlalu dari paginya tak ada lagi yang menyenangkan, namun jika semua itu terjadi mengapa mereka tetap bugar, tak sedikitpun mereka layu, tak ada protes sama sekali, ku perhatikan lamat-lamat, apa aku bisa sepertimu ? Wahai daun teh pagi itu ? Kuharap itu bukanlah hal konyol. Mungkin aku harus berguru pada mereka, ku sentuh perlahan tak sedikitpun aku bermaksud untuk mengganggu harinya, aku hanya ingin bertanya bagaimana cara mu menyelesaikan sebuah rindu mu pada sang embun ?
Aku terus memikirkan hal bodoh itu dan dia ? Masih asyik dengan handphonenya, sesekali berselfie sendiri, atau mengambil gambarku yang entah sedang seperti apa pose ku, dia memang pintar dan licik, selalu ada saja fotoku yang jelek dan dia selalu melarang ku untuk menghapus nya, "Karena terkadang yang jelek juga mengandung keindahan." Paparnya, itu adalah alasan yang selalu dia katakan untuk menembak mati mulutku dan sontak aku terdiam, "Kamu benar." Yah ! Kamu selalu berhasil mebuatku berkata sepertimu, di dalam sini.
Masih dengan pertanyaanku, aku tak ingin beranjak dari sini, sebentar ijinkan aku untuk menemukan jawabannya sebelum aku tinggalkan.
"Apa kau tak merasa kepanasan?"
"Tidak sama sekali, matahari pagi menyehatkan bukan ?" Jawabku, tanpa melihat kearahnya.
Akhirnya aku temukan jawaban itu dalam pertanyaan mu dan apa yang aku katakan tadi. Daun itu tak pernah merasakan kehilangan meski sedikit merasa rindu pada apa yang telah hilang dari harinya, karena rindu akan hal itu adalah wajar, seperti ku, mungkin, jika suatu saat aku merindukanmu maka itu adalah hal yang biasa, meski aku tak tahu se-sesak apa rindu itu membunuhku aku tak tahu pasti, yang aku tahu aku akan amat merindukanmu. Daun akan tetap segar, karena embun berhasil tergantikan oleh sinar maatahari pagi, yang akan memberikan mereka kesempatan untuk mengolah semuanya yang ada dalam tubuh hijaunya, meski tak sesejuk embun, matahari tak seburuk yang ada di pikirannya, matahari masih berbaik hati, menemaninya hingga hari menjelang malam, bahkan dia memberikan pertunjukan yang memukau pada senja nya, di ujung waktunya akan pergi dia suguhkan pertunjukan keajaiban, sinar orangenya yang melegenda mungkin lebih dari sekedar embun pagi, entahlah, entah komposisi apa yang senja miliki dia terlihat amat bertahta pada sebuah hari yang berlalu, pada perpindahan siang dan malam,dia begitu mengagumkan.
Daun pun tak sedirian, dia masih punya batang yang setiap detik menemaninya memberikan dia singgasana agar terlihat berwibawa, ranting-ranting yang tangguh yang menjaganya juga akar yang senantiasa melindunginya dari jauh. Begitupun dengan ku saat aku kehilanganmu nanti, saat kamu tak dapat temaniku, akan ada seseorang yang baru, meski tak sesejuk hadirmu tak setenang dan senyaman denganmu aku yakin dia mampu membayar rinduku, meski aku tak tahu berapa lama aku harus menunggu mentari pagiku, tapi aku yakin tuhan tak akan membiarkan ku berlama-lama tenggelam dalam lautan kerinduan, yang mungkin lebih asin dari laut biasanya, jika kita meminumnya maka yang dirasakan adalah semakin haus dan haus lagi, begitupun lautan rinduku, jika aku terus menerus mengenangmu mungkin yang terjadi aku akan mati karena rinduku yang semakin mencekik, apa semua rindu itu menyesakan dan membunuh ? Apa tidak ada variant lain selain mereka berdua ? Bagaimana soal yang lain ? Ranting ? Batang ? dan Akar ? Jelas aku memiliki semuanya teman sahabat dan keluarga itulah mereka yang selalu ada yang tak pernah terlewatkan dari hari ku, mereka yang tak memiliki masa, harusnya aku bisa mengahadapi itu, layaknya daun yang senantiasa dengan kelapangannya merelakan sang kabut berlalu, disusul dengan sebuah embun pagi yang harus hilang mengering di tubuhnya, itu semua mungkin tak mudah, lagi-lagi aku belajar dari geng tata surya dimana aku belajar sebuah kepercayaan, daun yang mungil sekalipun mereka percaya akan sebuah takdir mereka percaya pada tuhanNya yang telah menciptakan nya sejauh ini, menulis takdirnya sampai disini, tak mungkin semua itu tanpa penyelesaian, sekalipun itu sebuah rindu yang telah menjadi lautan, akan ada sebuah jalan untuk mengakhiri sebuah kepedihan akan kembali hadir sebuah pertemuan yang mengobati semuanya.
Tapi tetap aku tak ingin kau pergi ...
***
Pukul 08:00 WIB akhirnya gerbang dibuka, dengan semangat mereka memasukinya dengan antri, jalanan pun kembali seperti biasa, tanpa ada pemandangan lahan parkir di sisi kanan dan kiri. Jalanan yang melikuk-liuk ditambah dengan gaya mengemudinya yAang menyerupai seorang pembalap membuatku harus berpegangan, dia melihat kearahku mengutuk ku dengan kata "Norak!" Bodo amat aku tak pernah memperdulikan ledekannya, dia memegang tangan ku menguasai semua yang ada, ruang jemariku yang kosong hangat suhu lenganku yang sedikit membantunya juga telapak tangan ku yang mungil, semua menyatu dengan apa yang ada pada lengannya yang lebih besar dari lenganku.
"Ciye pegangan ciye..." Tiba-tiba dia meledek ku, ah sial lagi-lagi dia mengagetkanku,
"Oh jadi gitu ?" Balasku mencoba melepaskan genggamannya, tapi laki-laki itu menahan, dia menggodaku dengan bagaimana pun caranya.
"Semoga kau tak lupa akan hadiah nya." Tambahnya sambil julid, hadiah ? Apa kita pernah membicarakan hal itu ? kening ku mengerut,
"Apa aku janji ? Bahkan aku bukan salah satu pesertanya, panitiapun bukan." Tembalku mengingat tadi pagi saat sarapan,
"Hei ayolah ! Aku tak yakin soal kau tak berselera untuk mencium ku, bukan kan itu hal yang sangat kau sukai ?" Paparnya, orang gila ! Argument macam apa itu,
"Bisakah kau agak sedikit sopan pada seorang gadis ? Oh tuhan sepertinya hidupku mulai kacau." Laki-laki itu tertawa puas, baiklah tertawa saja !
Aku menikmati nya dengan semua kekonyolan sang pangeran, yah ! Pangeran untuk masa yang singkat, tapi ... bukan itu masalahnya, Apa ada pangeran yang memilki hobi ciuman ? Bukan kah idealnya seorang pangeran akan memiliki hobi Berkuda, Berburu atau memanah ? Entah lah, termasuk pangeran macam apa dia.
***
Bau belerang kini mulai tercium, tapi kita lebih memilih untuk tak memakai masker. Mulai kuhirup semua yang ada di sana, udara nya yang sejuk bahkan aroma mu, bau ketek mu juga bisa termasuk yang kuhirup lho ?! Apa itu cukup untuk melengkapi menu sarapan ku Mas ? Kuharap ketekmu tak beraoma asam, cukup belerang jangan di tambah !
Dengan kaos putih yang di lengkapi celana doci berwarna abu, sepatu yang bergaya sporty dan tubuh mu yang jankis berhasil membuat ku terpukau, terlihat lebih baik dari biasanya, sedikit tampan, meski masih urakan, tapi aku suka, aku akan menjadi pengagum pertamama hari itu, kalau boleh lebay aku akan mengatakan "Aishiteru oppa ... !" Dengan gaya alay ku berlari mengejarmu atau berjoget ala girlband korea yang sempat membuming, mengedipkan mata dengan centil, menggodamu dengan ciuman, tapi sayangnya aku bukan wanita tipe itu, aku akan lebih memilih untuk tersenyum mengangguk setuju hanya itu yang akan kulakukan.
Kulihat sekeliling ku dengan menyeluruh, mata mungil ini tak akan lelah merekam, tempat yang begitu indah, dia selalu tahu seleraku seperti apa, apa yang ku mau, apa yang selama ini aku rindu, meski hanya sebatas memahami aku senang kau hadir dalam hidupku, menyempatkan waktu untuk mengenalku semasa hidupmu, pernah seperduli ini pada makhluk mungil yang penuh dengan hina, seingatku tak pernah kau berkata jangan tapi kau selalu katakan "Mas percaya." Bukan kah itu kalimat yang mengesankan ?
Tanpa sadar laki-laki itu berada jauh dari jangkauan ku, dia melangkah lebih dulu, menikmati aroma belerang yang sangat khas, juga pemandangan yang tak kalah bagusnya dengan kebun teh tadi. Aku berlari mengejarnya mencoba menggapai pandangannya, aku tak ingat kawah apa namanya, yang jelas begitu mengagumkan, dengan sengaja banyak gambar yang ku ambil beberapa video dan rekaman, semua bisa kembali kulihat dan kurasakan meski semua rasa itu tak sama persis setidaknya dokumentasi itu perlu meski hanya mengundang rindu, ah biarkan saja biarkan rindu menjadi masalah ku, lupakan !
Ini adalah bau belerang pertama dalam hidupku, kuharap bulu-bulu halus yang ada di hidung besar ku akan terus bersahabat, rumit jika harus menggunakan masker, laki-laki itu pun sepikiran seperti yang ku bilang lebih memilih tanpa masker. Angin nya cukup sejuk meski tanpa kabut dan embun, mereka tahu bahwa itu waktu mereka untuk mundur saat matahari mulai menelusup sang pagi, indah ! Hanya itu persembahan kata yang bisa aku ucap.
"Apa kau bahagia ?" Entah itu pertanyaan yang keberapa yang kau tanyakan, sungguh aku bahagia, apa harus aku lanjutkan gombalan ku, "Bahagia karena bersama mu." Maaf aku tak bisa menahan diri untuk memujamu, aku kembali tersenyum dengan sedikit tawa kecil "Aku bahagia Mas ... harus dengan apa lagi aku mengaskan itu ?" Diapun hanya tersenyum, berjalan-jalan kecil, berlarian kesana kemari, sesekali tangan ku dia genggam, bernyanyi-nyanyi kecil, terdengar menjijikan tapi aku akui itulah kesempurnanaan waktu untuk ku, mungkin secara tidak sadar aku mulai menyukai hal-hal yang menjijikan itu, karena kau tahu ? Kamu adalah laki-laki gila dan mungkin aku juga termasuk salah satu wanita liar, tak aneh jika kita sama-sama menciptakan hal yang menjijikan itu, terdengar sebagai kabar buruk bagi sebagian orang tapi bagiku, ini waktu nya untuk menikmati semua.
Sesekali aku ingin tahu apa yang ada di pikiran mu saat itu, meski terkadang aku bisa membaca namun ada bagian yang tak bisa ku lihat dan ku pahami juga tak bisa aku percaya dengan mudah, banyak pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya ingin aku sampaikan, namun semua tentang keraguan, aku tak ingin merusak moodmu, dan aku tak ingin ini semua berakhir dengan tragis, aku ingin menjadi salah seorang yang kau ingat, entah semua ini cukup untuk membuat ruang ingatan mu baik atau tidak, tapi seperti yang selalu kau katakan, aku percaya, kau selalu tahu waktu.
***
Kali ini soal belerang, 1 Oktober 2015,
26 hari menuju tanggal pernikahan mu, entah apa yang telah merusak otak ku untuk memilih mengenalmu lebih jauh, padahal aku tahu semua ini tak baik, apa rasa nyaman mampu mengalah kan akal sehat juga ? Entah dan Entah lagi, entah bagaimana semua bisa ku setujui sejauh ini. Tak ada yang menyenangkan selain bersamamu, bahkan menulis di bawah pohon besar pun terkalahkan oleh waktu ku saat kamu mampu memegang tangan ku dengan pasti.
***
Kulihat awan begitu anggun, berarak menuju tempat yang angin bisikan, tak ada tanda-tanda langit mendung, karena mereka pun tahu ini saatnya untuk tersenyum. Biar nanti saja mereka bekerja, saat semuanya benar-benar telah usai.
Kakiku terus melangkah sampai akhirnya kita memutuskan untuk membeli cemilan, menikmati secangkair bandrek atau segelas kopi hitam, disini suhunya sangat dingin, jadi kedua minuman itu bisa jadi minuman yang di rekomdasikan.
"Neng sama Asep teh ketemu di Bandung ?" Entah bagaimana awalnya percakapan itu di mulai, Bapak-bapak yang kini sedang asyik dengan rokoknya bertanya dengan sedikit tawa kecil,
"Neng nya dari sunda Asepnya dari Jakarta, ketemu di Bandung Pak." Tembalnya, aku hanya nyengir, sandiwara macam apa ini namanya ?
"Oh ... Alhamdulillah yah." Tambah Bapak yang lupa aku tanyakan siapa namanya,
"Nengnya cantik ga Pak ?" Tanya kembali pria yang kini sedang kedinginan dengan hawa, pertanyaan apa lagi, dasar, selera humor yang buruk,
"Atuh cantik yah Neng." Aku menggangguk "Aamiin." Hmm
Percakapan itu berhenti setelah Bapak bercerita soal anaknya, yang dulu menemukan jodohnya dengan handphone, bercerita bagaimana dia dan wanita yang saat itu sedang membuat badrek dan kopi hitam pesanan ku bertemu dan akhirnya bersatu. Mungkin juga mereka berpikiran Neng dan Asep sudah menikah, melihat kemesraan ku dengan dia, aku hanya tersenyum.
"Ini Neng bandreknya." Dengan senyum yang ikhlas Ibu yang lebih tua dari mamah ku menaruh secangkir minuman tradisonal itu, bandrek kali ini bukanlah bandrek yang pertama bagiku, dulu bandrek adalah minuman wajib sebelum aku berangkat sekolah, yah ! layaknya susu, aku selalu meminumnya setiap hari, terkecuali hari minggu, karena Bi Hadmi libur berjualan. Seperti yang ku bilang minuman ini adalah minuman tradisional orang sunda dari Jawa Barat, yang dikonsumsi untuk meningkatkan kehangatan suhu tubuh, cocok untuk cuaca dingin atau pada malam hari pengganti kopi, yang terbuat dari jahe dan gula merah, sebagian orang ada yang menambahkan nya dengan telur ayam kampung atau susu, seperti saat ini, aku lebih memilih mencampurkan nya dengan susu, agar ada rasa milky-nya hi. Apa aku harus kembali menganalogikan kamu dengan bandrek ? Ah sudah cukup, aku tak ingin terlalu jauh, aku tak ingin menjadi orang gila yang benar-benar gila, meskipun aku tak bisa menahan diriku untuk memujamu tapi aku pastikan semua masih dalam batas kewajaran.
"Itu ayunan masih bisa di pakai Pak ?" Tanyaku sembari menikmati Bandrek,
"Oh masih Neng, itu sengaja Bapak buat untuk cucu Bapak, dia selalu minta dibuatkan ayunan, duka sabaraha kali eta di benerin." Paparnya dengan sedikit campuran sunda, aku mengerti, kalau ayunan itu milik cucunya, yang sudah beberapa kali di perbaiki.
"Aku pinjem ya Pak." Akhirnya aku tinggalkan minuman itu setelah Bapak mengangguk mencicipi ayunan, layaknya anak kecil yang baru pertamakali naik permainan jaman dulu ini, entah siapa yang pertama menciptakan ayunan, seingat ku aku pernah membaca soal ayunan, dan kalian tahu ? Ayunan pertama di dunia yaitu ayunan milik Charles Wicksteed di Kettering, Nortamptonshire yang merupakan taman pertama di Inggris, terdengar keren kan ? Entah bagaimana bisa ayunan ini sampai di Indonesia hingga sekarang, meski kini mungkin sudah jarang peminatnya, ayunan lebih banyak dimainkan oleh anak kecil, karena mungkin orang dewasa kebanyakan sibuk dengan apa yang mereka genggam saat ini, sibuk dengan dunia maya, seperti yang Bapak ceritakan, bahkan anaknya pun di pertemukan dengan pendamping hidupnya lewat handphone, sayangnya sekarang anak kecil pun sudah tak banyak di temukan main di taman, kini mereka sama hal nya dengan anak dewasa, lebih asyik main dirumah dengan permainan-permainan yang ada di media elektronik, sedih mendengarnya, tapi semua orang selalu punya alasan, termasuk anak sekecil apapun umurnya, mereka berhak memilih hanya harus ada keputusan orang tua yang memegang kehendak.
"Hei liat kesini dong !" Sapanya kini dia memvideo ku yang sedang asyik dengan ayunan, sesekali aku terseyum, menyapa dia lewat video, mengatakan kalimat yang menggambarkan kegembiraan, yah ! Aku salah satu menggemar ayunan, dimana ada ayunan disitu aku selalu menyerbunya dengan cepat, bermain main dengan nya meski tak lama, tapi aku wajib mencicipi, seperti yang saat ini aku lakukan.
Saat itu mataku mulai berbinar, apa kalian pernah tahu tangisan kebahagiaan ? Tiba-tiba gerimis menyentuhku, meski tak lama itu membuatku mendadak beteriak, aku benar-benar girang, sungguh ini waktu yang sempurna penuh dengan keindahan, ada ayunan dan germis itu adalah komposisi yang menakjubkan, sesekali Mas Danar meledek ku tapi aku tak perduli, aku hanya ingin memeluk keduanya, mulai ku ambil bagian dari gerimis dengan tangan ku yang menguncup itu adalah ritual yang selalu ku lakukan dan tak pernah ku lewatkan.
***
Masih soal ayunan ...
Kau bagaikan ayunan, kau tahu alasannya ? Saat aku bersamamu, rasanya selalu ada angin segar yang mengalahkan sejuknya udara pagi, damainya angin senja, kau ada di urutan pertama sebagai sebuah udara yang menyejukan dan mendamaikan, bayangkan kau punya keduanya untuk hidupku, lalu apa yang harus ku cari lagi darimu, apa ada yang membuat aku berhenti untuk merindukanmu ? Bukan kah itu sempurna ? Apalagi yang diinginkan sebuah hati selain damainya waktu yang berlalu ? Bukan kah itu cukup bahkan lebih dari cukup ?
Kau tahu alasan aku menyukai ayunan ? Karena aku selalu merasa damai, dan jika ada kamu yang selalu di sampingku, aku tak perlu melangkah jauh ke taman atau ketempat yang dimana aku bisa mendapati ayunan itu, karena apa yang aku inginkan dari permainan tersebut aku dapatkan darimu, lewat senyum mu, gerakan matamu juga genggaman mu yang menjadi andalan setelah kumis tipis, boleh aku mengatakan keegoisan ? "Kumohon tetaplah disini dan jadilah kamu milik ku seutuhnya."
Cepat atau lambat, ayunan itu akan berubah komposisi, menjadi sesak, rindu dan ikhlas, aku yang akan merubah racikannya, aku sendiri yang akan merubah komposisi itu, aku harap tuan Charles Wicksteed setuju dengan keputusanku, bahkan aku tak pernah bertemu dengannya, aku tak mengenalnya dekat tapi aku cukup berteimakasih atas jasanya untuk sebuah gagasan menciptakan ayunan, tapi maaf, komposisi itu berubah tanpa aku sadari Pak, aku juga tak menemukan gambar wajahnya di situs internet, yang kulihat saat aku mencari tahu sol ayunan. Apa aku perlu datang ke pusara mu untuk meminta ijin ? Ah sudah lah aku mohon hentikan kegilaan ini !
Selesai ..
Biarkan ayunan dan komposisi barunya aku yang pikirkan.
Gerimispun mengakhiri pertemuannya dengan ku, kembali duduk di samping mu dengan senyuman terbaik ku.
"Gimana Neng seneng naik ayunan cucu Bapak ?"
"Uh bukan seneng lagi Pak ! Neng girang banget !" Mas danar mewakili jawaban ku,
"Nuhun Pak, akan lebih senang lagi kalau bisa bertemu sama cucunya." Tambahku, akhirnya beliau bercerita kembali, kini bukan lagi sola anaknya, tapi cucunya,
"Cucu Bapak mah ada banyak Sep, yang paling gede tuh kelas dua esemka, kelas hiji SMP kelas sabaraha tuh ayena mah kelas tujuh nya Bu ceuk si Ujang teh ?" dengan logat sundanya Bapak terus bercerita, aku dan Mas Danar dengan senang hati mendengarkan.
Aku melihat kearahmu, satu hal yang kini aku sadari, begitu bodohnya aku, sebenarnya jelas waktu yang aku lewati bersamamu akan sisakan sesak dan rindu, bagaimana jika kejadian itu terus terulang ? Aku selalu mengatasnamakan waktu, menikmati waktu yang tersisa, padahal semakin banyak waktu mencipkatakan mu dihariku semakin banyak pula sesak yang aku ku tanggung, bukan lagi sesak yang hanya sekedar polusi tadi sesak yang bercampur dengan rindu, jika sebuah belerang bersifat membakar, mungkin sesak dan rindu itupun sama halnya, dia membakar seluruh ruang yang ada, menghanguskan semuanya hongga tak tersisa, dan kau tahu artinya ? Semua yang telah kuciptakan untuk mengenang habis sudah terbakar, bukan kah lebih baik menyimpan dari pada kehilangan ? Lebih baik aku memiliki kenangan itu dari pada aku harus membakarnya ? Hingga kini aku tak punya apa-apa untuk sebuah masa indah itu, rindu dan sesak yang berlebihan memang bisa merusak semuanya, ah ! Sesak ! Jika aku boleh membenci siapapun, apa aku boleh membenci dia ? Si sesak dan si rindu ?
Kopimu sudah habis begitu pun dengan bandrek ku, tak lama setelah gerimis reda dan Bapak menyelesaikan ceritanya kami pamit, Mas danar khawatir jalanan akan macet dan jadwal kita balik ke Jakarta akan terhambat, aku tak mau senin bolos kerja karena jalan-jalan.
"Makasih yak Pak, Asep sama Neng pamit, mari Bu.."
"Nuhun nya Pak Bu, salam buat keluarga."
"Mangga Neng hati-hati."
Suatu hari nanti, aku akan kembali berjumpa dengan Bapak dan Ibu juga ayunan itu, tapi tanpa Asep, mungkin dengan yang lain, tak apa rasanya dengan bertemu mereka rindu ku terhadap Mas Danar nanti bisa terbalas. Udara masih sangat dingin, padahal ini sudah di penghujung hari, mataharipun masih malu-malu, sedangkan tugasnya akan segera berakhir. Akan ada senja yang indah hari ini, tenang saja aku tak akan mengatakan "Karena ada kamu"~lagi, itu terlalu sering aku katakan, maaf. Tanahpun menjadi becek, hujan memang selalu membekas sekalipun itu hanya gerimis.
"Gendong yuk ?" Aku tak tahu apa motivasinya, yang jelas kamu sibuk memcari tempat yang agak tinggi dari posisimu berdiri,
"Emang kuat ?"
"Udah ayok !" Entah mengapa aku tak yakin, lagi pula aku sudah tak biasa lagi di gendong, aku lupa kapan terakhir kali aku di perlakukan seperti itu, mungkin setelah lulus seklah dasar, dulu aku dekat dengan sekali dengan Bapak ku, sampai kemana pun aku selalu minta di gendong, sampai aku kelas enam SD semua itu berakhir, Bapak tak mau lagi menggendong ku, mungkin karena berat badan ku yang bertambah pula.
Dan akhirnya aku menuruti perkataan mu, tak ada semenit kau menggendong ku, takut jatuh mungkin itu yang mengahsantui ku, jalanan juga licin tak bisa jika kau harus menaruh beban 50 kg di punggungmu, percayalah tanpa kau lakukan itu, aku akan tetap memberi penghargaan untuk hari ini, sebagai hari teirndah dalam sejarah ku. Percaya aku, hi.
Saat perjalanan menuju parkiran, ada tiga bocah yang menggemaskan, mereka bernama Chandra, Siska dan satu lagi aku lupa siapa namanya, sedang sibuk menyantap makanan yang ada dipiring masing-masing dan sibuk menertawakan aku dan Mas Danar, enatah bagian kami yang mana yang membuat mereka terhibur, yang jelas ada nyanyian khar Chandra, anak kecil berumur 8 tahunan yang membuat aku dan Mas Danar tertawa ngakak.
"Suara keretana kwong-kwong brot brot ..." Anak laki-laki itu terus mengulangi nyanyian kebangsaan nya, aku tertawa sampai perutku sakit, anak kecil selalu menyimpan tawa yang luar biasa menghibur.
"Itu suara kereta apa kentut ?" Goda Mas Danar, mereka hanya tertawa.
Aku dan Dia selalu punya selera yang sama, tanpa kami mengatakannya satu persatu, terkadang semua itu berlalu tanpa kita sadari, dia sangat menyukai anak kecil dan aku, bercanda dengan mereka rasanya menyenangkan, apalagi melihat mereka tertawa lepas karena kita, itu sesuatu yang membanggakan. Entah kapan kami akan kembali bertemu, entah mereka akan tetap mengingat ini atau bahkan tak ingat sama sekali, bukan kah ingatan anak kecil itu sangat bagus, mereka akan dengan mudah mengingat, tapi aku tak pernah mendengar kalau mereka mudah lupa. Apa ada manusia dewasa yang mudah lupa dan sulit mengingat ? Aku rasa itu hanya dimiliki oleh lansia, selebihnya tidak ada.
Gerakan awan seakan berdawai mengikuti angin yang semilir, tersisa hawa dingin khas pegunungan juga sisa gerimis tadi, kabut pun mulai kembali bertamu, entah pada siapa mereka persembahkan pertunjukan itu. Pohon besar dengan akar yang menjalar diatas tanah, disitulah aku mulai menikmati pertunjukan itu, semua orangpun tahu, hujan atau gerimis selalu meninggalkan sebuah genangan yang berupa kenangan, layaknya orang aku pun yakin dengan kata-kata itu, seperti halnya tadi saat gerimis datang kau tau siapa yang ada di sampingku ? Tentu kamu ! Pohon yang usianya mungkin lebih dari umurku saat ini, terlihat kokoh mejulang keatas, batang yang besar tak terlihat tanda kemegukan pada tubuhnya yang memang sangat terlihat kuat, akarnya memang sedikit licin namun aku memaksa untuk duduk di sana. Pasti banyak hal yang pohon ini lalui sampai ia berada di detik ini di tempat yang indah, pohon pun tak bisa memilih dimana dia harus tumbuh, menjadi sebuah pohon yang selalu disirami dan di beri pupuk kah atau yang hanya menunggu awan mendengar dahaganya, tumbuh diatas pot atau berdiri di atas tanah,banyak tadir lainnya yang membuat pohon yang satu dengan yang lain memilki takdir yang berbeda, tapi aku yakin pohon besar ini bisa tumbuh tanpa terlihat mengkhawatir buah kerja kerasnya, apalagi bau belerang di situ tidaklah mudah. Suatu saat aku akan seperti pohon ini, tumbuh menjadi salah satu manusia yang mengagumkan, aku janji !
Dalam beberapa kesempatan, aku selalu memandangnya lamat-lamat, mengingat kembali, menulis ulang semuanya dari cerita awal, membacanya mulai bait pertama, menyaksikan bagaimana aku mulai mencintai saat mata itu benar melihatku, sejauh ini aku selalu berhasil mengheja satu-persatu menu yang tersaji dalam sebuah tudung kenangan.
Apa aku di persilahkan untuk jujur Mas ? Kamu yang selalu menemaniku, membantu setiap kepingan masalah yang tercipta menjadi sebuah jalan keluar yang menghasilkan sebuah solusi, sandaran mu yang selalu siap siaga, juga telapak tangan mu yang selalu menjaga ku dengan baik, genggaman tangan mu yang selalu mengepal pasti dalam ruang jemari mungilku telah berhasil membuatku lupa akan sebuah perpisahan yang nyata, aku lupa bahwa kamu bukanlah yang berhak dan yang pasti untuku, bahwa kamu tak akan pernah bisa belajar untuk mencintaiku setiap hari, bukan kamun orangnya, bukan kamu yang sebenarnya aku cari, bukan kamu yang aku harapkan selama ini, maka aku harus bisa menjadikan salah satu dari pertemuan kita untuk di tumbalkan menjadi sebuah perpisahan dan kata terakhir itu memang harus tercipta dalam sebuah cerita yang mestinya berakhir, walau aku tak yakin untuk pergi darimu, dan aku tak begitu memastikan kalau aku bisa.
Biarkan kabut itu menghilang dan biarkan mentari itu datang dengan sebuah harap, hariku yang lalu tak kan pernah kembali dengan sendu, biarkan belerang itu membakar semuanya, menghanguskan rinduku sekalipun agar aku tak khawatir aku mengalami gagal move on (again).
Akhirnya aku sampai pada sebuah senja, meski bukan di tepi pantai atau pun di atas gunung aku nikmati penghujung ku di jalanan menuju Ibu Kota bersamamu~masih. Mungkin kemacetan akan membantuku mengumpulkan semua kisah lalu, meski tak sebaik gerimis, mereka akan datang dengan sendirinya tanpa sebuah genangan air. Kau lakukan semua kekonyolan mu, bernyanyi sekeras mungkin, menjadi manusia pemuja lampu merah tidak lah buruk bukan ? Saat kau menggodaku dengan berbagai tingkah mu, oh ya tuhan ! wanita biadab macam apa aku ini, tak pernah aku bayangkan menjadi orang ketiga, tak pernah aku mencoba untuk melakukan sebuah penghianatan pada siapapun, apa benar cinta itu masih berkuasa diatas segalanya ? Bukan kah Karma pun akan selalu ada ?
Aku selalu bahagia jika dia yang ada di sampingmu, hanya dia yang mampu, lalu jika hari terakhir ini berakhir, bagaimana dengan awal hariku yang baru ? Sudah cukup banyak kenangan yang terkumpul bersama kertas dan bukuku, penaku pun lelah untuk menuliskan sebuah drama yang penuh dengan tinta merah, hingga menghasilkan akhir yang berdarah-darah,apa itu terdengar berlebihan ? Lalu sejak kapan cinta memiliki rindu yang sederhana ? Bukan kah tidak ada ?
Untuk kali ini, aku tak ingin malam itu datang, cukup hari ini hanya sampai senja saja, aku tak ingin menyaksikan sebuah akhir, aku tak ingin ada di sana dengan sebuah sendu, aku tak mau melihatmu menghilang, malam, kumohon aku sedang tak berselera untuk disiksa.
"Apa kau mengantuk ?"
"Tidak !"
"Apa kau sakit ?"
"Tidak !"
"Ah jangan-jangan kau sedang menahan pup ?"
"Tidak juga."
"Apakah itu ekspresi seseorang yang bahagia ?" Ah damn ! mengapa laki-laki ini terus bertanya, aku tersenyum kearah nya,
"Baiklah tuan, apa kau ingin tahu kenapa aku diam ?"
"Tentu ?"
"Aku sedang memikirkan jam berapa kita sampai di Jakarta."
"Yakin hanya itu ?"
"Sejak kapan kau tanyakan sola pulang ?"
"Sejak aku ingat kosan baruku mempunyai gerbang."
Dia tertawa, biarkan saja dia bahhagia ! Memang, sebulan yang lalu aku pindah kos, karena kos ku yang lama tak begitu bisa membuat ku nyaman, meski penuh dengan kebebasan, akhrnya aku memutuskan untuk pindah, hampir tak ada cacat, kos baruku begitu menyenangkan, ruang yang cukup untuk ku, toilet di dalam dengan air yang mengalir, juga tembok yang ber-cat kopi susu membuat aku betah, juga harga yang sama dengan kos sebelumnya, hanya saja, kkarena aku seorang gadis liar yang kerjaannya keluyuran dan gak betah di kos, selalu balik diatas jam 9, yang selalu aku khawatirkan adalah gerbang, jika aku pulang dan gerbang kos ku di kunci dimana aku menginap ? Tidak mungkin jika aku harus menginap di kosan teman ku, menggedor-gedor pintunya dan memohon agar aku bisa tidur disana ? Aku rasa itu tidak mungkin.
"Jadi kapan kemacetan ini berakhir ?"
"Nikmati saja, bukan kah kau menyukai hal yang sepert ini ? apalagi saat kau bersamaku ?"
Lagi-lagi, laki-laki si kumis tipis ini selalu berkata benar,
"Iya ! Puas ?" Tambahku, disusul dengan tertawa lepasnya untuk yang kedua kali, Ah sial terus saja aku di tertawakan.
***
Langit bersih tanpa hiasan apapun di wajahnya, lagit Jakarta jarang sekali berbintang, sekalipun terik matahari menyapanya diwaktu siang, apa hujan akan kembali turun ? Entahkah, entah apa yang akan menyambut ku setelah 10 menit ini berlalu, aku tak tahu, kemacetan itu tiba-tiba aku rindukan, sebebtar lagi aku ampai di kamar kos, itu tandanya sebentar lagi pula waktu yang tersisa. Ah ! kemana kemacetan selama ini ? Aku terdiam, memikirkan apa yang harus aku ucapkan di saat-saat terakhir ini, aku ingin mengatakan banyak hal, tapi pasti hanya satu kata yang jelas akan terucap.
Ban mobilnya pun berhenti berputar, laki-laki itu menarik nafas pelan, seolah itu tanda baca titik untuk cerita ku kemarin, aku melihtanya, kuharap aku tak perlihatkan kekhawatiran yng dalam di depannya. Apa semua akan berakhir baik-baik saja ? Aku harap begitu.

“Terimakasih untuk hari ini.” Paparnya membuka percakapan,
“Iya Mas, makasih juga untuk semuanya.” Laki-laki itu mendekat, dia mecium keningku, entah berapa lama durasinya, yang pasti ini adalah kecupan kening terakhir untuk ku, sebelum dia menjadi milik seseorang, sebelum aku mendengar dia bahagia dengan seorang pendamping hidupnya, dan sebelum dia memperkenalkan istrinya.
Lambaian tangannya menjadi kata tamat, entah kapan lagi aku bisa bertemu dengan seorang pangeran yang hoby berciuman, entah tuhan akan kembali menakdirkan walau hanya sekedar menanyakan kabar.
Untukmu waktuku, terimakasih telah perkenalkan dia dan terimakasih pula telah membawa dia pergi, sejatinya kini aku sadar dia bukan lah yang ku cari dan aku bukan lah tempat dia kembali.
Dan ...
Untukmu yang berhasil memiliki tidurku, mengambil mimpi ku dan bertahta di pagiku, untuk mu si kabut yang telah mengering, senang bisa bertemu dengan mu, “Sampai jumpa.”~kembali.

Salam

****

SEKEPING SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang