LIA BUKAN SENJA

1 0 0
                                    

Aku membenci angin disana, yang bisa dengan bebas menyentuhmu kapan pun dia mau, kini ... dia lebih dekat dengan mu daripada kemeja flanel ku.
Sore ini dia memutuskan untuk pergi ke sebuah taman, menikmati senja yang mungkin akan berhasil menghiburnya, semua orang tahu akan lukanya namun dia tetap sembunyikan dalam tubuhnya yang tinggi dan hitam, “Seperti menjadi yang lain.” Gumamnya, dia berpikir mungkin di hadapan senja dia bisa menjadi dirinya sendiri, dia yang sedang sakit dia yang sedang patah hatinya, juga dia yang pelan-pelan memerah matanya.
Sebisa mungkin dia mencoba untuk menyibukkan diri, memperumit pekerjaan agar lebih lama di selesaikan, lebih banyak mondar-mandir di bandingkan diam di ruangan. Banyak hal yang berubah darinya dan itu sangat terlihat jelas di hadapan teman-temannya, syukurlah dia memiliki teman yang tak banyak bertanya namun mereka tetap mengerti apa yang sedang terjadi.
Seolah dia ingin sekali amnesia akan semua hal yang telah terjadi, apalagi tentang hari kemarin, beruntunglah dia tak datang, andai jika saat itu tak ada meeting di luar Jawa mau tak mau dia harus datang menemui wanita itu jelasnya datang kepesta pernikahannya, syukurlah atasan menunjuknya untuk pergi beberapa hari, “Tuhan memang baik dan mengerti.” Tambahnya saat tiket keberangkatan sudah ada di tangannya.
Laki-laki itu bernama Bayu.
***
Bayu berhasil menyapa senja persis seperti yang dia inginkan, taman yang tak terlalu rame, cuaca yang cerah dan rerumputan yang hijau. Ini bisa menjadi tempat pelampiasan yang sempurna, dengan setia dia menunggu senja di sana duduk seorang diri menatap setiap klise yang bisa di lihat oleh dirinya saja. Bibirnya bergerak mengembangkan pipi yang telah lelah bersandiwara, lalu dia mengatakan sesuatu yang mampu membuat nya lemah seketika “Lia.” Tukasnya dalam hati.
Dia ingin sekali berteriak, tapi percuma saja “Wanita itu tak akan mendengar teriakan ku.” Angin dengan lembut merayunya untuk sejenak bernafas lega tanpa memikirkan sang mawar, Bayu menikmati sambutan angin dengan tersenyum matanya masih menatap langit yang mulai menjingga, “Ayolah senja, tunjukan padaku dia yang mampu menghapuskan namanya, dia yang mampu membuat ku menjadi lebih baik lagi, dia yang nanti akan menjadi pendamping ku dan dia yang akan tuhan petemukan dengan cara yang benar.” Dia memohon dengan penuh harap.
Sejak angin memperkenalkan diri Bayu tak sendiri dia merasa nyaman dengan setiap angin yang berbisik, lalu dia berkata “Aku cemburu pada angin.”
***
Saat senja menyempurnakan sebuah kenangan, klise tak lagi terlihat semu bahkan kini dia sempurna seperti foto-foto yang berwarna bahkan flm-flm pendek yang terputar.
“Apa aku melukaimu ?” Tanya nya, terlihat seorang gadis yang sedang menangis di pundaknya, wanita itu terdiam.
“Aku yang menyakitimu.” Akhirnya Lia menjawab setelah 5 menit membisu, masih dengan tangisnya, Bayu pun tak mengerti, jika memang Lia tak ingin menyakitinya mengapa dia malah mengambil keputusan yang sebaliknya ?
“Jangan pikirkan aku, jika memang dia yang kau pilih aku bisa terima.” Tambah Bayu, dia selalu berbohong pada dirinya sendiri dan orang lain, seperti yang ku bilang hanya senja lah yang mampu membuat laki-laki itu berkata jujur.
Lia tak berkata apa-apa lagi, dia terlanjur nyaman di pundaknya, laki-laki yang dia cintai sepenuh hati sekaligus yang dia benci, Lia membenci Bayu karena perasaannya yang rumit pada laki-laki itu, sebenarnya Bayu lah yang membuat dia nyaman, Bayu yang selalu menenangkan dan membuat nya damai tapi sayang ... Bayu bukan lah rencana tuhan.
Laki-laki itu mencoba menghapus air mata gadisnya, berusaha untuk membuat wanita itu kembali tersenyum meski hatinya pun butuh untuk di hibur. Karena bahagia Lia adalah bahagianya juga, jika Lia sedih maka hatinya pun sama, namun yang berbeda hidup Lia adalah hidupnya tapi tidak sebaliknya, jika dia setia padanya justru Lia membagi cinta sucinya, begitulah takdir yang rumit dia jalani hingga akhirnya berhasil memberi duri.
“Gimana kalau kita pergi nonton ?” Ajak Bayu, dia selalu memiliki 1001 cara agar Lia kembali mendapati senyumnya,
“Nonton apa ?”
“Nonton apa aja.”
“Enggak, aku lagi ga mau nonton.”
“Makan es krim ?”
“Enggak mau.”
“Ya sudah lah makan hati aja.” Bayu mengeluarkan dua tiket nonton flm kesukaan Lia,
“Loh iyah ! Ko aku bisa lupa ?!”
“15 menit lagi ni.” Akhirnya Lia berdiri, menarik baju laki-laki yang berhasil membuatnya mengemis untuk pergi nonton flm.
“Ayoooook.” Bayu dengan sengaja berlaga cuek, tak mau dengar apa yang dikatakan Lia, dia sangat senang jika wanita itu merengek di depannya bersikap manja dan kekanak-kanakan, sampai Lia lelah barulah Bayu akan merangkulnya dan menuruti wanita itu
“Ya sudah mana tiket nya ? Biar aku saja, sayang kalau gak di pake.” Wanita itu mencoba merebut tiket itu, tapi Bayu malah lari.
Waktu itu memang indah andai saja tuhan memilihkan Lia yang menemani waktu senjanya mungkin dia tak akan susah payah untuk berpura-pura. Sayangnya entah apa yang tuhan rencanakan, katanya sih perempuan yang baik itu untuk laki-laki yang baik juga, masalahnya mungkin dia tidak cukup baik untuk Lia, tetap saja Bayu tak ingin tahu, yang dia mau Lia menjadi pendamping hidupnya.
Bayangkan ! Lebih dari 1000 hari Bayu menemani wanita pujaannya, dia mengira Lia lah jawabannya, saat pertama kali Bayu menemukannya, dia rasa Bayu hanya akan bahagia jika bersama wanita itu. 1000 hari menjad i tak ada artinya setelah satu hari terburuk yang ada di hidupnya menghapus semua kenangan indah itu, tak hanya kenangan saja, tapi juga harapan, harapan untuk bisa menikmati senja bersama Lia. Lebih dari 1000 hari dia mengumpulkan keberanian, memberikan semua yang terbaik yang dia punya, bahkan Lia seolah menjadi segalanya, namun lihatlah ...bukan Bayu yang berada di kursi itu, buka Bayu yang menjabat tangan Ayahnya dan bukan Bayu yang menemani tidurnya. Dia selalu membayangkan Lia adalah orang pertama yang dia lihat saat membuka mata, mencium keningnya, merapikan bajunya, membuatkan sarapan terlezat untuknya, dan Bayu juga membayangkan bahwa Lia lah orang yang terakhir dia lihat di ujung waktunya.
Semuanya penuh dengan Lia, “Lia ... bagaimana bisa ini semua terjadi ? Setelah empat tahun lebih ... kau membuat ku yakin bahwa terindah itu ... memang tak pernah ada.”
***
Laki-laki itu merapihkan semua penglihatannya, menutup matanya seraya menutup ceritanya pada senja. Berjalan-jalan kecil menjadi pilihan Bayu ada syair-syair hampa dalam setiap langkahnya, teriakan kerapuhan dan sebuah cinta yang tak ingin meredupkan cahayanya. Bayu merasa gila dengan semua yang telah terjadi kini dia membenci dirinya sendiri dan entah mengapa dia hanya inginkan Lia di bandingkan nyawanya.
Angin seolah ingin berdamai dan menghibur hatinya yang hancur.
            “Lia ...
Aku membenci angin disana, yang bisa dengan bebas menyentuhmu kapan pun dia mau, kini ... dia lebih dekat dengan mu daripada kemeja flanel ku. Angin menemani mu setiap detik yang berlalu kini dia mendamaikan mu lebih dari senyuman ku yang dulu menjadi alasan tawamu. Lia ... apakah angin tak bertanya pada mu ? Tentang kemana perginya aku ? Apakah angin menanyakan laki-laki itu ? Siapa dia ? Bahkan dia tak tahu kau selalu menangis di pundak ku, dia tak tahu Lia, bahwa sebenarnya akulah yang selalu menghapus air matamu. Jangan-jangan kaulah yang tak mau tahu, Ahhhhh Liaaaaaa ... aku cemburu ...”
“Mas ...” Suara itu ?
“Encun ening dulu ...” Tergambar senyum sang bunga yang memanja
“Aku mencintaimu ....” Sorot matanya yang selalu berhasil mebuat Bayu membeku
“Maaf.” Wanita itu tertunduk dengan air mata yang di biarkannya, Bayu tak sudi jika Lia meminta maaf karena tak bisa menemaninya, dan itu kali pertama Bayu meninggalkan Lia tanpa menghapus tangis dan menghiburnya. Bayu terlanjur sakit, jiwa nya terlanjur mematung, bibirnya seolah terkunci oleh jutaaan air mata yang tertahan.
“Aaarrrggh ....” Sudah pergi saja, karena mungkin dari dulu kau hanya memamfaatkan ku.     
***
Laki-laki itu melempar batu sejauh yang dia mau, seolah dia melempar semua kenangannya bersama Lia, atau dia membayangkan Lia lah yang dia lempar. Sulit membedakan benci dan cinta,  laki-laki itu sadar kalau kini dia tak bisa lagi bermimpi untuk mendapatkan wanita itu hanya saja ada sesuatu yang aneh yang terus menerus berbisik padanya jika hanya Lia lah orangnya.
Senja kala itu begitu indah, layung pun dengan sempurna memamerkan apa yang dia punya, tapi    keindahan senja tidak bisa mengecoh apa yang ada di pikirannya. Dia selau berandai jika wanita itu di takdirkan untuknya, andai hari itu tidak pernah terjadi, semua akan tetap terasa indah.  Entah sebuah pertemuan kah atau sebuah perpisahan yang harus Bayu sesali, yang pasti keduanya juga salah, untuk apa dia bertemu jika akhirnya tak bersatu, untuk apa berpisah jika memang masih ada cinta di antara keduanya. Dia merasa sudah memberikan yang terbaik untuk Lia namun bisa-bisa nya Lia membuang dirinya, seolah tak pernah terjadi sesuatu diantara mereka, 4 tahun bukanlah waktu yang sebentar, seharusnya Lia paham betul apa yang Bayu inginkan.
Tak terasa senja sudah mulai larut, layung tak lagi menjadi jingga dia sudah bercampur dengan pekatnya lagit di malam hari.
Berjalan mengikuti cahaya lampu pijar, kakinya seolah tak menapak, “Apa harus aku melayang-layang agar aku bisa lebih dekat dengan mu ? Apa harus ku ubah jasad ku menjadi sebuah arwah tanpa tubuh agar aku bia menjamahi seluruh tubuh mu ? Jawab Lia ?!”
Laki-laki itu merasa dirinya lah yang paling kacau.
***
Selain di tempat bekerja, Bayu juga mulai menyibukkan dirinya dengan keluyuran di waktu malam, jika dulu Lia lah yang membuang lelahnya kini Bayu lebih sibuk dengan teman-temannya, kemanapun temannya minta di antar dia akan tetap bersedia untuk menemani mereka, bahkan sekarang Bayu lah yang lebih sering membuat agenda, seperti pergi nonton atau sekedar ngopi bareng. Sebagian dari temannya mengerti luka yang sedang dia jalani tapi ada juga sebagian mereka yang bertanya sedikit tentang Lia, tak apa Bayu masih bisa mengerti.
***
Ternyata tak cukup sehari saja dia lupa, sebanyak apapun pekerjaan yang dia selesaikan tetap saja sesekali wajah wanita itu terus terbayang.
“Kenapa Bro ?” Tanya Rudi,
“Bukan apa-apa.” Tembal Bayu singkat, Bayu memang selalu seperti itu, selalu bersembunyi.
“Apa gue harus ngadain sayembara ?”
“Sayembara apa ?”
“Sayembara, kalau ada yang bisa bikin loe lupa sama cewek itu akan dapat hadiah, hehehe.”
“Boleh juga, tapi hadiahnya loe yang tanggung.” Balas Bayu, ternyata dimana pun dia sembunyi, tetap saja semua temannya tahu.
Karena terlalu banyak pekerjaan sore ini Bayu tak bisa kembali menemui senja, bercerita sejauh mana dia mencoba melupakan Lia. Hingga akhirnya hanya pada malam lah laki-laki itu bersandar.
Langit terlihat tak seperti semestinya, begitu pekat bertanda jika hujan sebentar lagi akan mengguyur tanah bumi.
“Apa tak sebaiknya menunggu hujan dulu ?” Usul Bu Maryam penjaga kantin,
“Justru saya gak mau kehujanan disini Bu.”
“Daripada hujan di jalan, disini kan kamu bisa ngopi dulu.”
“Aku pulang sekarang saja Bu, In syaAllah hujannya masih lama, masih keburulah sampe rumah.”
“Yowesh, tak hati-hati yang lek’.”
“Siap Bu, mari.”
“Mari.”
Menikmati angin malam sendiri ternyata tak semalang yang dia pikir, karena berdua juga tak memungkinkan bahagia.
“Mas ? Jangan ngebut-ngebut, ini di belakang orang loh bukan karung.”
“Santai saja asal kamu pegangan aman ko.”
“Ah dasar ! Kamu ini ! Kamu modus kan Mas ?”
“Hehe ... Kenapa memang nya ? Kalau kamu takut pegangan saja, apa aku salah ?”
“Bukan begitu Mas maksud aku.”
“Terus ?”
Dia terus menambah kecepatan motornya, dia harap angin yang kencang akan merontokan ingatannya tentang Lia, sampai akhirnya hujan pun turun.
Saat hujan adalah saat yang tepat untuk Bayu melampiaskan semuanya. Tak perduli sederas apa hujan itu, dia begitu yakin jika besok dia tak akan sakit hanya karena main hujan.
“Lia apa kau tahu ?
Aku kembali cemburu pada rintik-rintik hujan di belahan bumi mu, dengan mudahnya dia bisa menyentuh lembutnya kulitmu, bukan lagi aku yang menghangatkan mu, namun dia yang akan selalu ada memelukmu, aku tak bisa lagi sedekat hujan, jika dulu jaket ku-lah yang selalu kau minta sekarang tak lagi sama.
Lalu ... kemana hujan yang dulu ? Yang selalu berkomposisi senyuman mu, manja mu, peluk mu, hangatmu, kemana hujan yang dulu ? Aku bertanya padamu Lia ? Jawab ! Bukan hanya diam saja !
Apa hujan itu tak pernah menanyakan ku ? Apa tak ada yang meminta padamu untuk tetap perduli ? Sudahlah lebih baik ku akhiri.”
***
Cemburu itu seperi hantu sudah selayaknya rindu yang selalu mengikuti Bayu, apalagi saat-saat hujan di waktu yang sempurna untuk mengenang. Sembari membayangkan semua yang telah terjadi di waktu lalu, sebelum keputusan Lia mengutuknya menjadi seseorang yang melankolis. Mendadak Bayu menjadi seorang penulis puisi, pembaca sajak-sajak senja, bahkan apa yang dia tulis berhasil memukau rekan kerjanya di kalangan hawa.
“Sejak kapan kau bisa menulis sebagus ini ?”
“Apa itu perlu aku jawab ?”
“Sebaiknya begitu, kau tahu wanita selalu penasaran.”
“Apa kau penasaran ?”
“Ya.”
“Tapi aku tidak perduli.”
Bayu meninggalkan Monik yang menemaninya makan siang, entahlah kini Bayu malas berhadapan dengan perempuan, siapapun itu termasuk Monik.
“Makasih ya Mas, hati-hati.” Suara itu, sudah menjadi candu sejauh apapun jaraknya Bayu akan tahu, Yah ! Suara Lia, terlihat dia dengan seorang pria yang mencium keningnya lalu pamit dengan mencium tangan laki-laki itu. seketika tangannya yang lentur mengepal, sesak di dadanya mulai merambah memenuhi kerongkongan, nyaris dia tak bisa bernafas, namun apapun yang terjadi harus tetap di hadapi.
Dua sejoli itu saling memandang, Bayu tak tahu apa Lia juga merasakan hal yang sama dengannya, merasakan sesak angy amat sangat mengganggu pernafasannya. Wanita itu tesenyum, langkah Bayu terhenti. Dia pikir wajar jika dia merasakan sesak sedalam ini.
“Mas ...”
Wanita itu melewati tubuhnya, sesekali angin mengabarkan pesan bahwa itulah aroma tubuh yang di inginkan Bayu. Dengan cepat rasa rindu kembali hadir malah mungkin tumbuh menjadi wujud yang semakin membesar.
Lia ternyata bukan lah senja untuknya. Kini semua sudah tak ada gunanya lagi, laki-laki itu sudah berjanji untuk sehidup semati dengan Lia, yang pasti kini Bayu harus kembali menata hati, menyipakan ruang baru untuk seseorang yang juga baru, sebuah rindu tinggalah rindu,, dan tak ada guna lagi dia tuk cemburu.
****

SEKEPING SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang