#02_MOST WANTED

107 14 2
                                    

SMAN 8 Jakarta. Sebuah sekolah ternama di ibukota. Sekolah unggulan dengan murid pandai di dalamnya. Disinilah Alberta berada sekarang. Berjalan di sepanjang koridor yang mulai ramai dengan kepala yang terus ditekuk kebawah. Siapapun akan mudah mengenalinya karena penampilan yang berbeda.

Bagaimana tidak? Jika semua murid diterima karena kepandaian yang dimiliki. Lain hal-nya dengan Alberta yang diterima karena uang dan kekuasaan ayahnya.

"Eh, lihat! Cewek cupu bin idiot udah datang ..."
"Woy jauh-jauh dari dia kalau gak mau kena kumannya ..."
"Orang kayak dia mah hempas aja ke laut ..."
"Yang kayak gitu dipertahanin ..."
"Urat malu dia udah putus kali ya ..."

Berbagai hinaan mengalir begitu saja di sepanjang jalannya menuju kelas. Ingin rasanya Alberta lenyap saja dari muka bumi ini. Dunia yang kejam bagi Alberta, tiada bedanya dengan neraka dunia.

Salahkah jika aku terlahir tanpa kemampuan seperti mereka? Dunia ini memang kejam. Kurasa jawabannya adalah 'ya' karena seseorang yang terlahir tanpa kemampuan hanya akan menjadi bahan bully-an bagi mereka yang memiliki kemampuan.

So, apa yang harus aku lakukan? Ku rasa aku telah menemukan jawabannya.

Alberta mempercepat langkahnya menuju kelas--XI IPA 3. Sesampainya dikelas ia disambut oleh tatapan tidak suka dari teman sekelasnya--atau mungkin bukan temannya. Perlahan tapi pasti ia berjalan menuju bangkunya di sudut kelas dengan kepala menunduk dan mata yang sesekali terpejam.

BRUKK ...

Alberta terjatuh dengan kedua lutut dan telapak tangannya yang menyentuh lantai. Semua orang yang berada dikelas kompak menertawainya. Ia mendongakkan kepalanya untuk melihat si pemilik kaki yang sengaja menghalangi langkahnya.

Anastasya Maurena atau lebih akrab dengan sebutan Rena. Seorang gadis terpandai dikelasnya. Tengah menatapnya dengan pandangan tak suka. Senyum sinis tercipta diwajahnya. "Ups, sorry ... gue sengaja!" tegasnya tanpa rasa bersalah.

"Makanya kalau jalan tuh lihat-lihat pake mata!" seloroh Aldo. Sisa tawa masih terdengar dari beberapa murid di dekatnya.

Tangannya yang tak berubah posisi sedari tadi terkepal sempurna. Matanya terpejam. Setetes mutiara jatuh di atas punggung tangannya yang terkepal. Matanya memerah ketika berhasil terbuka dengan sempurna. Napasnya yang memburu berusaha ia kendalikan sebisa mungkin.

Sebenci itukah mereka kepadaku? Apa salahku? Tak lelahkah dengan mereka yang mengejekku setiap hari? Apakah hidupku hanya untuk menjadi bahan bully-an saja? Kapan aku bisa hidup dengan tenang? Katakan! Jawab aku!!

Ia bangkit ketika berhasil mengendalikan dirinya. Meneruskan langkahnya yang sempat terhenti dengan kepala yang menunduk.

Tak lama bel berbunyi ketika Alberta berhasil duduk dibangkunya. Kelas menjadi sunyi ketika guru memasuki ruangan. Pelajaran pun dimulai.

***

Bel istirahat telah berbunyi 5 menit yang lalu. Sebagian besar murid SMAN 8 Jakarta melangkahkan kakinya menuju kantin. Untuk apa lagi jika bukan menuruti keinginan cacing di perut mereka yang menagih jatah makan.

Namun tidak dengan Alberta. Langkahnya tertuju pada sebuah ruangan penuh buku disekolahnya--perpustakaan. Ini adalah langkah awal untuk mengubah kehidupannya.

Neraka dunia, tunggulah perubahanku agar aku bisa menikmati hidup didalamnya. Ku tunggu sebuah uluran tangan untuk menjadi surga duniaku. Entah kapan dunia akan berbaik hati kepadaku. Tidak masalah jika tangan itu tak pernah terulur kepadaku. Karena aku, tidak pernah benar-benar menginginkannya. Hidupku neraka-ku. Itulah kenyataannya. Dan aku, menyukainya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NERAKA IMPIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang