The End

69 13 9
                                    


.
.

Langit biru cerah nan indah yang tertutupi sekumpulan awan kelabu, menandakan akan kehadiran sang hujan.

Angin mulai berhembus lebih kencang. Suhu mulai menurun dan terasa begitu menusuk ketika bertemu dengan kulit yang terlapisi dengan kain tipis.

Gemerisik daun mulai terdengar tidak beraturan. Melihat cuaca seperti itu tentu saja orang-orang akan segera mempercepat langkah mereka pergi ketempat tujuan atau memutuskan untuk kembali pulang. Tapi tidak dengan seorang gadis bersurai panjang yang berjalan ditrotoar itu. Ia tak peduli dengan angin yang semakin kencang menerpa tubuh mungilnya.

Seorang gadis bernama Karin berjalan sendirian tanpa arah. Tubuh gadis itu dibalut dengan hoodie kesayangannya yang terlihat mulai lusuh. Penampilannya terlihat berantakan. Wajah pucat nan sayu, rambut yang berantakan diterpa sang bayu, hoodie yang lusuh dan ditambah lagi luka-luka disekujur tubuhnya bahkan diwajah pucatnya itu.Tatapannya kosong seperti mengatakan 'tak ada yang kuinginkan lagi didunia ini'

Tak lama kemudian setetes demi setetes, sang rinai hujan pun turun membasahi kota itu. Lama kelamaan hujan semakin deras dan angin semakin kencang. Hujan pun mengguyur tubuh gadis itu. Tapi gadis itu sama sekali tak peduli.

Gadis itu berhenti sebentar seraya menengadahkan kepalanya, membiarkan sang hujan menghantam wajahnya itu. Hujan itu turun bersamaan dengan air matanya yang mengalir.

Matanya pun tertutup. Ingin rasanya Ia teriak sekencang-kencangnya dan bersandar dibahu seseorang. Tapi, siapa yang mau?

Air mata yang sejak tadi Ia tahan pun akhirnya mengalir deras bersamaan dengan hujan yang menyamarkannya.

Ia pun mulai berjalan kembali sambil menundukkan kepalanya. Air matanya masih tak berhenti mengalir. Perlahan namun pasti, memori memori pahitnya kembali mengiang dikepalanya.

.
.
.

Karin's POV

Aku sudah tak tahan lagi. Ini sudah melebihi batas. Aku sudah tak mampu lagi. Tak ada orang yang peduli denganku lagi, kan?

Hidupku benar benar hancur sekarang. Keluargaku hancur, teman teman disekolahku pun menbenciku. Ah, bahkan mereka sama sekali tak pantas untuk disebut sebagai teman. Mau seperti apapun keadaanku mereka akan terus menggangguku dan menyakitiku, secara fisik maupun mental. Itu sangat sangat menyakitkan. Kadang aku berfikir, kenapa mereka sebenci itu padaku?

Ayah dan Ibu ku selalu berkelahi setiap hari, setiap malam. Itu membuatku tak bisa tidur. Bahkan tak jarang Ayah memukul Ibu dengan keras. Tapi, memangnya aku bisa apa? Aku hanya seorang anak yang lemah dan tak tau apa apa. Sungguh, aku tak mengerti apa yang mereka perdebatkan. Tapi kalau aku dengar teriakan Ibu, sepertinya ini masalah ekonomi.

Aku memang terlahir dikeluarga yang serba berkecukupan, bahkan lebih dari cukup. Tapi kulihat Ibu selalu menghambur-hamburkan uang itu untuk kesenangannya saja. Kurasa wajar sih kalau Ayah marah. Tapi kenapa perkelahian ini semakin parah, malah terlihat seperti tak ada ujung.

Aku lelah melihat mereka berkelahi. Setiap mendengar mereka berteriak, aku selalu menutup rapat rapat telingaku, walau tetap saja suara suara itu sampai ketelingaku.

Dan akhirnya, dua minggu yang lalu, mereka membuat keputusan untuk bercerai. Ha, yang benar saja. Kenapa kalian melakukan ini padaku? Apa mereka lupa kalau mereka punya anak? Aku kecewa. Sangat sangat kecewa. Rasanya tak ada yang bisa kuharapkan lagi. Padahal aku berharap dirumah ini, dikeluarga ini bisa menjadi bahu untukku. Biar saja mereka yang berada disekolah memperlakukan ku seenak jidat mereka. Selama keluarga ini masih utuh. Tapi ternyata harapanku hanya angan angan semata.

Dengan seenaknya Ayah menikah lagi kemarin dan itu benar benar membuatku muak.

Kurasa orang orang disekolah tau keadaan keluargaku seperti apa, tapi siapa peduli? Mereka tetap melakukan apa yang telah menjadi kebiasaan mereka. Padahal aku berharap setidaknya mereka berhenti menggangguku sehari saja. Tapi lagi lagi harapanku hanya angan angan semata.

Dan sekarang aku berjalan disini. Aku berfikir bukankah tak ada lagi seseorang yang menginginkanku? Kalau begitu... aku pergi saja, kan? Tak ada lagi tempat untukku disini. Aku benar benar ingin meluapkan seluruh keluh sesah dan emosiku. Tapi, kepada siapa aku meluapkannya? Aku menangis dan kemudian menghusap air mataku sendiri. Aku berkeluh kesah dan kemudian aku hanya bisa menelan keluh kesahku sendiri tanpa mengetahui apa yang sebaiknya aku lakukan.

Sampai disini saja. Aku muak, aku sangat muak. Luka luka ini sudah terlalu banyak. Aku tak bisa hidup dengan semua luka ini. Setiap nafasku terasa berat, setiap detak jantungku terasa sesak dan setiap langkahku terasa menyakitkan. Aku memang seharusnya tidak disini.

Aku akan pergi...

Karin's POV off

.
.
.
.

Gadis itu berjalan dengan linglung menuju sungai. Sungai itu memang tak terlalu besar, tapi alirannya cukup deras.

Bajunya basah kuyup, tatapannya kosong dan wajah yang pucat dan sayu. Kalau seseorang melihatnya mungkin akan berlari ketakutan.

"Hidup itu mengerikan, ya. Ah, tak ada yang bisa kuharapkan lagi, semuanya telah sirna, hancur berkeping-keping. Bahkan kepingan-kepingan itu tak bisa kupungut dan satukan kembali. Tak ada lagi Seutas kebahagiaan untukku. Aku . . . tak pantas disini. Tak apa, aku akan pergi"

Ia menaiki pembatas jembatan. Mengambil ancang-ancang untuk terjun kebawah. Sekali lagi, Ia menengadahkan kepalanya. Hujan kembali menerpa wajahnya. Dingin, dingin sekali. Rasanya begitu menusuk.

Perlahan namun pasti, air matanya kembali menderas, isak tangisnya terdengar memilukan walau isakkannya tersamarkan oleh gemericik air hujan yang terbentur dengan tanah.

Gadis itu mengusap air matanya dan tersenyum tipis. Dua kata pun terdengar dari bibir yang yang bergetar dan pucat

"Selamat tinggal..."

Byurrr...

Sebuah riak tercipta disungai itu. Tubuh gadis mungil itu menghantam derasnya aliran sungai.

Berakhir. Berakhir sudah kehidupannya. Ia memang sudah memutuskannya untuk mengakhiri semua ini.

Alat pernapasannya memberontak agar diisi dengan oksigen. Tapi sang pemiliknya tak mengizinkannya. Perlahan pandangannya kabur dan tertelan oleh alam bawah sadarnya.

Tubuhnya terasa mengambang. Tubuhnya mati rasa dan Ia tak bisa merasakan berat badannya. Inikah rasanya kematian?

Perlahan memori memorinya muncul disitu. Dimulai dari kenangan masa kecil yang bahagia sampai penderitaan yang tak berujung. Memori memorinya berputar seperti rol film. Setidaknya Ia pernah merasakan bahagia. Walau itu dulu, dulu sekali.

Sesosok siluet hitam muncul dan menariknya kesuatu tempat.

Ini akhirnya. Selamat tinggal.


The end


Huaaa.....cerita apa ini?!!?
Ngapain w nulis cerita beginian. Cerita yg satunya malah belum up :3

Btw adegan yg 'itu' jangan ditiru ya. Sebenarnya seberat apapun masalah kita pasti ada jalan keluarnya. Tinggal tergantung kita mau mencari ujung permasalahan itu atau nggak. Pokoknya 'bundir' itu sama sekali nggak akan menyelesaikan masalah oke?
Kalau kamu ada masalah cerita aja sama orang2 terdekatmu, keluarga, saudara, sahabat atau temanmu. Kalau mau curhat sama Mahiru juga nggak apa apa kok :3.

Kalau gitu see u next story ;)

Peace✌

-Mahiru

A Bitter LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang