#EMILIA
"Aku sudah menghubungi pemilik blog, dan minta alamat tempat itu."
Abilio adalah sahabat yang baik. Dia tidak pernah setengah-setengah ketika menolong. Tidak hanya pada diriku, tapi juga pada orang lain. Jadi, ketika aku memutuskan untuk pergi mencari mama, lelaki itu adalah orang pertama yang mendukungku.
"Batas-batas negara hanya pertanda wilayah yang dibangun manusia. Pada dasarnya Tuhan menciptakan bumi untuk kita semua. Bendera tak bisa mengubah darah yang telah mengalir dalam diri kita bukan?"
Aku membenarkan ucapan Abilio. Sementara papa, orang yang aku khawatirkan mencegah langkahku, justru membuatku tertegun.
"Pergilah. Dia tetap mamamu. Orang yang bisa mendiamkan tangismu saat kecil. Satu-satunya orang yang bisa memahamimu saat kau merajuk."
"Papa tidak ingin bertemu mama?" aku memancing.
"Keadaan tidak lagi sama, Emili."
"Tapi selama ini papa tak pernah mencari pengganti mama?"
"Itu bukan tujuan hidup papa."
"Papa masih mencintai mama, bukan?"
"Untuk apa mempertahankan orang yang kita cintai kalau ia tak bahagia bersama kita?"
Diam-diam, aku merekam perbincangan itu. Berkali-kali aku memastikan bahwa suara papa kelak, bisa didengarkan oleh mama. Aku berharap, ucapan itu akan menyentuh hati mama, dan mereka bisa kembali berkumpul sebagai satu keluarga. Tetapi, ternyata diam-diam papa telah menyiapkan rekaman tersendiri untuk mama.
Jadi aku berharap itu adalah sinyal yang baik. Seperti harapan yang aku langitkan dalam doa-doa. Jika papa dan mama masih saling mencintai tidak ada salahnya bukan mereka menghabiskan hari tua bersama-sama?
Pikiranku buyar seiring dering telepon dari ponsel Abilio.
"Mendadak sekali?" kata lelaki itu bicara di telepon. "Tidak bisakan diundur sehari lagi? tolonglah!"
Aku menatap raut cemas sahabatku.
"Ya lah sehari saja. Oke. Kuusahakan." Lelaki itu mengakhiri teleponnya. "Syuting dimajukan, apa-apaan."
Abilio memang bukan artis, tapi dia lolos seleksi menjadi salah satu pemeran film The Great Thriller, sebuah film bersambung yang bagian pertamanya sudah tayang di youtube pertengahan tahun lalu. Seorang sutradara dari Portugal yang menggagas film tersebut.
"Aku tidak apa-apa pergi sendiri."
"Ini bukan masalah," Abilio menggeleng.
"Bil?"
"Aku sudah janji sama papa kamu untuk mengantarkan sampai tujuan."
"Film itu?"
"Begitu kau bertemu mereka, aku akan kembali ke Dili. Setelah syuting selesai, aku akan menjemputmu."
"Ya Tuhan. Aku bukan anak kecil yang harus diantar jemput Bil. Aku bisa pulang sendiri. Bahkan saat ini pun aku bisa berangkat sendiri. Aku sudah pelajari baik-baik rutenya." Aku menyerongkan badan ke arah Abilio.
"Ini bukan pelajaran membaca peta, Bu Guru. Ini sesuatu yang besar. Kau tidak tahu kapan butuh orang lain." Seperti biasa, lelaki itu tidak mau dibantah.
Aku kembali membuang muka ke jendela mobil. Menatap jejeran gedung-gedung yang sedang dibangun, batang-batang Madrecacau yang seakan berlari berlawanan dengan arah mobil. Lalu bayangan samar, yang semakin lama bertambah jelas muncul dalam lamunanku. Seorang wanita dengan rambut yang selalu diikat tinggi. Baju terusan bunga-bunga berlengan pendek.
"Mama hanya ingin kebaikan untukmu. Seorang gadis tak hanya pintar di dapur, tapi juga harus mahir melindungi diri." Saat itu, mama mengajak ke belakang rumah, untuk berlatih beladiri.
"Papa atau mama, tidak selamanya ada di samping kamu. Ada saatnya kau harus berjalan sendiri dan bertanggungjawab pada dirimu." kata mama saat aku bertanya, kenapa harus susah payah, belajar berbagai gerakan.
"Mama tidak mengajarimu untuk main pukul 'kan?"
Mama marah, saat kedua orangtua teman sekolahku mendatanginya. Aku memukul dahi anaknya hingga mengalir darah yang banyak.
"Tapi dia mau menciumku, Mama!" Aku tidak bohong.
"Baiklah, mama menerima alasanmu. Ciuman adalah hadiah berharga untuk orang yang benar-benar kau cintai dan mencintaimu kelak. Itupun setelah ia benar-benar mengikrarkan janji dan sah menjadi suamimu."
Potongan-potongan kenangan bersama mama, sebagian besar seperti kepingan-kepingan pesan yang mengendap lama dalam pikiranku. Aku tak pernah menduga sebelumnya, kalau itu adalah percakapan berharga yang tak pernah terulang.
Mama pergi. Benar-benar pergi dari kehidupan kami. Aku memang seringkali mendengar mama dan papa bertengkar di kamar. Namun, karena suaranya terlalu lirih, aku tak tahu pasti apa penyebab keributan itu. Papa juga hanya menjawab, tak ada lagi yang bisa menjembatani perbedaan pandang mereka.
"Tidak juga cinta?" pertanyaanku itu kulontarkan saat SMA.
"Cinta tidak selalu menjadi segalanya dalam pernikahan."
Jawaban papa tak berlanjut. Seringkali lelaki itu nampak enggan membahas hal-hal yang berhubungan dengan perpisahan. Dulu, aku berpikir, kenapa papa begitu tega membiarkan mama pergi bersama Antoni dan Carolin. Mungkin benar, gosip samar yang kudengar, papa punya wanita idaman lain, sehingga mama yang memilih pergi. Tetapi, setelah musim-musim berlalu, dia tak pernah mengenalkan aku pada seseorang yang barangkali, akan menggantikan posisi mama.
Lantas, kehidupan mama, masihkah wanita itu sendirian atau sudah ada orang lain yang menggantikan posisi papa? Di foto itu, tak ada wajah mama. Hanya Antoni dan Carolin saja.
"Turun," kata Abilio.
Taksi yang kami tumpangi berhenti di parkir bandara. Ketika melihat pesawat di landasan, aku tak bisa menahan degup jantung yang dua kali lebih kencang.[]
YOU ARE READING
ESPERANSA [Tamat]
General FictionEmilia, seperti kata Neruda, huruf-huruf melukaiku saat menuliskan kisahmu. Tetapi aku bahagia ketika bisa membagi kisah ini dengan pembaca.