MIRA
Kami duduk berdua setelah kepergian Abilio. Carolin sibuk di dapur. Emilia mengambil ponsel, menyentuh layarnya, dan membiarkan di telapak tangannya.
"Pergilah. Dia tetap mamamu. Orang yang bisa mendiamkan tangismu saat kecil. Satu-satunya orang yang bisa memahamimu saat kau merajuk."
Sekujur tubuhku kaku. Meski enam belas tahun tak mendengarnya, tetap saja aku mengenalinya.
"Papa tidak ingin bertemu mama?"
"Keadaan tidak lagi sama, Emili."
"Tapi selama ini papa tak pernah mencari pengganti mama?"
"Itu bukan tujuan hidup papa."
Suara itu terdengar jelas dalam keheningan kami.
"Papa masih mencintai mama, bukan?"
Aku menahan napas.
"Untuk apa mempertahankan orang yang kita cintai, kalau ia tak bahagia bersama kita?"
Tanpa kuminta, gulungan masa lalu menghantam ingatanku. Cinta. Bahagia. Luka. Lukaku memang sembuh seiring waktu. Kami melalui masa sulit untuk merekatkan retakan-retakan biduk rumahtangga. Saat layar kembali terkembang, aku hamil. Tuhan menghadiahi kami Carolin. Hingga bertahun-tahun hidup kami kembali normal.
Tetapi aku lupa, bahwa waktu bisa membawa kembali yang telah terjadi. Suatu malam, di tengah suasana Timor Timur yang tak menentu, Faustino mengatakan, bahwa wanita yang tak ingin keketahui siapa namanya itu, ingin bertemu dengan Emilia.
Awalnya, aku tidak masalah saat mengetahui mereka kembali bertemu dan menjalin komunikasi. Tidak masalah juga kalau Emilia bertemu dengan ibu kandungnya. Tetapi, kalimat Faustino yang mengatakan bahwa kami harus berlaku adil. Bahwa selama ini kami telah memisahkan wanita itu dengan putrinya, bahwa Emilia berhak punya kehidupan yang normal. Aku sungguh-sungguh tidak terima.
Apa maksudnya? Bagaimana yang terjadi sesungguhnya? Faustino yang membawa bayi itu, atau ibunya yang tak ingin merawatnya? Dan tentang kehidupannya yang menderita karena tak bisa bersama putrinya, apakah Faustino pikir aku bahagia menerima semuanya?
Jadi, saat itu aku curiga, pertemuan mereka, lebih dari sekadar pertemuan biasa. Tetapi bisa jadi mereka mengulang masa lalu yang sama. Dan aku tidak mau mendapat luka yang sama. Sebab itulah aku memilih pergi.
"Mama..." Emilia menyentuh lenganku. Aku mencoba tersenyum meski pipiku terasa kaku. "Aku memahami rasa kehilangan papa atas kepergian mama. Papa bahkan menunggalkanmu dalam hidupnya. Berkali-kali kukatakan aku siap jika dia menikah lagi. Tetapi berkali-kali pula dia menolak."
Emilia meremas tanganku.
"Karena cintaku pada mama dan papa sama besarnya, itu sebabnya aku mencari mama. Juga Antoni dan Carolin."
"Mama minta maaf. Karena keputusanku, kalian jadi terpisah satu sama lain."
"Kita semua korban sejarah, Ma. Banyak juga yang mengalami nasib seperti kita. Terpisah karena pilihan. Bill juga, belum lama bertemu dengan keluarganya yang di Bandung."
Gestur Emilia berubah santai. Tapi aku masih terus bertanya-tanya, benarkah Faustino tak pernah cerita kenyataan yang sesungguhnya pada Emilia?
"Tapi lihatlah, Ma. Betapa kompaknya aku dan Carolin. Kami sama-sama menjadi guru. Itu cita-cita kami waktu kecil."
"Kalian memang anak-anak hebat yang membanggakan."
"Papa dan mama yang telah mendidik kami dengan hebat."
YOU ARE READING
ESPERANSA [Tamat]
General FictionEmilia, seperti kata Neruda, huruf-huruf melukaiku saat menuliskan kisahmu. Tetapi aku bahagia ketika bisa membagi kisah ini dengan pembaca.