Barangkali kau akan heran melihat kota ini begitu lengang di malam hari. Tak mungkin kau dapati lalu-lalang kendaraan, muda-mudi yang bergandengan tangan di sepanjang trotoar, atau jejeran maneken di etalase toko pinggiran jalan. Semuanya seperti lenyap. Kesunyian bagai ditumpahkan ke kota ini. Yang kau temui di siang hari, takkan kau dapati lagi di malam hari. Hal yang paling mungkin kau temui adalah beribu pasang laron yang seakan memenuhi seisi kota: gedung-gedung tua, jalanan kota yang memanjang, bahkan di setiap gang sempit di celah kota. Laron-laron yang muncul tiap malam tanpa harus menunggu datangnya hujan. Orang-orang kota ini percaya bahwa malam memang tercipta untuk kesunyian, melihat segala keindahan, dan selebihnya, melepas segenap kerinduan yang lama mendekam.
Di pagi hari, kau akan menemui hal yang begitu berbeda. Keramaian dan keceriaan seakan membasuh tiap sudut kota begitu saja. Suasana yang tak mungkin kau jumpai di kota ini kala malam hari. Maka lihatlah alun-alun kota, taman, kafe, bahkan setiap celah di kota ini, kau akan mendapati kebahagian tumpah, meluber di mana-mana. Hanya satu hal yang mungkin akan membuatmu tercengang: bila kau perhatikan dengan seksama orang-orang kota ini, nyaris semuanya, buta!
Padahal sebelumnya — setidaknya menurutku saja —, kota ini bagai kesenduan yang sengaja tak ingin diusaikan. Orang-orang hanya sibuk menangis dengan sepasang mata mereka untuk mewakili kerinduan pada orang yang mereka kasihi dan telah lama pergi. Terus saja begitu. Tak ada tawa, keceriaan, atau bahkan kidung-kidung yang bila dibaca akan sangat menentramkan. Hanya satu hal yang acap kali mereka lakukan: menangis hingga mata membengkak sebagai bukti kerinduan pada mendiang orang yang mereka cintai.Semuanya berubah total sejak kejadian itu, peristiwa yang akan segera dan memang sengaja akan kuceritakan padamu.
Begini awal mula segala perubahan kota ini tercipta: seperti diceritakan leluhur, mulanya semesta adalah kegelapan menyeramkan. Lalu Tuhan menjadikan matahari dan bulan sebagai lentera semesta. Atas nama cinta diciptakanlah kemudian sepasang manusia pertama dari cahaya purnama, juga semua bidadari yang kemudian ditempatkan-Nya di surga. Kebosanan meligkupi semesta. Lantas Tuhan kembali menghiasi langit dengan gugusan bintang sebagai corak baru dan senja yang awalnya seperti hamparan selendang keemasan, lengkap dengan bianglala yang muncul setelah guyuran hujan. Dan yang kami yakini selama ini, seperti cerita leluhur turun temurun yang akhirnya sampai di telinga kami, suatu saat kelak seorang bidadari akan turun ke kota ini.Benar saja, tepat sebulan yang lalu tiba-tiba saja cahaya purnama memucat. Ada yang perlahan keluar dari bulan dan sepertinya hendak turun ke bumi, seorang bidadari dengan sepasang sayap kebiruan yang membentang serupa bekas luka sayatan di langit malam. Sayap itu lantas menghilang begitu saja saat kakinya yang jenjang menginjak bumi untuk pertama kalinya. Ia turun tepat di hamparan batu yang berjejer di tengah teluk satu-satunya di kota ini.
Bidadari itu menangis sepanjang malam. Rintihan sendu yang menggema di seluruh kota dan sungguh memilukan. Orang-orang mulai bertanya-tanya sebelum akhirnya bidadari itu memberi sebuah jawaban: ia dikutuk Tuhan dan diturunkan ke bumi selamanya. Maka gemparlah seisi kota. Orang-orang mulai bergerombol memenuhi pinggiran teluk untuk menyaksikan tangisan pilunya yang sungguh menyayat perasaan.