Malam Hari Kota Ini Part 2

3 0 0
                                    

Cerita mengenai bidadari itu menjalar begitu cepat bagai wabah yang menjangkiti seisi kota; di kafe, pasar, warung-warung kelontong pinggir jalan, bahkan kutaksir hampir semua mulut di kota ini berbicara hal yang sama, perihal bidadari yang diturunkan ke bumi sebab dikutuk Tuhan. Dan kau pun mungkin akan tahu kabar ini sebagaimana diberitakan di televisi dan koran-koran. Namun masih banyak hal yang tak mungkin kau ketahui sebab orang-orang kota ini sepakat melarang para reporter meliput lebih lanjut bidadari itu, pun orang luar kota untuk menyaksikan langsung segalanya. Itulah salah satu alasanku menceritakan semua ini, padamu.

Inilah yang terjadi kemudian, beberapa malam yang lalu di antara beribu pasang mata yang selalu menyaksikan tangisan sendunya dari pinggir teluk, bidadari itu tiba-tiba, tanpa disangka, mencongkel kedua matanya! Seseorang memberanikan diri bertanya, bidadari itu hanya menjawab, “Dengan begini, aku bisa melihat yang tak bisa kau saksikan dengan sepasang matamu. Aku bisa melihat surga lagi, melihat pangeranku yang telah ku khianati.”
“Apa jika kami melakukan seperti yang kau lakukan, kami juga bisa bertemu dengan keluarga kami yang telah tiada?”
“Ya,” bidadari itu mantap menjawab.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Kau pun takkan menyangka, seperti terhipnotis orang-orang itu mulai mencongkeli mata-mata mereka dengan rerantingan, atau apa pun yang mereka temui di sekitar teluk. Bahkan, ada yang lari terbirit-birit ke rumah masing-masing hanya untuk mengambil benda-benda yang bisa digunakan untuk mencongkel mata mereka. Seketika raungan dan rintihan memenuhi seluruh kota. Darah segar menetes di mana-mana. Namun hal itu tak berlangsung lama. Suasana lantas berubah menjadi keheningan paling menentramkan. Kau mungkin tak percaya, seperti kepompong, mata-mata yang telah berjatuhan di tanah itu melahirkan laron-laron dengan sayap kokoh keemasan. Seperti terorganisir, laron-laron itu akan terbang berpasangan layaknya sepasang mata yang berkilauan. Dan tepat tengah malam, bagai dikomando, laron-laron itu akan terbang mengangkasa. Terus ke atas dan semakin melangit hingga tak terlihat di kejauhan.

Aku hanya bisa menyangka laron-laron itu terbang menuju surga dan menemui orang-orang tercinta mereka yang telah tiada. Dan benar. Esoknya, seluruh kota dipenuhi orang-orang dengan sepasang liang menganga bercerita hal yang sama: melihat indahnya surga dan bertemu orang-orang yang mereka cinta. Tak hanya itu, mereka bahkan benar-benar dapat melihat hal yang tak dapat mereka saksikan sebelumnya. Maka jangan tanyakan apa yang sedang kau sembunyikan di saku pakaianmu, apa yang sedang kau pikirkan, atau apa pun yang kau kira tak bisa mereka jawab karena tak punya mata. Mereka akan dengan mudah menjawab semua itu tanpa satu pun yang tersisa. Bahkan, mereka bisa melihat tahi lalat di punggungmu yang mungkin kau sendiri tak pernah tahu hal itu.

Sejak itulah kehidupan kota ini berbeda jauh dari sebelumnya. Tinggallah para tokoh agama — yang juga buta — mengambil peran selanjutnya. Dari tiap mesjid, geraja, vihara, para tokoh agama menyerukan hal yang sama: wajib mensyukuri semua kenikmatan ini dengan terus berlaku semakin baik dari hari ke hari, agar tidak hanya bisa melihat keindahan surga saja, tapi menjadi penghuninya kelak bila tiba saatnya.

Malam Hari Kota IniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang