Berani kujamin, saat ini, di kota ini, kau takkan temui pemabuk yang berjalan malas lalu mendengkur di emperan toko, pelac*r yang menunggu pelanggan di jalanan remang, atau tempat-tempat ibadah yang terbakar sebab penganutnya yang bertikai. Bahkan baru-baru ini kudengar penduduk kota ini sepakat membuat tugu baru di tengah kota berbentuk bidadari dengan sepasang mata laron yang berkilauan, berbeda dengan kotamu yang dari kabar angin kudengar juga akan membuat tugu berbentuk tikus-tikus berdasi sedang merayapi bangunan bertingkat dan sebuah tangan tergenggam dengan hanya jempol yang terangkat di sampingnya.
Dan malam ini sebagaimana kebiasaan baru kota ini: bidadari itu tak lagi menangis, kesunyian membalut kota, orang-orang lebih memilih tepekur nyaman di rumah untuk bersiap-siap menyaksikan pemandangan surgawi dengan tenang, hingga nyaris aku sendiri yang menikmati indahnya purnama di teluk ini ditemani beribu pasang laron dan bidadari yang nampaknya juga sedang bersiap-siap menikmati apa yang akan ia saksikan.
Mungkin aku akan menjadi orang terakhir dengan sepasang mata lengkap di kota ini yang sempat menceritakan segalanya padamu. Setelah ini, aku juga akan mencongkel kedua mataku agar aku bisa seperti yang lain; menyaksikan indahnya surga, dan yang terpenting melihat hal yang amat kurindukan selama ini, yang kudamba-dambakan sepenuhnya untuk seluruh manusia: sebuah keadilan. [*]