2. First Piece

54 10 0
                                    

-1992-

"Cepatt.. Ayo larii!"

"Iya, kamu duluan saja cepat kabarin lobby sebelum tutup.."

"Yaudah, aku duluan, kamu cepat nyusul, atau hal yang gak kita inginkan bahkan lebih buruk dari itu akan terjadi."

"Hush! Jaga omonganmu, yang!! Cepat larilah."

Aneh, bahkan kuingin tertawa tiap kali mengingat kejadian ini, hehe.. Bukannya sehati sambil lari karena waktu gak bisa diputar, kan? Tapi, di saat genting seperti itu.. Orang tuaku masih sempat bertengkar sedikit, bayangkan kalau kemarahan mereka menjadi - jadi saat itu. Mungkin, terlambat sedikit usai sudah..

"Hei permisi, kami butuh satu ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat) untuk spesialis anak segera, Pak!" perintah pak Tony, ayahku dengan paksaan.

"Emm.. Sebentar kami lihatkan, Pak.." jawab petugas rumah sakit itu.

Tetapi, karena merasa nyawaku terancam, ayahku langsung berkata, "Cepatlah, kamu mau bertanggung jawab kalau anak ini mati?? Hah?! Cepatt!"

"Iya, Pak.. Ta-tapi, ruang IGD untuk anak sedang dipergunakan, Pak.." jawab petugas itu dengan terbata-bata.

Uhukk.. Uhukk.. Hoekk!

Ah, suatu hal yang memalukan. Aku memuntahkan isi perutku disitu, betapa memalukannya aku. Andaikan waktu bisa diulang dan saat itu aku bisa berjalan, mungkin aku akan berlari ke samping petugas itu dan memuntahkan isi perutku di sampingnya agar ia mau mencarikan ruangan untukku..

"Sayang.. Anak kita muntah lagi.. Bajuku bau isi perut bayi.. Cepatlah!" keluh bu Sarah, ibuku.

"Kau lihat pemandangan indah itu? Kau mau rumah sakit ini penuh dengan muntahan seperti itu? Cepat carikan ruangan untuk kami beserta dokternya!?" desak ayahku.

Glup.. Sembari menelan ludah, petugas mengontak dokter yang ada di spesialis anak-anak, "I-Iya pak, saya kabari dulu dokternya.. Halo dokter, disini ada anak perlu pemeriksaan mendadak dan darurat, dimohon memeriksanya dan menyediakan ruang untuknya.. Ohh, iya Pak.. Iyaa siap segera, Pak."

"Gimana? Apa masih lama?!" desak ayahku tak sabar. Mungkin tak sabar bukan karena takut terjadi hal buruk, tapi hanya takut aku memuntahkan isi perut lagi karena baunya yang begitu menyengat.

"Kami panggilkan para perawat kami dan ikutlah mereka, Pak." dengan tegas dan sigap petugas itu menjawabnya.

Kudengar deru-deru suara kaki yang tak beraturan menandakan banyak orang sedang berlari bergegas menuju ke arah kami. Dan ya, tak lama kemudian beberapa perawat laki-laki membawa ranjang beroda dan menaruhku di sana dan mereka berlari. Kulihat mereka nampak panik semua, terkecuali petugas yang tadi. Ia hanya memandangi bekas isi perutku yang belum dibersihkan.

"Oh, hari yang sial.. Ini sudah malam, para cleaning service sudah pulang, dan aku harus membersihkan virus kuning kehijauan itu.. Sendirii?? Rasanya lebih baik kumengundurkan diri saja." gerutu petugas itu.

Tapp.. tapp.. tapp

Suara kaki mereka terhenti di suatu ruangan pojok dan kudibawa masuk ke ruangan itu. Kulihat orang tuaku memaksa untuk masuk tetapi salah satu perawat itu melarang mereka untuk masuk. Akhirnya mereka menyerah dan menunggu di luar.

Kulihat dokter berkacamata dan bermasker itu mulai memegang alat-alat kedokteran. Mereka mulai menusukkan jarum suntik padaku. Dengan sontak kumenangis saat itu, karena yang bisa kulakukan hanya menangis tak bisa memaki mereka.

"Oekkkk... Oekkk!!" semakin cairan itu masuk, aku semakin teriak tak karuan dan.. Aku tak ingat apa - apa lagi setelah itu.

-sekitar puluhan menit kemudian-

ImperfectWhere stories live. Discover now