Yang Tak Nyata

4.6K 67 10
                                    

***

Aku percaya pada setiap ungkapan manusia yang berkata bahwa semua sudah ditetapkan oleh Tuhan. Namun aku tidak pernah setuju pada kalimat “Pasrah pada keadaan.” Karena menurutku itu hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Dan kurasa, aku sedang berada di posisi itu sekarang.”
-Cemara Felistya-

***

Ia tidak pernah mengira jika semuanya harus berakhir dengan seperti ini. Kehancuran yang menerjang dengan cara tidak seimbang itu mampu meruntuhkan segala apa yang selalu ia harapkan dalam benak. Orang tuanya memilih berpisah setelah Pram, sang Papa, ketahuan selingkuh oleh teman satu kantornya.

Mawar yang merupakan wanita hebat yang menjadi Mama-nya itu memang tidak terlihat keberatan. Namun, ia sangat mengerti bahwa Mawar juga memiliki hati yang pasti terluka karena ini.

Tiga bulan telah berlalu. Kehidupan baru bagi gadis cantik berambut panjang sebatas pinggang serta adiknya yang mempunyai lesung pipit pada pipi bagian kanan. Ara, gadis yang baru saja genap 17 tahun saat Papa dan Mama-nya mengikrarkan sebuah kalimat perceraian. Hadiah terburuk dalam hidupnya.

“Ma?” panggil gadis itu pada sang Mama yang baru saja selesai menyiapkan sebuah sarapan untuk dirinya dan juga Talia, adiknya. “Kenapa harus pindah ke luar kota, sih? Kan bisa tinggal di rumah Nenek. Biar Ara sama Talia nggak perlu pindah sekolah.”

Sambil menyendok nasi yang ada dalam rice cooker untuk Talia, Mawar menjawab, “Mama cuma pengin ada kehidupan baru, di kota yang baru juga, Sayang.”

“Alah,” Ara berdecak. “Bilang aja kalau Mama masih sayang sama Papa ‘kan?”
Mawar tidak menjawab ia kini sibuk mengelus puncak kepala Talia dengan penuh kasih sayang.

“Kalau masih sayang, kenapa harus pisah? Nyakitin diri sendiri aja!” protesnya, meskipun sebenarnya jauh dalam lubuk hati Ara, ia tidak tega mengatakan hal seperti itu pada sang Mama.

“Nggak ada yang bisa tau kayak gimana jalan hidup kita ke depan. Ya, mungkin jalan hidup keluarga kita emang kayak gini,” jawab Mawar cepat, berharap bahwa topik pembahasan kali ini tidak menjalar kemana-mana.

“Ya tapi kan nggak harus pindah ke luar kota juga, Ma. Jadi susah kan ketemu sama Papa.”

Ya, meskipun Pram dan Mawar berpisah, mereka berdua sudah sepakat untuk membiarkan Ara dan Talia tetap menghubungi Pram, bertemu pria itu atau bahkan menginap di rumahnya. Namun semua itu kandas, saat Mawar mengatakan bahwa mereka harus ikut pindah ke luar kota. Karena jarak yang terbentang jauh membuat Ara mapun Talia tidak mampu bertemu dengan Pram seperti waktu-waktu sebelumnya.

“Kak Awra apwaan sih? Pwagi-pwagi udwah ngwomwel ajwa,” sahut Talia setelah menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

“Ngomong apaan sih, nggak jelas!”
Setelah mengunyah lalu menelan nasi yang ada di dalam mulutnya, Talia menjawab ucapan Ara. “Kalau laper tuh makan, Kak, bukan ngomel.”

Ara memutar bola matanya sebal. Ia tahu bahwa Talia adalah adik kecilnya yang menganggap semuanya ringan. Bahkan ia seperti tidak merasa ada yang kurang dari keluarganya sekarang. Padahal jelas bahwa Pram tidak lagi bersama mereka.

“Oh iya, Ma. Teman-teman Ara yang baru katanya mau main ke rumah pulang sekolah nanti, boleh kan?” tanya Ara pada Mawar yang kini menyeruput segelas teh di hadapannya.

“Bo-”

“Enggak!” potong Ara cepat. “Apaan sih, bawa-bawa orang asing ke sini. Di kira penampungan apa?!”

“Ma,” ulang Talia dengan sorot mata penuh harap. “Boleh ya?” lanjutnya lagi tanpa menghiraukan tatapan tajam milik Ara.

Mawar mengangguk sembari tersenyum lebar. “Boleh sayang.”

One ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang