––––––––––
Tidak ada hal yang dapat menyandingi kebahagiaan diantara kedua sahabat yang sedang saling memaki karena tanda sayang
––––––––––
“Gilda!” pekik seorang gadis manis diujung lapangan.
Di sisi lain gadis bernama Gilda itu memicingkan matanya, terik sang surya menghalangi pandangan Gilda untuk melihat siapa orang itu.
Semakin mendekat, wajah gadis manis itu terpampang jelas, rambut lurus miliknya diterpa angin saat berlari kearah Gilda, lesung yang terukir di bagian pipi kanan menambah pesona yang luar biasa. Sangat manis, pikir Gilda.
“Ada perlu apa, Van?” tanya Gilda.
Vania Larasati, gadis kelahiran padang yang saat ini menyanding gelar wakil ketua OSIS di SMA-nya sekaligus menjadi sahabat Gilda.
“Lo belum absen ya? Gue di kasih tau kak Dito,” ucapnya dengan nafas ngos-ngosan.
“Astaga Vania!! Gue lupa. Yaudah yuk balik ke ruang OSIS.” dengan cepat Gilda menarik tangan Vania.
'Ya Allah Gilda, lo nyiksa gue' batin Vania.
Gilda memang gadis ceria, sejak tadi mulutnya bersenandung–cerewet memang–menyanyikan lagu-lagu pop kesukaannya, dia Afganisme–sebutan bagi penggemar Afgan–tak bisa dipungkiri bahwa ia juga memiliki suara yang cukup dikatakan merdu, jauh berbeda dengan Vania.
Vania menggeluti bakatnya di bidang musik, tangannya lincah ketika memainkan tuts piano, anggun ketika menggesek senar biola, bahkan, sangat gemulai saat memetik gitar akustik miliknya. Suara? Jangan diragukan, sangat merdu.
Langkah mereka terhenti diambang pintu yang bertuliskan 'Ruang OSIS', Vania mengetuk pintu dan mendapat jawaban dari dalam ruangan.
“Guys! Maaf, gue buru-buru. Tadi lupa, nggak tanda tangan.” jelasnya.
“Absen gue mana?” telunjuknya menyusuri disetiap kolom buku itu, mencari nama kebanggaannya.
“Woy! Absen gue mana? Van,” seolah menjadi kode untuk Vania agar membantunya.
“Astaga, Gilda! Hafalin absen yang nyatanya cuma 2 angka aja lo nggak bisa, gimana nasib rumus fisika lo?” sindir Vania sembari meraih buku absen dari tangan Gilda.
“Kenapa jadi bawa-bawa rumus fisika? Sewot.” balas Gilda sambil menjulurkan lidahnya, pertanda Gilda memang tidak ambil pusing perkataan Vania.
Itulah Gilda Nadine, gadis yang kerap kali di anggap biang rusuh SMA-nya, cantik, memang. Berambut panjang lurus dan hitam legam bak model sampo, ia termasuk siswi yang aktif dalam organisasi, sebut saja Osis, aneh bukan? Si biang rusuh (trouble maker) menjadi anggota Osis, terlebih dia diangkat menjadi utusan kelas alias Ketua kelas. Tetapi, jauh dari sifatnya itu, Gilda gadis yang simple, tidak suka basa-basi meskipun terkadang hal itu membuat orang lain kesal tapi sedikit cerewet.
“Nih, Gil, inget nomor 34. Ini bukan kali pertama lo lupa nomor keanggotaan,” ucap Vania, lalu menyodorkan buku absen dan sebuah pulpen pada Gilda.
Namun tangannya di tahan oleh Gilda sebelum buku dan pulpen tersebut berada tepat di depan Gilda.
“Parafin sekalian, Van. Mumpung pulpennya di tangan lo,” kata Gilda sambil cengengesan.
Vania memijat keningnya sebentar kemudian menatap Gilda tajam.
“Beruntung, lo, udah gue anggap. saudara.” ketusnya penuh penekanan di akhir kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shot
Short StoryHello everybody! Yaps, ini adalah hasil kerja pertama untuk para anggota Penulis Indo, one shot! Seperti yang owner janjikan sebelumnya, hehehe. Penasaran? buruan check it out! Ops, hampir lupa! Jangan lupa vote dan komentar ya, terima kasih. @pe...