#Small_Hours series
#Drizzling_Hearts part 4
Why With All These Jealousy"No, this trick won't work... How on earth are you ever going to explain in terms of chemistry and physics so important a biological phenomenon as first love?"
"Tidak, trik ini tidak akan berhasil ... Bagaimana mungkin Anda akan menjelaskan dalam istilah kimia dan fisika, begitu pentingnya fenomena biologis sebagai cinta pertama?"
(Albert Einstein)"Jangan pacaran dulu. Sekolah aja yang bener. Kayak Abang tuh, sampe bisa masuk ITB."
Ryo mengangguk saja. Entah kenapa Ayah semakin rajin menyebut soal pacaran.
"Pacaran itu butuh modal. Buat jalan-jalan, buat nonton, buat traktir. Masa ngajak anak orang, masih minta uangnya sama orangtua," timpal Bunda, "nanti aja, kalo kamu udah kerja, kan enak. Langsung aja nikah."
"Iya, Buun...." jawab Ryo sedikit tidak sabar. Ceramah mengenai pacaran semakin sering dia dengar akhir-akhir ini.
Dia memandangi Abang yang tengah duduk di depan meja belajar. Bang Rully memang tampak selalu mudah saja membuat Ayah dan Bunda senang. Segala sesuatunya berjalan mulus bagi Bang Rully. Tanpa sadar Ryo selalu berusaha mencontoh Abang, agar bisa mendapat pengakuan yang sama besarnya.
Sebagai anak kedua, Ryo selalu merasa terjepit. Abang yang 'perfect' dan adik yang 'imut', membuat dia berada di posisi yang sulit dideskripsikan. Dia tidak pernah se-perfect Abang, namun tidak cukup imut seperti Rendy untuk bisa dimaklumi setiap kali dia melakukan hal yang kurang dari setting bar yang kadung dicapai oleh Abangnya.
Sebagai anak-anak dan remaja, Ryo merasa ketika orangtuanya mengatakan kalimat yang secara tidak langsung menyebut sebaiknya dia mencontoh Abang, maka dia menyimpulkan Abang adalah yang terbaik. Ryo tidak. Atau belum.
Kadang-bukan-sering kali,ini terasa menjadi tekanan. Dan Ryo haus, ingin membuktikan dirinya juga sebaik Abang. Bahkan mungkin bisa lebih baik.
Kalau orang tuanya berkata sebaiknya tidak berpacaran dulu, seperti Abang Rully, maka Ryo akan memastikan dia melakukan yang terbaik.
****
Tapi ternyata tidak semudah itu.
Bertarung dengan pubertas bukanlah perkara gampang.
Setiap kali bertemu Iva, Ryo makin khawatir bahwa memang mungkin saja dia menyukai cewek itu. Dan kadang-kadang merasa Iva juga mungkin menyukai dia.
Kalau mereka sedang duduk berdua, bertukar cerita tentang apa saja, Ryo merasa bahwa dia istimewa. Cara Iva memusatkan perhatian pada apa pun yang dia ceritakan, menghangatkan hati. Dia selalu mau mendengarkan cerita Ryo. Diam dengan tenang di samping Ryo, seperti menyerap kata-kata dengan sepenuh hati. Kehadirannya di samping Ryo terasa sangat pas. Alami. Seolah sudah seharusnya terjadi.
Kalau dekat Iva, walau jantung berdebar, tapi hatinya terasa nyaman. Sulit menjelaskan hal ini. Yang jelas Ryo suka menghabiskan sebanyak mungkin waktu bersama Iva.
Ada satu yang mengganggu Ryo. Dia sering tidak yakin dengan perasaan Iva terhadapnya, karena masih seringnya Iva bersama Uli dan yang lain, heboh saat melihat kakak-kakak kelas mereka.
Ini membuat Ryo makin sebal pada Doni. Sayang sekali kalau cewek seperti Iva hanya menyukai cowok seperti Doni. Iva seharusnya menyukai seseorang yang lebih baik dari Doni.
Seseorang seperti dirinya. Mungkin.
Aaargh!
"Aku udah nonton, dong...." terdengar suara Iva, membuat Ryo terlempar kembali ke dunia nyata, setelah berpikir keras barusan. Ryo mengangkat wajah, memperhatikan teman-teman cewek yang ribut membahas film The Bodyguard.
YOU ARE READING
Drizzling Hearts
Teen Fiction#1 amatir (30/8/18) #5 amateur (6/8/18) #21 Indonesia (5/8/18) #356 teenromance (5/8/18) Meet Ryo. Ini adalah sebuah spin off, semacam novel paralel dari Small Hours. Disarankan membaca Small Hours terlebih dahulu sebelum Drizzling Hearts. Novel in...