part 8

115 25 12
                                    

#Small_Hours series
#Drizzling_Hearts part 8

One Fine Evening

"There was a feeling of inevitability when I met you. The sense that we would be together; that there would be a moment when you would look at me in a certain way, and we could cross the threshold from friendship into something so much more."
"Ada perasaan tak terhindarkan ketika aku bertemu denganmu. Rasa bahwa kita akan bersama; bahwa akan ada saat ketika engkau akan melihat aku dengan cara tertentu, dan kita bisa melewati ambang batas dari persahabatan menjadi sesuatu yang jauh lebih banyak lagi."
(The Universe of Us, Lang Leave)

Senin pagi.

Wuush...!!

Iva kembali seperti semula. Dingin dan jauh. Ryo tidak mengerti salahnya dimana. Bukankah malam Minggu kemarin Iva tersenyum-senyum bersama dia sepanjang perjalanan? Kenapa pagi ini dia bersikap seperti tidak terjadi apa-apa?

Ryo tidak mengerti sedikitpun. Tapi Ryo juga tidak punya keberanian untuk bertanya pada Iva. Maka dia pun kembali duduk di bangku belakang, menatap punggung cewek itu. Bertanya-tanya apakah bisa berhenti menyukai dia.

Yah setidaknya ada kejadian yang membuat Ryo sedikit lega hati. Dia mendengar berita Akira dan Lia jadian. Walaupun sebenarnya berita ini membuat Ryo merasa heran. Bagaimana mungkin instingnya salah? Dia yakin Akira menyukai Iva. Bahasa tubuh tidak bisa dibohongi.

Dia memandangi Iva dan teman-temannya yang tengah berkumpul mengobrol di dekat jendela. Ada Akira juga di sana. Biarlah, bukan urusan dia Akira memilih Lia. Yang penting dia yakin bahwa Iva 'aman'. Itu saja sudah cukup.

Teringat kemarin-kemarin dia selalu merasa kesal pada cowok itu, Ryo tetap saja jadi tidak enak hati. Ya sudahlah. Nanti akan dia tebus dengan bersikap lebih baik pada Akira.

Ryo mengalihkan pandangan dari Iva ke Akira, yang tengah mengobrol dengan Lia. Ketika mata mereka bertemu, Ryo mengangkat alis sedikit dan tersenyum kecil. Akira membalas.

Masalah Akira selesai. Ini mengurangi kegundahannya.

***

Mode cuek di antara mereka berlangsung lebih lama dari yang Ryo perkirakan. Hingga semester tiga ini berakhir dan semester empat tiba, tidak ada kejadian yang berarti antara Ryo dan Iva.

Malahan ada kejadian aneh di rumah. Akhir-akhir ini ada cewek yang suka menelepon Ryo, tapi tidak mau memberitahukan siapa namanya. Sok misterius banget, deh. Awalnya Ryo menganggap seru saja, dia menanggapi setiap kali cewek itu menelepon. Namun lama-lama dia merasa kesal.

Karenanya, begitu sang penelepon gelap itu bertanya apakah Ryo sudah punya pacar, dengan tangkas Ryo menjawab, "Udah."

"Oh iya? Anak sekolah sini juga?"

"Bukan."

"Ah, berarti bohong. Kamu ga punya pacar, kan? Aku tau kamu ga pernah jalan sama cewek."

Ryo tercekat. Berarti si penelepon ini sering mengawasinya. Otaknya berputar, "Serius. Aku udah punya pacar. Namanya Tiana." Lalu dengan jelas dia sebutkan sekolah Tiana.

Sang penelepon sepertinya kehilangan kata-kata. Lalu pamit memutuskan sambungan.

Ryo sempat penasaran siapa yang menelepon, namun lama-lama dia merasa itu tidak penting lagi.

***

Suitan-suitan terdengar di seluruh penjuru lapangan. Ryo yang tengah beristirahat setelah latihan basket, duduk berselonjor di teras depan kelas tiga, awalnya tidak ngeh. Lagipula pandangannya terhalang rumpun semak yang sengaja ditanam di taman depan kelas. Lalu mulai banyak yang tertawa sambil berteriak-teriak kecil, "Cieee... Doni! Doni!"

Drizzling HeartsWhere stories live. Discover now