C M P C T D - 2

28 10 0
                                    

Gadis berambut panjang sebahu itu menatap jengah dua orang dewasa yang tengah sibuk beradu mulut di ruang tengah. Ia berjalan menuruni tangga sambil menyumpal kedua telinga dengan earphone putih miliknya.

Masa bodoh dengan pertengkaran kedua orang tuanya, gadis itu terus berjalan melewati mereka menuju dapur sambil memainkan handphonenya.

Stella Niara, namanya. Gadis cantik dengan pribadi yang tertutup. Tidak suka bergaul dan lebih memilih menyendiri. Entah kenapa itu sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil.

Mata Stella menyipit ketika melihat sosok anak kecil duduk di sudut dapur dengan kepala tenggelam diantara kedua kakinya. Bahunya terlihat bergetar hebat.

Stella mendekati anak itu. "Rara?"

Anak kecil itu menengedah ketika suara Stella memanggilnya. Sedetik kemudian, ia berlari. Lalu memeluk kakak satu-satunya itu.

"Rara takut," cicit anak itu.

Stella melepaskan pelukan Rara, lalu berjongkok di hadapannya. Stella mengusap lembut air mata yang membasahi kedua pipi adiknya. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Stella takala melihat adik tercintanya dalam keadaan tidak baik-baik saja saat ini.

"Jangan takut, ada Kakak di sini," ucap Stella menenangkan.

Rara menggelengkan kepala. "Ayo pergi dari rumah ini, Kak!"

Stella terdiam mendengar ajakan Rara yang terdengar lebih merujuk ke paksaan. Jika bisa, Stella sudah membawa Rara bersamanya sejak dulu. Ia akan membawa Rara pergi dari kehidupan pahit mereka yang sekarang.

Tapi nyatanya dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa ketika mengingat ancaman Papanya yang tidak akan segan-segan memisahkannya dengan Rara jika dia berani macam-macam.

Stella mendesah pelan, kemudian mencoba tersenyum. "Kita jalan-jalan ke Taman yuk!"

Rara nampak berpikir, namun beberapa saat kemudian ia mengganguk. "Ayo!"

Stella membawa Rara keluar dari rumah. Ia sempat melirik kedua orang tuanya yang belum menyelesaikan pertengkaran mereka. Stella menatap lirih keduanya.

Kapan gue punya keluarga yang harmonis?

. . . 🖋

Stella menatap Rara yang sedang berlarian kesana-kemari di luasnya Taman Kota. Tidak sedikit anak sebaya dengannya mengajak Rara berteman dan bermain bersama.

Dalam hati, Stella bersyukur melihat adiknya masih bisa berkomunikasi dengan orang luar di tengah kesedihannya. Setidaknya dunia luar mampu membuat Rara teralihkan.

Stella berpikir, Rara masih terlalu kecil untuk menyaksikan pertengkaran diantara kedua orang tuanya. Perlakuan kasar dan kata-kata yang tidak senonoh yang sering diucapkan kedua orang tua mereka sangat tidak layak diterima untuk anak seumuran Rara.

Stella merasa kasihan pada Rara. Jika kebanyakan anak seumurannya sedang hangat-hangatnya mendapatkan kasih sayang orang tua, lain halnya dengan Rara.

Stella sendiri sudah biasa menghadapi tingkah orang tua mereka. Setidaknya Stella sudah cukup besar untuk memahami keduanya. Tapi Rara?

"Hai!"

Stella menoleh ketika seseorang menyapanya. Sebelah alisnya terangkat melihat laki-laki berlesung pipi tersenyum ke arahnya.

"Hai, Stella!" sapa laki-laki itu lagi.

Stella menatapnya sejenak. Wajahnya terlihat familiar bagi Stella. Butuh waktu untuk mengingat bahwa dia adalah Tristan, pentolan di sekolahnya yang secara tidak sengaja juga ia temui di gudang sekolah waktu itu.

Laki-laki itu mengambil duduk di sebelah Stella tanpa meminta izin. "Sendirian aja, perlu gue temenin?"

Stella hanya diam tanpa ada niatan menjawab Tristan. Jujur, Stella merasa risih dengan kehadirannya. Seakan tidak kenal pantang menyerah, laki-laki itu kembali berucap tanpa merasa bosan yang hanya ditanggapi diam dan acuh oleh Stella.

"Oh iya, Stel, katanya nilai bahasa inggris lo paling bagus dari seangkatan ya semester kemaren? Widih... keren juga lo. Kapan-kapan bisa kali belajar bareng?"

Alih-alih menjawab, Stella malah beranjak dari posisinya. Ia meninggalkan Tristan dengan wajah yang terlihat kesal.

Santai, Tan. Jangan terlalu tergesa-gesa.

. . . 🖋

Stella membuka pintu rumah pelan. Ia terkekeh ketika mendengar cerita Rara padanya. Kepalanya menunduk melihat Rara yang hanya setinggi perutnya, anak itu terlihat begitu antusias ketika bercerita.

"Tadi ada anak cowok deketin Rara, Kak. Terus dia bilang 'Hai, cantik! Aku Dimas. Kamu mau gak jadi pacar aku?' kaya gitu, Kak," ujar Rara seraya menirukan gaya bicara anak yang ia maksud.

"Rara jawab apa?" tanya Stella.

"Terus Rara diam. Rara gak tau harus bilang apa," jawab Rara polos.

Stella tersenyum. Ia mengacak rambut Rara gemas. Ada-ada saja anak jaman sekarang, pikirnya. Senyuman Stella perlahan luntur ketika suara briton menyapa gendang pendengarannya.

"Dari mana saja kalian?!" bentak Damar, Papa Stella.

Mata Damar melotot ke arah Stella yang memutar matanya malas. "Ke mana aja kamu membawa Rara?"

Bukannya menjawab, Stella malah membawa Rara menaiki tangga. Merasa diabaikan, Damar menggeram marah di tempatnya dengan tangan mengepal.

"Apa kamu punya sopan santun, Stella?!"

Stella menghentikan langkahnya. "Di kamar Papa ada kaca 'kan? Berkaca dulu sebelum bertanya."

Stella kembali melangkahkan kakinya, tidak memperdulikan Damar yang sudah mengeluarkan caci makinya untuk Stella dari kejauhan.

Maaf kalau perkataan Stella terlalu kasar sama Papa. Tapi terkadang, Papa juga harus diperlakukan seperti itu.

•••

COMPLICATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang