C M P C T D - 4

23 8 0
                                    

Tetep up walau sepi pengunjung :)



— Happy reading —

Di sepanjang jalan hanya ada keheningan diantara keduanya. Tristan yang fokus mengendarai motornya, sementara Stella yang memang pada hakikatnya selalu diam.

Gadis itu sedikit memajukan wajahnya ke sisi Tristan. "Stop!"

Alis Tristan menaut. Laki-laki itu melihat gerbang sekolah mereka yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Kenapa Stella memintanya berhenti di sini? Pikirnya. Ia melirik gadis itu dari kaca spionnya.

"Kenapa?" tanya Tristan sedikit keras takut Stella tidak bisa mendengar.

Bukannya menjawab, Stella hanya diam. Tristan menggeram tanpa sadar menghadapi sikap dingin gadis itu.

Alis Stella menaut dalam saat Tristan malah menambah kecepetan motornya. Tanpa berniat berhenti, Tristan tetap melaju hingga memasuki kawasan sekolah sebagai pembalasan. Stella berdecak kesal di belakangnya.

Dapat Stella lihat banyak murid yang memandanginya dan Tristan. Dalam hati, ia merutuki mereka yang menurutnya tidak ada pekerjaan lain selain menyaksikan hal yang tidak penting untuk ditonton.

Setelah Tristan memarkirkan motornya, Stella turun begitu saja dari motor laki-laki itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Stella berjalan lebih dulu meninggalkan Tristan yang tengah melepaskan helmnya.

Tristan yang tidak terima diacuhkan pun dengan langkah besarnya menyusul Stella. Raut wajahnya mengeras menahan kekesalan.

Ia mencekal lengan Stella. "Tungguin dong, Stel, main ninggalin aja."

Stella hanya diam tanpa merespon, sebatas melirik saja tidak. Stella terlalu malas menghadapi laki-laki itu dan berbagaimacam tatapan penuh penasaran dari banyak murid yang masih setia menonton keduanya.

Tristan tersenyum merasa tidak keberatan selama Stella tidak meninggalkannya, meski gadis itu hanya diam tanpa berkata apapun.

Stella melirik jam tangannya, lalu berpindah kepada para murid yang tengah berbaris di sepanjang koridor. Keningnya mengerut. Kurang lebih dua menit lagi bel masuk akan berbunyi. Ia berharap semua orang memalingkan wajah darinya.

Menyadari kerisihan Stella, Tristan melotot ke segerombolan murid di sekitarnya. "Apa lo semua liat-liat, huh?!"

Mendengar bentakan dari Tristan, sontak membuat mereka berlarian ke kelas masing-masing. Tidak sedikit dari mereka menabrak satu sama lain.

Sementara itu Stella hanya menatap tanpa ekspresi. Sedikit lega karenanya.

"Mereka udah pada masuk ke sarang masing-masing. Masih ada yang bikin lo risih gak, Stel?" tanya Tristan.

Alih-alih menjawab, Stella malah melangkah begitu saja tanpa menghiraukan Tristan yang mendengus kesal atas kepergiannya.

"Jual mahal banget, njing," gerutu Tristan.

. . . ✍


Tristan memasuki kelasnya dengan makian yang tidak henti keluar dari mulut laki-laki itu. Alisnya bertaut. Matanya melotot lebar ketika mendapati beberapa orang yang terang-terangan melihat tingkahnya.

"Apa lo liat-liat, Buntal?!" bentak Tristan kepada siswi gendut yang tengah duduk di barisan depan.

Padahal pandangan mereka hanya bertemu sekilas, tapi Tristan malah melampiaskan amarah padanya. Siswi itu dengan cepat mengalihkan pandangan ke lain arah, takut melihat wajah sangar Tristan yang sedang dalam mood yang tidak baik-baik saja.

Andra dan Tio yang melihat sahabat mereka itu pun menyerngit bingung. Tumben-tumbenan Tristan ricuh di pagi hari. Biasanya dia selalu tebar pesona ke sana-kemari.

Andra menepuk bahu Tristan ketika laki-laki itu duduk di bangku sebelahnya. "Kenapa lo? Lagi PMS?"

Tristan menatapnya sinis. "Gue cowok, kampret!"

Tio yang duduk di belakang Tristan dan Andra terkekeh. "Sensi banget, Tan. Masih pagi juga."

"Kenapa sih?" tanya Andra yang tidak dapat menahan rasa keingintahuannya.

Tristan hanya diam tanpa berniat menjawab. Ia masih kesal dengan sikap Stella yang begitu dingin padanya. Tidak menunjukkan tanda-tanda perdamaian sedikitpun.

"Ceritalah, Bro. Kenapa sih?" bujuk Tio.

Andra dan Tio menatap satu sama lain. Mereka keheranan karena tidak kunjung mendengar suara Tristan. Laki-laki itu malah menyumpal telinganya dengan earphone, lalu menenggelamkan kepalanya di atas meja dengan bertumpu pada kedua tangan yang ia silangkan.

"Stella," gumam Tristan.

Mendengar perkataan Tristan, Andra dan Tio menyerngit. "Stella?" ulang mereka bersamaan.

"Cuma karna Stella dia jadi sensian gini?" tanya Andra sambil menatap bingung ke arah Tio.

Sementara Tio hanya mengedikkan bahunya. Seakan paham maksud Tristan, ia menepuk punggung laki-laki itu beberapa kali.

"Udahlah, Tan, mending lo mundur aja. Cuma di mimpi lo bisa dapatin Stella. Jangankan jadi pacar, lo ngomong aja gak pernah ditanggepin."

Mendengar perkataan Tio, Tristan sontak menatap tajam salah satu sahabatnya itu. "Gue gak kenal kata mundur!"

Tristan bangkit dari duduknya dan berjalan mengeluari kelas. Ia tidak memperdulikan guru yang baru masuk ke dalam kelas. Tristan menulikan telinga ketika beliau terus memanggilnya dengan penuh amarah.

Satu tempat yang biasa ia datangi ketika sedang ingin sendiri, yaitu taman belakang sekolah.

Tristan merebahkan tubuhnya di atas kursi panjang yang berada di taman. Udara sejuk sekaligus kesunyian tempat bagaikan candu bagi Tristan. Ia selalu ingin menghabiskan waktu di sini. Satu kakinya menjutai ke bawah.

Ketika ingin memejamkan mata, handphone Tristan tiba-tiba berbunyi menandakan sebuah pesan masuk.

Gue harap lo sadar, jangan ikut sertakan cewek lain dalam permasalahan gila lo.

Raut Tristan mendatar, satu tangannya mengepal di samping kepala. Pesan yang Tio kirim membuatnya merasa gusar. Laki-laki itu memasukan handphonenya kembali ke dalam saku celana, kemudian menutup matanya.

•••

COMPLICATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang