C M P C T D - 3

25 9 0
                                    

Sinar matahari menerobos masuk melalui tirai jendela yang sedikit terbuka. Stella menggeram kecil. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menoleh ke arah nakas. Jam weker menunjukan pukul 05:52 pagi.

Pagi ini terlihat lebih cerah dari kemarin. Stella bangkit dari tidurnya dan berjalan gontai keluar kamar. Ia menuju kamar Rara dan tersenyum tipis melihat adik kecilnya masih pulas dalam tidurnya.

"Rara, bangun," seru Stella.

Stella menarik selimut yang membungkus penuh tubuh Rara. Lalu menepuk pelan pipi adiknya, membuat anak itu merasakan tidurnya terganggu.

Rara menggeliat. "Masih ngantuk, Kak."

"Nanti telat sekolah. Ayo bangun!" Stella menarik tangan Rara, membuat gadis kecil itu terpaksa duduk di tengah kasur dengan mata yang masih terpejam.

Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, Rara membuka matanya dengan susah payah. Ia mengucek matanya lalu berdiri menuju kamar mandi. Begitupun dengan Stella.

Selesai dengan persiapan mereka, di tengah perjalanannya menuju dapur, Stella mendengus ketika melihat kedua orang tuanya yang tertidur di sofa dengan laptop yang masih menyala.

"Kakak buat nasi goreng dulu," ucap stella kepada Rara.

Gadis kecil itu hanya mengangguk lalu duduk manis di meja makan. Ia terus memperhatikan Stella yang terlihat lihai memasak nasi goreng. Kakaknya selalu pandai dalam berbagai hal.

"Doa dulu, baru makan," ujar Stella mengingatkan ketika melihat Rara hendak menyendokkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

Rara mengerucutkan bibir, namun tetap melakukan perintah Stella. Stella yang melihatnya hanya tersenyum. Terkadang adiknya begitu menggemaskan.

Beberapa saat hanya ada suara dentingan alat makan yang terdengar memenuhi ruangan tersebut. Stella maupun Rara sibuk dengan sarapan masing-masing.

"Kak, Rara berangkat sama temen-temen ya hari ini," celutuk Rara setelah melahap habis nasi gorengnya.

Alis Stella bertaut. "Temen?"

Rara mendengus. "Iya, temen-temen sekolah Rara. Mereka bilang bakal jemput jam setengah tujuh."

Stella berpikir sejenak. Namun melihat Rara yang memelas padanya dengan pasrah Stella mengangguk mengiyakan. Ia sedikit berat hati membiarkan adiknya pergi sendiri.

Walau tidak sepenuhnya sendiri karena ada banyak teman yang menemani Rara. Hanya saja Stella belum terbiasa membiarkan Rara berangkat sekolah tanpanya.

"Kalo udah pulang sekolah, jangan kemana-mana. Langsung pulang ke rumah ya?"

Rara mengangguk bosan. Hampir setiap pagi Stella mengatakan kalimat yang sama padanya. Toh, Rara tidak pernah berkeliaran kalau memang sudah jamnya pulang sekolah.

Tapi Stella tetap saja mengatakan ini-itu, membuat Rara jengah sendiri mendengarnya.

"Yaudah, berangkat sana. Udah jam setengah tujuh." Stella mengusap kepala Rara.

Rara mengangguk. Ia mengulurkan tangan, meraih tangan Stella dan menciumnya sebelum pergi ke luar rumah yang ternyata sudah ditunggu oleh teman-temannya.

Stella membersihkan alat makan kemudian mengambil tas sekolahnya. Sejenak ia terdiam di tengah tangga sambil menatap kedua orang tuanya yang ternyata sudah bangun.

Stella menghela napas pelan, lalu berjalan ke arah keduanya.

"Stella berangkat," ucap gadis itu pelan.

Namun seperti dugaannya, tidak ada respon dari sepasang suami-istri tersebut. Papa dan Mamanya tidak mengalihkan perhatian mereka dari laptop. Seolah melepas lirikan ke lain arah dalam hitungan detik saja akan membuat pekerjaan mereka hangus.

Stella berdecak kesal. Tanpa sadar ia memaki kedua orang tuanya dalam hati. Sambutan pagi yang sangat merusak mood, pikirnya.

Tanpa banyak bicara lagi, Stella keluar dari rumahnya yang terasa sumpek dengan wajah datar.


✍✍✍

Entah sudah berapa kali pagi ini Stella berdecak kesal. Alisnya menaut dalam ketika melihat jam tangannya menunjukkan pukul 06:49.

Stella mulai gelisah. Entah apa yang terjadi, bus yang ia tunggu-tunggu belum kunjung datang. Rasanya aneh karena tidak pernah bus yang biasa ia tumpangi seterlamat ini.


"Jalan ya?" gumam Stella.

Stella menghembuskan napas berat. Mau tidak mau ia harus berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya lumayan jauh. Gadis itu hanya bisa berharap menemui taksi di tengah jalan.

Beberapa langkah dari perjalanannya, Stella melonjak kaget ketika seseorang menghentikan motor tepat di depannya. Ia mengusap dada. Mencoba menetralisir degup jantung yang berdetak cepat.

"Hai, ngapain di sini?"

Si pemilik motor membuka kaca helmnya. Dengan jaket kulit abu-abu, laki-laki itu terlihat cukup keren.

Satu alis Stella terangkat ketika mengetahui siapa orang tersebut.


"Mau bareng?" tanya Tristan.

Stella hanya diam. Tanpa berniat merespon, ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun Tristan pantang menyerah, ia terus mengikuti Stella dengan mengendarai motor ninjanya pelan.

"Jangan diem dong, Stel. Dijawab kek."

Stella masih setia dengan diamnya. Tidak ada niatan menjawab ataupun sekedar melirik. Ia terlalu malas untuk meladeni laki-laki tengil yang entah kenapa akhir-akhir ini sering kali mengganggunya.

"Stel, bareng gue aja, yuk. Emang mau telat kalo jalan kaki ke sekolah?"

Alis Stella mengerut. Walau tidak mengucapkan sepatah katapun, dalam hatinya Stella sedikit setuju dengan perkataan Tristan.

Hanya tersisa beberapa menit lagi sebelum jam menunjukkan pukul tujuh. Kalau memaksakan, ia akan terlambat datang ke sekolah.

Namun Stella berat hati jika harus menebeng dengan Tristan. Ia hanya merasa tidak nyaman. Rasanya seperti dikejar-kejar tanpa alasan yang jelas, cukup membuat risih. Hubungan mereka tidak pernah sedekat itu hingga membuat Tristan perlu sepeduli ini dengannya.

"Ayolah, Stel, bareng gue aja. Janji deh gue anter selamat sampai sekolah. Kalau perlu juga gue bawa lo ke pelaminan kalau mau. Gak bakal gue tinggalin di tengah jalan kok," ajak laki-laki itu masih bersikukuh.

Stella memutar matanya malas. Ucapan Tristan terdengar cukup cringe untuknya.

"Setau gue hari ini Pak Nano masuk kelas lo ya? Jam pertama bukan, sih? Masih yakin gamau ikut gue nih?"

Stella menghentikan langkahnya tiba-tiba. Bahkan dia lupa kalau hari ini ada pelajaran Matematika. Stella yang memang tidak suka sesuatu yang merepotkan, pastinya sangat malas jika harus berhadapan dengan Pak Nano yang tidak segan-segan memberi hukuman berat yang menyusahkan.

Stella menoleh ke arah Tristan, lalu mendengus. "Iya ikut," ucap Stella kecil.

Laki-laki itu tersenyum lebar. "Dengan senang hati, saya, Tristan Gabriel akan memberi tumpangan gratis untuk gadis cantik seperti anda."

•••

COMPLICATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang