Bagian 3

9 2 0
                                    


Aku terbangun karena suara bising dari luar, suara keras Kakek ku yang membangun kan Paman ku yang masih sekolah. Teriakkan di pagi hari sudah tak asing di telingaku, Kakek ku memang orang yang tegas, dia mendidik anak-anak nya dengan baik, namun akibat pergaulan dan ketidak pedulian anak-anaknya pada didikan sang Ayah membuat segala didikan yang baik dari Kakek lenyap seketika. Sangat berbeda dengan Ayahku, dia cenderung tidak ingin mendidik anak-anaknya, hanya bisa menegur dengan keras tanpa mau memberitahu.

Aku langsung bergegas bangun dan bersiap untuk mandi sebelum Ibu ku ikut-ikutan berteriak dari luar.

Aku mengedarkan pandanganku, tak ada tanda-tanda Ibu ku telah bangun. Cucian pun masih belum di cuci, akhirnya aku memilih untuk menyuci pakaian lebih dulu, meskipun akan sedikit membuatku terlambat datang ke sekolah.

"Nah gitu dong, anak gadis tuh harus bangun pagi-pagi biar bisa bantuin Ibu." Ucap Ayahku dari luar. Aku hanya berdehem menanggapi nya, Ayah ku ini hobi sekali mengomel kalau aku sering tidur, padahal penyakit insomnia ini turunan dari darinya. Aku bergegas membereskan cucian karena matahari sudah mulai naik ke permukaan.

Aku langsung mengeluarkan jurus extra kepepet yang aku miliki, ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.30, pakai baju dan dandan secepat mungkin. setelah merasa cukup dan memeriksa kembali tas ku takut ada yang ketinggalan. Meskipun extra kepepet tapi aku tidak ceroboh. Ketika merasa tak ada yang ketinggalan, aku langsung berlari ke luar rumah.

"Bu bekelnya," aku kembali masuk ketika ingat belum meminta bekal. Ibu ku langsung merogoh saku nya dan mengeluarkan uang 20.000, aku menunduk mengepalkan tanganku, mengumpulkan keberanian untuk meminta uang bekal lebih. "Bu, hari ini ada tugas kelompok, uang patungan nya 15.000."

"Emang uang yang kemarin udah abis?" ibu ku bertanya dengan muka masam nya, sudah ku duga, Ibu ku ini sangat sensitif sekali jika sudah berurusan dengan uang, merutuki diri sendiri karena kemarin tak ingat jika hari ini ada tugas kelompok, dan uang simpanan ku pun sudah habis untuk membeli kuota.

"Udah habis, Bu." Jawabku pelan.

"Kamu tuh harus nya irit! Bukan malah pacaran mulu!" aku tak menanggapi nya lagi, karena semakin di tanggapi pasti api emosi makin membara. Aku lebih memilih mengambil uang 20.000 tadi dan langsung menyalami Ibu ku dan bergegas pergi ke sekolah, masa bodo jika aku tak mempunyai bekal untuk jajan dan onkos untuk pulang.

Aku mendengar Ibu berteriak dari dalam, aku tak menghiraukannya karena hal itu akan membuatku semakin terlambat menuju sekolah.

******

Aku melangkahkan kaki lemas, pagi ku yang suram, tak sempat sarapan, tak punya bekal yang tersisa dan ketika sampai di sekolah, ternyata gerbang telah tertutup dan Guru piket pun sudah nangkring di depan gerbang. Sungguh rasa nya aku ingin menangis saja sekarang, tapi malu karena banyak yang lihatin.

"Alhamdulilah." Ucapku pelan saat para guru piket hanya memberi poin tanpa memberi hukuman. aku langsung bergegas menuju kelasku, tak ceroboh namun selalu doyan lari-larian.

Lagi-lagi aku mengucap syukur ketika melihat kelasku masih ramai tanda bahwa guru belum masuk ke kelas, kebiasaan kelasku ini adalah selalu menutup pintu agar suara bising mereka tak terlalu terdengar sampai ke luar.

Ide jail ku pun muncul, mengetuk pintu seperti guru, kelas langsung senyap. Aku terkikik dan membuka pintu menyembulkan kepalaku dengan cengiran yang amat lebar.

Wajah syok mereka kini tergantikan dengan muka singa yang siap menerkam mangsanya, tawa ku pecah seketika ketika mereka memelototi ku dan siap berteriak dengan keras.

"Si gebleg bikin kaget aja."

"Untung kita masih bisa ketemu ya, lain kali gue habisin lo"

Aku masih tertawa di depan pintu, takut-takut kalau mereka semua menerkamku aku bisa langsung lari. Aku merasakan punggung ku ada yang mengetuk. Aku menoleh dan terlihat guru Fisika ku tengah tersenyum miring padaku, tubuhku langsung bergidik, membalas senyuman sang guru dan langsung ngacir menuju tempat dudukku.

"Haha," tawa terdengar dengan serempak. "Karma memang selalu tau arah jalan pulang."

"Baru datang ya, Ana?" tanya Pa Riza, dengan muka sangar nya, aku mengangguk dengan kepala menunduk.

"Sudah-sudah jangan ketawa terus, nanti lalat masuk, tahu rasa!" kelas langsung sunyi, pelajaran pun di mulai.

******

"Bell, ke kantin kuy!" ajak Tasya.

"Gue lagi puasa, lo sama yang lain aja, ya?" aku segan jika harus mengatakan kalau aku tak punya uang, sedekat apapun hubungan kami, tetap saja aku masih segan, terlebih aku sering merepotkannya.

Tasya memicingkan mata nya, mungkin sedikit ragu karena aku sering mengaku puasa padahal tidak punya uang. "Beneran puasa?" tanya Tasya ragu.

"Ya kali gue bohong,"

"Muka lo sih bilang minta di traktir." Aku tertawa mendengar nya, dia sih yang paling tahu aku.

"Apasih lo, jangan jadi setan deh, sana keburu penuh kantin nya!" usirku, Tasya tertawa dan pergi meninggalkan ku, untung Tasya percaya, masalahnya Tasya pun sama seperti ku, kami kesulitan dalam hal ekonomi.

Aku memasukkan kepalaku ke lipatan tangan, mencoba tertidur agar bisa menahan lapar. Hampir mencapai alam bawah sadar, tiba-tiba kaca kelasku yang tepat ada di sampingku ada yang mengetuk. Mencoba tak menghiraukannya karena aku tau itu paling teman sekelasku atau orang yang lewat yang iseng.

"Aaargghh siapa sih?!" semakin di abaikan, ketukannya semakin menjadi. Aku mendongak melihat siapa yang sedang iseng menggangguku. Tak ada siapa-siapa, kekesalan ku semakin memuncak. Awas saja kalau ketukan itu terulang lagi.

"Siapa sih?" aku bangkit dari duduk ku dan melihat ke luar. Tak ada siapa pun di luar, sungguh jika ini hanya pekerjaan orang iseng, keisengannya itu sungguh membuatku ingin menenggelamkannya.

*****

TBC

Hey You... I Miss YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang