Prolog

172 16 6
                                    

Wajahku memerah, napasku sesak, air mata mulai mengalir di pipiku. Aku melihatnya tumbuh di sampingku, Cella adik sepupuku yang nasibnya lebih memilukan dariku. Ia lahir tanpa seorang Ibu. Aku menunduk. Tak pernah terpikirkan jika nanti ia akan tumbuh menjadi anak yang nakal sepertiku. Aku nakal sebatas malas belajar tidak pernah lebih buruk dari itu. Satu detik kemudian aku tersenyum teduh pada gadis ini, menggendong tubuhnya yang ringan bahkan bisa kubandingkan dengan berat bebanku di dunia. Selalu saja aku menyesal di kemudian hari dengan tatapan nanar pada semua orang. Tumbuh menjadi dewasa tidak semudah yang kubayangkan ketika remaja dulu. Perkenalkan, namaku Adisya Flavi Bramasta, anak tunggal dari pasangan Venni dan Bara Bramasta. Aku seorang mahasiswi laboratorium medik semester lima di salah satu universitas di Jakarta. Ayahku telah di lahap jeruji tua bertahun-tahun. Sedangkan mama selalu bekerja lebih keras sekaligus menanggung aib keluarga ini. Selain sebagai mahasiswi semester lima yang sedang sibuk dengan persiapan KTI, aku diminta untuk menjaga ketiga adik tiriku, yang lahir tanpa Ayah.

Cella mengayunkan tangannya seperti pesawat tak lama kemudian ia tertawa. Katanya ia akan mengajakku ke bulan dan berkelana dari planet satu dan yang lainnya. Aku tertawa mendengarnya, beberapa hari yang lalu Cella memang bercerita mengenai tata surya dan berniat untuk tinggal di planet merkurius dengan alasan dekat dengan matahari karena Cella benci dingin juga hujan. Membayangkan rumus kimia saja aku sudah pusing, apalagi harus membahas letak planet ini, ciri-ciri fisiknya, satelitnya, dan semuanya yang diceritakan Cella kala itu. Aku senang melihatnya tumbuh dan bahagia.

Langit pun sudah mulai egois ia berhasil menampakkan warna hitamnya, kini waktunya Cella beristirahat. Matanya juga sudah sayu selepas bermain-main. Bagaimana dengan mataku? Sebenarnya mataku cukup bagus terlebih dengan hiasan hitam yang sering disebut kantung mata itu, mataku bulat dan besar hanya saja aku tidak percaya diri jika harus melihat sekeliling tanpa kacamata. Sejak sekolah dasar kacamata adalah bagian dariku, kulepas kacamata dengan bingkai cokelat itu, kupijat tulang hidung sesaat hendak menidurkan kepalaku di atas bantal sofa dan kupejamkan mata perlahan.

DETAK DETAK ADISYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang