A - Dua

93 8 9
                                    

Andra Marckolo

Mentari telah gagal bersinar. Langit menumpahkan keresahannya. Bahkan pagi ini aku berdoa agar hujan turun lebih lama. Tetapi, kau tidak tahu betapa menyebalkannya Pak Marckolo, karena ia tidak bisa menerima alasan apapun dari mahasiswanya sedangkan beliau sendiri tinggal di indekos ujung jalan kampus ini dan pasti ia akan lebih cepat sampai. Lagi dan lagi hujan tidak pernah semenyebalkan pagi ini. Payung jingga motif volkadot yang kugunakan menuju terminal telah diterpa angin, kini menyisakan tubuh mungil yang sudah menggigil tetapi tetap memaksa menerjang badai.

Hujan di pagi hari selalu menawarkan senyum padaku. Seperti menyaksikan anak-anak kecil yang berlarian menawarkan payung sesaat kuturun dari bus. Senyumanku membuat seorang gadis kecil seumur Cella mengantarku tiba di halte depan kampus.

"Terima kasih ya, Dik." Sembari memberikan selembar uang lima ribu rupiah dari dalam saku.

"Sama-sama, Kak. Kakak jangan lupa ganti pakaian ya, kakak sudah terlalu kuyup." Gadis kecil itu melemparkan senyumannya padaku dan segera meninggalkanku.

Saat hujan semakin lebat, aku senang merapalkan mantra-mantra yang kupikir itulah doa-doa terhebat. Kuberjalan melalui pak satpam yang sedang menyeruput kopi panasnya. Kupandangi sekeliling, harum aspal saat basah bercampur aroma kopi pak satpam tadi cukup membuatku tersadar, kampus ini sudah cukup tua hampir seumur ibuku, lima puluh tiga tahun. Ya, yang kutahu juga tujuh puluh persen puluhan dosen di sini akan pensiun dan sebagian dari mereka sudah digantikan dengan asisten dosen. Sama halnya dengan Pak Marckolo.

Pak Marckolo dosen muda dengan tubuh tinggi dan sedikit berkumis. Kulitnya yang putih juga bibirnya yang sedikit berwarna pink membuat dirinya diidolakan beberapa mahasiswi di prodiku. Tapi tidak denganku. Aku memang menyukai mata kuliahnya tapi tidak dengan caranya mengajar.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit, sebaiknya aku sedikit membersihkan tubuhku yang kuyup baru bertemu Pak Marckolo dan seperti biasa toilet hanya akan sepi di pagi hari apalagi sepagi buta seperti ini. Mahasiswa kampusku akan ramai pada pukul sembilan kecuali mereka yang sedang bimbingan. Aku mengambil kaus dari dalam loker dan kututupi dengan jaket yang untungnya tidak ikut basah karena kusimpan di dalam tas. Aku sedikit mengoleskan lipstik ke bibirku.

"Hei, Sya." sapa teman perempuanku tiba-tiba yang tengah membilas wajah kusutnya dengan air.

"Eh, Taniar, tumben udah di kampus." sapaku seraya memperhatikan wajahnya dari cermin.

"Ada bimbingan pagi-pagi biasalah bapak kamu tuh," sahutnya lalu mengambil lipstikku dan mengoleskan di bibir hitamnya. "Aku sampe nggak sempet mandi yang lebih parah lagi sampe lupa pakai gincu, Sya." lanjutnya.

"Pak Kolo?"

Bola matanya memutar malas, "Mmm-hmm"

Kulihat arloji hitam yang kupakai. Pukul tujuh lewat lima menit. "Duh kayaknya aku juga udah telat deh, ada janji sama Pak Kolo. Eh, Tan, duluan ya,"

"Disyaaa! Lipstik lo?!"

"Pegang dulu, Tan."

Aku berlari dari lorong ke lorong, hingga tiba di ruang dosen. Aku lihat belum ada sosok dosen itu. Aku sedikit lega dan kuterbangkan bokongku di kursi plastik di depan mejanya.

DETAK DETAK ADISYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang