A - Tujuh

37 1 1
                                    

Menjadikanmu Teman Berbagi

Dua tahun yang lalu dan tepat dihari ini Disya mengenalnya sebagai seorang teman.

Disya menyusuri setiap lantai dari gedungnya yang mencapai lantai tujuh. Disya berlarian dari lantai tiga sampai lantai satu untuk memeriksa laboratorium dan ruang-ruang kelas. Dan benar, hari ini gedung TLM tampak sepi dan beberapa mahasiswa sudah sebagian menghilang mencari tempat ternyaman, seperti kantin, perpustakaan, atau kembali ke indekos. Dosen-dosen sedang rapat besar dan dipastikan tidak ada kegiatan apapun di kampus termasuk belajar mengajar. Disya membuat janji pada Taniar supaya mereka bertemu di sebuah restoran padang tempat Taniar bekerja.

Taniar tengah membersihkan beberapa meja di dalam sana, karena Disya enggan mengganggunya. Disya memilih untuk menunggu di bawah pohon dekat parkiran. Disya hanya mengirimkan pesan singkat untuk Taniar. Tidak perlu menunggu balasan pesan itu, Taniar keluar menemuiku sebelum itu ia pamit pada salah satu karyawan yang mungkin dititipkan pesan khusus untuk pemilik restoran.

“Nih sarapan buat nyonya Alwan Tanubrata.” ujar Taniar sambil menyodorkan satu bungkus nasi padang. “Happy anniv ya, Shay.” sambungnya dengan senyum sumeringah.

“Wah pengertian banget sih, ini ayam bakarnya paha kan?” ledekku.

“Iya nyonya, ayam bakar paha favorit di resto ini dan aku tuh yang buat. Jadi, itu spesial.” ujarnya kemudian menarik tanganku menuju angkutan umum yang menepi di depan resto itu.

“Aku sarapannya dimana nih, Tan? Konsernya masih nanti sore kok.” kataku memelas.

“Udah ikut aja, Shay.”
Angkutan umum itu membawa kita sampai di pemakaman kebon jeruk. Tempat peristirahatan terakhir dari setiap makhluk Tuhan di bumi ini. Sebenarnya tempat pemakaman umum ada dimana saja, hanya alam mereka yang mengantarkan kembali pada Sang Pecipta. Melihat Taniar penuh semangat dan membayar ongkos untuk dua penumpang. Disya bisa mengambil kesimpulan sendiri, Taniar mungkin sedang merindukan kedua orangtuanya. Lapar yang Disya rasakan tadi seketika menghilang. Taniar sedang membeli dua kantung bunga dan dua air mawar. Disya menunggunya dengan jarak lima meter.

Taniar tersenyum tapi bukan padaku, ia tersenyum pada ibu-ibu penjual bunga. Sebuah senyuman hangat yang ia pancarkan. Disya segera menghampiri Taniar.

“Tan, kamu mau aku ikut ke dalam? Atau?”

“Ya iya lah, Sya. Ayo!”

Disya sambil menyimpan sebungkus nasi padang itu pada ransel kecil berwarna kuning yang ia pakai. Disya dan Taniar tidak melupakan adab berziarah. Setiap langkah merupakan doa bagi arwah-arwah yang sudah tenang. Taniar dengan tenang tiba-tiba menepi pada nisan bernama Rowati binti Abdul dan Jepri bin Fuad. Tanpa bertanya, Disya sudah bisa menebak bahwa keduanyalah orang tua Taniar.

“Assalamualaikum, Beh, Nyak. Tania ajak sahabat Tania ke sini. Namanye Disya.”

Disya tersipu, dan tiba-tiba matanya memanas. Momen-momen haru seperti ini yang bisa mengundang seorang Disya yang cengeng. Tapi, Disya mencoba menahannya lalu mengusap lembut punggung sahabatnya. Disya tersenyum pada kedua nisan itu.

“Tania janji sama kalian, Tania harus jadi anak yang kuat dan hebat. Tania lagi berjuang untuk bisa lulus kuliah nih Beh, Nyak. Kuliah itu enak diawal tapi pahit diakhir-akhir, makin pedes perjuangannye. Tania minta restu babeh sama enyak biar lulus dengan hasil yang memuaskan ya. Aamiin.” Disya ikut mengaminkan apa yang Taniar semogakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DETAK DETAK ADISYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang