A - Lima

55 5 3
                                    

Satu Hari Setelah Hujan Reda

Adisya sangat bangga dengan berdirinya mereka di atas panggung kompetisi ini. Harsa juga mengatakan padaku, Dave dan Jay supaya merayakan kemenangan mereka. Tapi tidak hari ini. Kepala jurusan akan bangga pada kita. Pak Marckolo akan bangga padaku.

Keesokan harinya setelah berkumpul dengan tim musikalisasi puisi dan merayakan kemenangannya dengan makan bersama di kantin. Disya berniat ingin melanjutkan bab satu karya tulis ilmiah miliknya dengan mencari beberapa referensi di perpustakaan. Disya akan larut ke dalam tumpukan buku-buku mikrobiologi. Apalagi setelah mendengar rintik hujan di luar perpustakaan. Hingga ruangan perpustakaan mendadak dingan dan kian hening. Suasana perpustakaan berhasil membuat Disya merinding ketakutan. Listrik pun mati biasanya ini terjadi jika hujan turun dengan derasnya. Beberapa mahasiswa masih nyaman di tempatnya, ada yang sibuk mencatat bahkan berkutik dengan laptopnya persis seperti yang Disya lakukan.

Disya menghela napasnya dalam-dalam, mencoba menfokuskan pandangan pada satu titik di hadapannya. Disya kembali menoleh pada ke sekelilingnya dengan hitungan detik, mahasiswa yang tadi masih nyaman dengan catatan atau laptopnya sudah menghilang. Tetapi aku tidak mendengar suara pintu perpustakaan terbuka. Padahal Disya baru saja ingin menyumpal telinganya dengan headset dan memutar lagu romantis sepanjang masa, Perfect - Ed Shareen. Disya melupakan tentang beberapa mahasiswa yang tiba-tiba menghilang. Kini ada tugas yang harus diselesaikan olehnya sebelum waktu PKL tiba.

Karena perpustakaan menjadi gelap dan di luar hujan. Disya menggunakan senter di ponselnya sebagai alat penerangnya.

Braggg
Suara nyaring seperti tumpukan buku yang jatuh terdengar jelas sekali.

Perpustakaan ini sepi tidak ada siapapun selain Disya dan penjaga perpustakaan, Pak Yosi. Disya melihat dua orang sekaligus di belakangnya melalui layar laptop. Dua orang pria membawa pisau dan mendekat ke arahku. Disya berusaha menenangkan dirinya dengan memejamkan mata.

"Aaaaaaa..."
"Stop! Tolong jangan bunuh saya!"
"Tolong jangan bunuh saya!!!"
"Tidaaakkk..."

Disya membuka matanya, bayangan dua orang itu menghilang dari layar laptop Disya. Kini ada seseorang yang menepuk pundakku.

"Nak, bangunnn." Suara pria itu terus menepuk pundakku. "Bangunnnnn, Nak." Sekarang ia mulai menggoyangkan tubuhku.

Bruggg
Aku tersungkur di lantai.

Disya terbelalak. Menatap Pak Yosi penuh tanya. "Aw, Bapakkk. Sakit tau."

"Ini perpustakaan, Nak." Ucapnya yang langsung berlalu. "Tidak boleh membuat kegaduhan di dalam perpustakaan." Lanjutnya.

Aku membuat kegaduhan? Seperti apa? Perpus ini sepi kok.

Disya menghampiri Pak Yosi yang sudah kembali di tempatnya.
"Maaf, Pak. Maafkan saya, tapi saya membuat kegaduhan seperti apa ya?"

Pak Yosi memutar matanya.

"Pak, jangan diam. Saya minta maaf ya, Pak." Ucapku.

"Ya, kamu tadi ngigau sampai teriak-teriak, saya kira kamu kenapa-kenapa." Jelasnya.

"Astaga, pasti dua pria yang mau membunuh saya itu." Ucapku pelan.

"Kamu bilang apa? Ada pembunuh di dalam perpustakaan ini?" Pak Yosi yang kaget mendadak berdiri dan mengatur napasnya.

"Tidak, Pak. Tidak ada. Semoga saja." Sembunyiku.

"Saya harus laporkan ini." Pak Yosi setengah bertindak tapi dengan cepat Disya menahannya.

DETAK DETAK ADISYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang