A - Satu

111 13 4
                                    

Dimensi

Petang telah menidurkan mataharinya sejak tadi. Langit tidak lagi berwarna oranye dan sekarang hanya ada aku yang begitu terjaga dengan lilin merah berukuran besar yang cukup memenuhi jemariku yang mungil. Mataku membidik sekeliling dan rasanya hangat sekali. Aku menghirup aroma hujan dan juga asap dari sisa-sisa kebisingan kota.

Aku senang mendengar rintikan air hujan yang terus meneriaki namaku untuk bermain bersamanya. Tapi, aku harus tetap berada di sini. Nanti api yang hidup di lilin ini akan mati jika aku harus memilih hujan. Karena api satu-satunya sumber kehidupanku.

Di sinilah aku berada. Aku berada di sebuah ruangan berbentuk kubus yang sangat luas. Tidak ada pintu sama sekali untuk pergi dari sini. Meski aku dapat mendengar hujan dan mencium bau asap, tapi aku tidak melihat jendela atau ventilasi di setiap sudutnya. Semuanya hitam dan datar. Aku pun tidak merasa tersekat oleh beberapa dinding. Tenang, Disya. Kau harus menyusuri setiap sudut di ruangan ini, batinku masih saja berpikiran positif.

Pelan-pelan aku memutari ruangan ini sembari mengingat-ingat apa yang terjadi padaku sehingga bisa berada di sini. Ini tempat yang asing. Aku mengucek kedua mataku, ataukah ini hanya halusinasi? Tapi jawabannya tidak. Aku masih memegangi lilin merah ini dan masih mencium aroma hujan di dekat sini.

Tap. Tap. Tap.

Ada orang lain yang terjebak bersamaku.

"Hei... ada orang lain di sini?" Tanyaku penuh hati-hati.

Tiba-tiba saja terdengar suara yang begitu menggema. Hai nona! Apa yang membuatmu suka dengan ruangan hitam ini?

"Siapa kau?" mataku membelalak. Karena begitu kaget lilinku terjatuh dan apinya mati. "Saya tidak tahu dimana saya berada dan kata siapa aku menyukai ruangan hitam ini?

Bruggg.

"Aw!"

Kini aku merasakan tubuhku tertabrak oleh dinding.

Hahaha. suara tawa itu terdengar menyeramkan. Kau telah mematikan lilinmu sendiri, Nona! Itu artinya kau menyukai ruangan ini.

"Kurasa hanya orang gila yang menyukai ruangan gelap tak bermata seperti ini."

Kau bicara dengan siapa nona?

"Tidak dengan kau, bodoh!" Aku kembali menabrak sesuatu. "Aw!"

Dengan gemetar aku berusaha berlari dan menjauh dari suara menyeramkan itu. Meski aku tidak tahu akan berlari ke arah yang benar atau salah.

Tap. Tap. Tap. Suara langkah itu kembali dan hampir membuat pikirkanku tidak waras.

Hei, tunggu aku, Nona! Aku sangat lapar!

Mataku membulat dengan sisa napas yang kupunya. Kuberlari ke lain arah yang membuatku menemukan satu pintu berwarna putih. Aku harus masuk ke ruangan itu dan harapanku hanya satu, semoga saja lebih aman.

Klekkk. Aku membuka pintu itu dan ini sangat berbeda, aku seperti menemukan dimensi lain.

"Mengapa jadi serba putih?"

"Rumus kimia Alkadiena?"

"Biologi seluler?"

"Cara memurnikan DNA?"

Aku ambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan kasar. Aku membersihkan beberapa keringat dan debu yang hampir menutupi kacamataku. Mungkin sudah kotor sejak tadi tapi aku baru saja menyadarinya. Apakah aku berada di sebuah dimensi kehidupanku sesungguhnya? Semuanya berterbangan di langit-langit, tintanya yang hitam mewarnai ruangan putih ini. Tapi bagaimana ceritanya aku bisa tersesat dan sampai di sini ? Aku sandarkan kepalaku pada meja putih yang menumpukkan buku-buku biologi yang sangat tebal. Semua ini pasti ada alasannya.

Aku kembali berdiri tegap dan berjalan memutari ruangan putih ini. Di ujung sana aku melihat tubuhku sedang mengumpatkan dompet milik seorang ibu di dalam bus. Di hadapanku terbentang jelas nilai-nilai hasil ujianku mendapatkan huruf C. Di sebelah kiri, aku melihat tanganku yang tidak pandai meramu beberapa zat kimia berbahaya sehingga aku harus membakar laboratorium milik kampus. Lalu kuberjalan lagi dengan setengah percaya, apakah itu semua terjadi kepadaku di waktu lalu? Atau di masa depanku? Kini, tepat di bawah lampu taman yang sangat terang, aku melihat diriku sendiri menangis dan memberi tatapan kebencian ke semua orang. Tatapan itu mengisyaratkan sebuah kehilangan yang teramat dalam. Sepertinya aku telah membenci diriku sendiri dengan air mata berwarna merah mengalir dengan derasnya.

Tidaaak! Tidaaak mungkin! Aku tidak seburuk ituuu!

"Adisya Flavi Bramasta! Apa yang barusan kau lakukan di kelasku?"

Pria muda itu mengisyaratkan sesuatu padaku dengan mata memerah dan membulat. Tapi, aku tidak mengerti. Semuanya telah berbeda. Aku menatap semua teman-teman yang tidak berhenti menertawakanku bagai badut yang sedang sirkus tapi berakhir di makan singa.

...

"Adisya! Harus berapa banyak bapak menuliskan surat panggilan untuk Ibumu?" kenyataannya kini sungguh terbalik.

"Jangan panggil ibu saya lagi, Pak. Please."

"Bapak juga heran, bisa-bisanya kamu tidur lagi di kelas saya."

Pak Marckolo dosen muda dengan tubuh yang tinggi dan sedikit berkumis. Kulitnya yang putih juga bibirnya yang sedikit berwarna pink yang membuat dirinya diidolakan beberapa mahasiswi di prodiku. Tapi tidak denganku. Aku memang menyukai mata kuliahnya tapi tidak dengan caranya mengajar.

"Maafkan saya, Pak. Bapak boleh hukum saya tapi jangan buatkan surat panggilan untuk ibu lagi ya, Pak." Aku bertekuk lutut pada beliau dengan wajah memelas dan air mata yang sedaritadi menetes.

"Oke. Baiklah. Temui saya lagi di kantor besok pukul tujuh pagi dan jangan terlambat."

"Baik, Pak. Terima kasih." Aku berdiri membenarkan posisi poni rambutku yang terbagi dua dan hampir menutupi sebelah kacamataku. "Saya permisi, Pak."

DETAK DETAK ADISYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang