Part: 4 (Aku dan Api)

61 18 16
                                    


Ruang kaca yang penuh dengan bola berbagai ukiran dan warna yang berletakan selang seling tidak sejajar bahkan seperti sangkar bujur menempel di dinding dan menggantung di langit-langit. Ini seperti taman botania yang dibuat mini. Di poles sedemikian rupa dengan air mancur yang memancar dari wadah besi besar yang membuat airnya memercik sesekali ke pohon-pohon aneh yang daunnya melebar seperti kuping hijau raksasa. Taman yang cukup luas meskipun asing karena terletak di lantai 3. Namun aku tidak sempat memikirkannya karena menemukan Arka berjongkok disisi batang pohon kecil yang rapuh berwarna hijau dengan bunga kuning besar yang mempunyai biji warna hitam di tengah seperti mahkota. Aku tau bunga itu. Itu Bunga Matahari.

Aku mendekat tanpa mengucapkan sepatah katapun, menyimak wajah Arka yang mengelus kelopak kuningnya dengan hati-hati. Di ruang ini sedikit mendung karena bagian dilangit menggantung bola-bola besi ku menghalangi sinar matahari masuk. membuat bunga itu satu-satunya Bunga yang bisa mendapatkan sinar matahari langsung dari atas dalam wadah pot kaca yang hampir tanpa debu. Seperti dibersihkan setiap hari secara telaten.

"Bunga matahari seharusnya tumbuh di bawah matahari bukan?" Tiba-tiba Arka bersuara tanpa melihatku. Aku masih terdiam menatap tanaman itu. Dia benar, seharusnya tumbuhan ini ditanam di luar bukan disini. Arka mencabut satu kelopaknya hingga membuat bunga itu terlihat cacat dari atas. "Itu karena aku tidak ingin orang lain menikmati keindahannya. Cukup aku saja dan hanya aku seorang."

Ada yang salah dari kata-katanya namun aku tidak tau apa.

"Kamu menyukainya?" Tanyaku ikut berjongkok disisinya. Mulutnya melengkung yang bahkan tidak bisa kuartikan sebagai senyuman atau kepedihan.

"Tidak."

Aku menatapnya, sedikit kaget. "Lalu kenapa kamu tidak ingin orang melihat keindahannya bahkan tidak memberikan sinar matahari yang banyak untuknya?"

Dia terkekeh, membuat rasa dingin merayap padaku secara tiba-tiba.

"Disini dia juga sudah mendapatkan sinar matahari yang cukup dan ditambah dia itu milikku. Sejak pertama kali dia kutemukan dibuang seseorang di tong sampah saat itu aku sadar bahwa dia memang milikku. Anjing memainkan batangnya hingga membuatnya sekarat dan hampir mati. Bahkan akar-akarnya hanya tersisa bagian paling kecil yang sudah diinjak-injak oleh orang dijalan. Dia layu dan terbuang tanpa induk dalam keadaan masih kecil. Itu menyedihkan, persis sepertiku." Suaranya sedikit tertahan. Dia meletakkan gunting pemotong dengan hati-hati di tanah. Aku menatapnya. Selama sesaat, rasa sedih dan amarah di raut wajahnya terlihat seperti cambuk yang muncul secara nyata. Aku melunak.

Apa aku kasian, sedih, atau bahkan tidak mengerti? aku tidak tau. Yang jelas aku merasa sakit.

"Apa rasanya sakit?"

"Sakit?"

Arka menatapku dengan rapuh. Pandanganku sendu dan Bunga itu tiba-tiba saja terlihat kesepian dimataku.

"Iya sakit. Rasa yang membuatmu tercekik dan sendirian dengan hantaman yang terasa menusuk. Orang menyebutnya sakit."

Arka menatapku dan aku ragu-ragu ketika dia tiba-tiba tertawa dengan air mata hampir tumpah karena menahannya terlalu lama. Mulutku menganga. Ini reaksi tak terduga.

"Jangan-jangan kamu berpikir aku bayi yang dibuang seperti bunga Matahari ini?" Katanya masih dengan sisa tawa yang ada. Aku tidak mengerti bagian ini. "Hei, jangan menganggap kata-kataku dengan serius. Itu aku sedang membual tadi. Rupanya reaksimu sungguh tidak terduga. Hahaha."

Pipiku memanas di tempat. Ekspresi Arka benar-benar tidak bisa kulupakan hari ini. Dia terlihat geli.

"Yasudah kalau gitu. Aku harus pulang sekarang. Pr masih banyak di rumah yang belum kuselesaikan,"Ujarku, bangun dengan tiba-tiba namun Arka menarik tanganku, membuat posisiku terduduk seperti semula disampingnya.

"Hei jangan marah. Aku Cuma bercanda tadi." Selama sesaat wajahnya berhasil di rubah menjadi serius dan kalem seperti biasa. Lagi-lagi aku melunak. Dia pintar memainkan perasaan seseorang. Gaun yang sama masih menempel di tubuhku dan ini membuatku benar-benar kedinginan.

Arka melirik bahuku. "Kamu tau kenapa aku ingin memiliki bunga ini sendirian meskipun aku tidak terlalu menyukainya?" Arka memulai percakapan awal dan mataku hanya menatap bunga itu dengan menggeleng.

"Itu karena bunga ini selalu mengikuti matahari sejak terbit. Ketika pagi dia akan menghadap ke timur lalu ketika sore dia akan berpindah menjadi barat. Pergerakannya selalu berubah mengikuti sinar matahari. Ini yang membuatnya diartikan sebagai simbol ketulusan dan kesetiaan. Warnanya kuning melambangkan keceriaan dan kehangatan. Itu membuatku ingin memilikinya. Karena aku butuh hal seperti itu."

Aku berkedip. Menggaruk kepala. "Tapi diluar ada banyak bunga matahari yang sama. Bahkan hingga berjuta-juta hektar. Dia tidak langka dan semua orang bisa memilikinya."

"Terserah." Dia mengangkat bahu. "Yang pasti bunga yang disini itu milikku. Aku yang menemukannya, aku yang merawatnya jadi wajar jika hanya aku yang bisa memilikinya."

Aku berpikir. Masuk di akal sebenarnya tapi entah kenapa aku merasa sesuatu makna yang aneh dari kata-katanya.

"Baiklah kamu bisa memiliki bungamu dan dia juga tumbuh sehat dan cantik. Juga mendapatkan sinar matahari langsung yang cukup. Lagian dia tidak bisa bergerak dan jalan-jalan hingga tidak perlu merasa terkungkung seperti manusia. Dan jika dia hidup dan berpikir sekalipun, dia tidak akan merasa kesepian karena ada tanaman lain disampingnya. Jadi kupikir caramu merawatnya cukup keren."

Dia menatapku dan kembali tertawa.

"Kamu lucu," Katanya dan pendapatkan gerlingan dariku.

"Yah. Anggaplah itu benar." Jawabku yang kini memilih melihat dinding taman buatannya dengan tangan sengaja kugosok-gosokkan karena dingin. Ada banyak tanaman yang merambat ke bola-bola berbagai warna, memperindah interior taman secara alami. Membuatnya terlihat seperti alam bebas yang dicampur teknologi berkelas masa depan.

Aku tau dia masih menatapku atau bahkan menertawaiku. Namun percayalah aku memilih tidak memperdulikannya. Tiba-tiba aku merasa hangat, sebuah jaket sudah terlampir dibahuku dengan elegan. Menghalangi angin yang menerobos masuk ke pori.

"Ini apa," Kataku memegang jaket Arka yang masih menyisakan parfum di bajunya. Bau Aqua Bulgary yang mahal. Dulu aku pernah melihat harganya di festival parfum dan parfum ini terletak di rak paling depan dengan harga yang fantastis.

"Jaket. Apalagi."

Aku tau ini jaket. Benar, pertanyaanku bodoh!

Dia melanjutkan. "Ayo turun. Kurasa kamu juga harus pulang dan belajar biar kepindahanmu tidak sia-sia."Dia tersenyum hangat padaku dan mengulurkan tangannya. Persis seperti seorang pangeran. Aku menyambut tangan itu dengan kikuk.

Mr.X, Love and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang