Afeksi Amor

278 14 0
                                    

Terima kasih buat yang udah mau baca cerita penulis pemula ini. Jangan lupa masukin ke library ya biar ada notifikasi pembaharuan. Jangan lupa juga klik tombol vote dan komentar. Karena kritikan dan saran kalian sangat dibutuhkan.

Enjoy reading!

Afeksi Amor

Diana Kusuma Astuti

Mataku terbelalak mendengar ucapannya. Hatiku langsung terhempas ke dalam jurang yang begitu dalam. Angin berhenti berhembus seakan bumi juga ikut kaget dengan perkataannya. Aku masih tidak percaya apa yang baru saja dikatakannya.

"Jadi aku harus bagaimana?" Sorot matanya membutuhkan sebuah jawaban. Aku menelan salivaku. Aku harus menjawab apa? Menjawab sebagai jawaban seorang sahabat atau menjawab sesuai dengan hatiku sekarang?

"Kalian saling mencintai?" tanyaku. Akhirnya hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Dia hanya menganggukkan kepalanya lemah.

"Dia cinta pertamaku." Kenyataan apalagi ini? Apakah pada kenyataannya cinta pertama tidak akan pernah mati? Aku masih diam saja. Memberikannya waktu untuk menceritakannya semua. "Dia punya target menikahnya sendiri. Sedangkan saat ini aku sama sekali belum lulus. Orang tua mana yang mau menikahkan anaknya dengan seseorang yang belum matang dan mapan? Aku sama sekali belum bekerja sedangkan dia sudah mempunyai penghasilan." Dia menundukkan kepalanya. Aku menggenggam tangannya. Aku tahu bagaimana perasaannya. Dia seorang lelaki bukankah seharusnya dia yang memberi nafkah?

"Kamu lebih suka perempuan yang umurnya di atasmu?" tanyaku tak percaya. Ternyata dia menyukai perempuan yang lebih dewasa. Dia hanya menganggukkan kepalanya "Kalau seperti itu kenapa kamu nggak bilang kalau kamu belum sanggup? Pernikahan bukan hanya sekedar ijab qobul, tapi kehidupan sesudahnya."

"Aku sudah bilang dan dia tetap kukuh di target segitu. Kalau aku tidak sanggup, dia akan menikah dengan lelaki pilihan Ayahnya." Dia menghela napasnya dalam. Mukannya sudah tampak kusut sekali.

"Kamu percaya dengan jodoh? Kalau kamu percaya, Tuhan akan mendekatkan yang baik dan menjauhkan yang buruk buat kamu." Aku berusaha meyakinkannya. Aku melepas genggamanku pada tangannya. Aku menatap matanya. Mata yang selalu masuk ke dalam hatiku.

"Aku pulang dulu. Pikirkanlah matang-matang. Aku tahu kamu bukan lelaki yang hanya mengandalkan nafsu dan suka bertindak gegabah." Aku berdiri dari tempat dudukku meninggalkan sahabatku itu. Devon Mahesa. Untuk berpikir ulang dalam memutuskan keputusannya.

***

Setahun sudah sejak aku mendengarkan curhatannya tentang perempuannya. Sudah setahun ini pula aku berusaha untuk menjaga jarak dengannya agar aku tak tambah jatuh ke dalam pesonanya.

Aku berdiri sendirian di atas pasir pantai yang putih di temani oleh semburat senja. Aku mendongakkan kepalaku menatap langit senja. Telingaku mendengarkan nyanyian deburan ombak yang begitu menenangkan.

Aku menenangkan pikiranku yang kemelut. Seolah-olah hanya laut yang tahu perasaanku. Apa mencintai akan terasa sesakit ini? Apa itu karena aku mencintai orang yang salah? Aku mengangkat tanganku yang memegang sebuah undangan berwarna hijau toska bertuliskan Devon dan Nirmala. Ini semua adalah keputusannya. Ponselku berdering menandakan ada sebuah panggilan masuk.

Agnita Arisandi

Aku menggeser tombol hijau di layar ponselku.

"Assalamu'alaikum, Nit. Ada apa?"

"Wa'alaikumsalam. Kok lo nggak buka grup sih. Si Devon ngajak kita-kita makan bareng. Traktiran gitu katanya buat melepas masa lajang. Eh, bentar kok di sana bising sih?"

"Hehe, sorry kayaknya gue nggak ikut. Gue lagi di luar kota ada urusan. Biasa lah ketemu narasumber buat skripsi," ucapku sedikit berbohong karena memang aku tak sepenuhnya berbohong karena tadi siang dia memang menemui narasumber untuk melengkapi data-data yang ada di skripsinya.

"Lah, lo di luar kota? Gimana sih kan besok nikahannya Devon. Lo nggak dateng?"

"Gue usahain dateng kok. Titip salam aja buat Devon semoga jadi suami dan bapak yang baik. Udah dulu ya, bye!" Aku menutup sambungan telepon itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas selempangku. Mungkin di sana mereka sedang bersuka cita dan aku di sini sendiri dengan perasaanku sendiri.

Mataku menerawang ke langit yang mulai temaram itu. Besok. Kurang dari 24 jam dari sekarang sebelum ikrar itu diucapkan. Aku hanya bisa menghela napas. Aku memasukkan undangan yang aku pegang ke dalam tas. Mungkin seperti kata Nicholas Sparks dalam bukunya A Walk to Remember 'Love is always patient and kind. It is never jealous. Love is never boastful or conceited. It is never rude or selfish. It does not take offense and is not resentful. Love takes no pleasure in other people's sins, but delights in the truth. It is always ready to excuse, to trust, to hope, and to endure whatever comes.' Sepertiku sekarang aku membiarkanmu dengan pilihanmu sendiri.

***

Aku memarkirkan sepeda motorku berjajar dengan motor-motor para tamu undangan yang lain. Pernikahannya hanya sederhana, tidak banyak tamu yang diundang. Aku berjalan untuk mengisi buku tamu. Aku memang sengaja tidak melihat akad nikahnya. Terlalu sakit untuk menyaksikannya. Dari kejauhan aku bisa melihat senyumannya dan aura kebahagiaannya bersanding dengan perempuan pilihannya. Dia mampu mewujudkan keinginannya.

Aku memantapkan diri untuk naik ke atas pelaminan. Rasanya sakit sekali tapi ini yang terbaik. Aku mengikhlaskannya. Aku mengulurkan tanganku dan langsung dibalas olehnya.

"Akhirnya lo dateng juga. Semalem malah nggak dateng. Gue yang traktir lho, Renata." Aku hanya tersenyum tipis. Senyuman munafik.

"Sorry, gue kemaren ada urusan skripsi. Selamat ya! Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah." Tiba-tiba hatiku menginginkan sesuatu. Aku berharap dengan ini hatiku merasa lega. Aku mendekatkan wajahku ke telinganya dan membisikkan sesuatu. "Aku mencintaimu. Berbahagialah."

[KUMPULAN CERPEN] LET'S TALK ABOUT LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang