ㅡpanggilan kedua.
+++++++
Mungkin dua hari setelah panggilan dari pemuda bernama Kim Taehyung, kini Jeongguk kembali dihadapkan dengan panggilan baru. Jam menunjukkan pukul setengah dua malamㅡsebab kali ini ia mendapatkan jadwal malam, saat ia mendapatkan panggilan itu di ruangannya yang sunyi dan minim suara selain suaranya sendiri. Ia mencengkeram gelas kertas kopi dan membuangnya di tempat sampah terdekat.
Mesin penerima berkedip, bunyi telpon terdengar begitu kentara, bergema amat mendebarkan.
Jeongguk mendengar suara tawa. Bukan tawa sejenis psikopat yang melengking seolah tercekik, juga bukan tawa puas dari panggilan-panggilan iseng yang sering diterima. Tawa yang terdengar begitu kosong, teramat pahit, dan kehilangan harapan.
"Dengan 112 disini, ada yang bisa kami bantu?" Jeongguk bertanya saat tawa itu sedikit mereda.
"Ah, saya rasa saya salah menghubungi. Mungkin seharusnya saya menghubungi suicide hotline." Jeongguk mendengar suara cipratan air, seperti suara keran yang menutup, kemudian ia mendengar seperti sesuatu benda logam jatuh dan memantul ke lantai porselen, bunyinya persis begitu. "Tapi biarlah, bagaimanapun pada akhirnya, tidak ada siapapun yang menyelematkan saya selain saya sendiri bukan?"
Bicaranya rancu. Dia berniat bunuh diri. Jeongguk menelan ludah sejenak, mencoba mengeluarkan suara setenang mungkin. Sebab dari semua telepon yang ia terima, baru kali ini ia menerima langsung dari orang yang ingin bunuh diri.
"Maaf, bisa sebutkan nama dan dimana anda sekarang, Pak...?"
"Park Jimin," Jeongguk bersumpah mendengar bunyi ceburan kentara, namun mengingat pemuda di seberang sambungan masih dapat terhubung, sepertinya ia tidak menceburkan diri ke sungai, lautan, atau sejenis itu, "di apartemen pribadi saya, tepatnya di kamar mandi."
"Kenapa anda berada di kamar mandi?" Jeongguk tahu itu pertanyaan yang sangat bodoh, namun ia harus tetap menahan Jimin tetap terjaga di telepon bersamanya.
"Agar lebih sulit dicari?" tawa pelan setelahnya, tawa yang membuat jantung Jeongguk mencelos nyeri, membawanya pada firasat buruk yang ingin ia tepis cepat-cepat. "Pukul setengah dua malam, lewat limabelas menit. Dingin sekali. Ya Tuhan, feels like im freezing off. Sepertinya tubuh saya mulai mati rasa."
"Apakah anda bersama seseorang sekarang?"
"Tidak, saya sendirian."
"Baiklah, apakah anda membawa sesuatu bersama anda?"
"Ponsel saya dan... pisau,"
Jeongguk menahan napasnya yang tercekat di tenggorokan. Demi apapun, ia amat tidak suka jika ada berita bunuh diri ataupun terbunuh, itu membuatnya agak sesak napas. Karena itu ia bergabung dengan pekerjaan ini, ia ingin mengurangi angka kematian dan bunuh diri walaupun tidak terlalu signifikan, persentase keberhasilannya sangat kurang dari seratus persen. Namun, ia harus menahan pemuda bernama Park Jimin ini selama yang ia bisa. Ia telah mengirim pesan pada orang-orangnya untuk datang ke alamat yang ia dapatkan dari lokasi GPS ponsel Jimin sekarang. Jeongguk bisa mendengar nada rapuh Jimin walau suaranya terdengar biasa-biasa saja.
Jeongguk menahan suaranya agar tetap terkendali, "Tetap dengan sambungan bersama saya sekarang, Jimin-ssi. Apa yang ingin anda lakukan dengan pisau itu?"
"Cut my wrist, I think...?"
"Kenapa anda ingin melakukan itu, Jimin-ssi?"
"Saya lelah, pak. Saya ingin melupakan semuanya. Saya ingin tidur untuk waktu yang lama. Saya ingin bebas. Saya ingin perih di dada saya hilang selamanya." Kemudian Jeongguk tidak bisa mendefinisikan suara Jimin, begitu dingin dan datar, seolah keluar dari manekin dan bukannya dari manusia. Karena suaranya begitu tak bernyawa. "Saya tidak meminta anda untuk menyelamatkan saya, pak. Saya tidak minta diselamatkan. Saya hanya ingin menyimpan bukti bahwa tidak ada siapapun yang bertanggung jawab atas ini selain saya sendiri. Walaupun anda mengirim beberapa orang kemari, tidak akan sempat."
"Apakah anda tidak punya alasan lagi untuk hidup? Carilah, Jimin-ssi. Anda sungguh tidak perlu melakukan ini." Jeongguk menggigit bibir bawahnya keras, kini merasa cemas luar biasa. Jimin seperti tidak akan mengubah ketetapan di kepalanya dan itu mengkhawatirkan, salah satu alasan lainnya adalah alamat Jimin cukup jauh dan jelas butuh waktu untuk sampai di sana.
"Tidak ada, sadly I have zero for that. Im sorry, sir," nada Jimin di seberang sana begitu pahit dan membuatnya sesak, Jimin jelas-jelas tidak akan berubah pikiran walaupun dibujuk dengan cara apapun, nadanya seolah ia telah menetapkan dan tidak mengijinkan siapapun untuk mengubahnya, "jika anda, ataupun siapapun sampai ke tempat saya, beritahu untuk menyiapkan pemakaman saya. Saya sudah menyerah, pak. Saya benar-benar menyerah. Sudah tidak ada harapan lagi."
Jeongguk mendengar suara air lagi, kini ia bertambah waspada. Jika bisa, ia ingin melompat dan berada di tempat Jimin, membatalkan apapun yang ingin dilakukan pemuda itu. Keadaan Jimin di seberang sana sudah benar-benar rawan. Orang-orangnya butuh waktu untuk sampai kesana, belum lagi mencari kunci agar bisa mendobrak masuk apartemen Jimin, masih belum dihitung juga waktu yang diperlukan jika ingin mendobrak pintu kamar mandi yang kemungkinan besar dikunci dari dalam.
Dan selama waktu yang terbuang itu, mungkin Jimin mengalami penurunan suhu badan drastis dan kehilangan terlalu banyak darah. Jimin pasti merendam sekujur tubuhnya dalam air. Ia bisa meninggal karena kehilangan banyak darah atau hipotermia. Tidak ada orang waras yang berendam di air pada pukul setengah dua malam di minggu awal musim dingin.
"Jimin-ssi? Jimin-ssi?" Jeongguk memanggil lagi, deru kekhawatiran kembali menggempurnya kuat kala tidak ada yang terdengar selain desah napas Jimin yang semakin memendek dan berat, repetitif, "anda masih disana, Jimin-ssi?"
"Kosong, pak. Semuanya kosong," gumam Jimin di seberang sana setelah beberapa detik yang terasa selamanya bagi Jeongguk, begitu pelan dan hampir tak terdengar, "saya sangat mengantuk sekarang. Sepertinya saya ingin tidur selamanya."
"Jimin-ssi, saya mohon, anda harus bertahan," Jeongguk menelan ludah lagi, ia bersumpah mendengar dentingan pisau dan ia tahu Jimin tengah menggenggamnya, apalagi bicaranya semakin kacau dan itu amat sangat mengkhawatirkan, "apakah anda memegang pisau yang anda sebutkan tadi? Apa yang telah anda lakukan?"
"Airnya merah, warnanya menyebar, rasanya seperti melayang, pak," Jeongguk mendengar suara air lagi setelahnya, "saya tidak yakin masih bisa memegang ponsel iniㅡaahh... berapa obat tidur yang saya minum tadi ya? Tujuh? Atau sepuluh? Entahlah, saya tidak menghitungnya. Mungkin saja lebih, tapi siapa peduli?"
"Jimin-ssi, mohon tunggu sebentar lagi," Jeongguk tanpa sadar berdecak pelan, tenggorokannya terasa begitu kering dan menyakitkan saat menelan ludah. Ia tahu persis apa yang tengah Jimin lakukan saat ini, setelah kejadian Kim Taehyung dua hari yang lalu, ia tidak ingin gagal lagi.
"Saya benar-benar melayang, pak. Padahal sayatannya masih belum terlalu dalam." Jimin di seberang sana tertawa, tawa yang begitu datar dan teramat menyedihkan. "Saya menyerah sekarang. Selamat tinggal, saya rasa...?"
Sebelum Jeongguk sempat menanggapi, ia mendengar teriakan tertahan dari Jimin, begitu pilu dan menyakitkan, menyebabkan debaran jantung Jeongguk berdetak begitu menyakitkan. Jeongguk kembali mendengar suara air, kini lebih deburannya terdengar begitu jelas, seolah diceburkan ke dalam air.
"Jimin-ssiㅡ"
Sambungan terputus begitu saja. Jeongguk bersandar di kursinya, mengusap wajahnya dengan raut kalut dan frustasi. Ia melepas headphone di kedua sisi kepalanya dan dibiarkan menggantung di leher. Ruangannya dipenuhi gema operator wanita yang memberitahukan bahwa nomor Jimin kini tidak aktif dan tidak dapat dihubungi. [ ]
.
.
.「 Episode #2 - suicide 」
-TAMAT-
KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Call 112
Fanfiction"Dengan 112 disini, ada yang bisa kami bantu?" Jeon Jeongguk, dengan enam panggilan yang mendebarkan. [BTS AU]