CHAPTER 5 : KIM NAMJOON

1.2K 242 27
                                    

ㅡpanggilan kelima.



+++++++

Jeongguk tidak pernah merasa lelah sekalipun dengan pekerjaannya, tidak pernah satu kalipun juga ia merasa menyesal. Namun malam ini, ia begitu lelah dan penat. Seolah semua energi telah terkuras habis dari pori-porinya.

Pencahayaan masih seremang sebelumnya, suasana kantor masih setenang sebelumnya, juga hawa aneh yang merayap ganjil di tengkuk Jeongguk juga masih sedingin sebelumnya. Memangnya, coba pikir saja, bagaimana rasanya setelah menerima panggilan dimana sang pemanggil kemungkinan meninggal? Mendengar detik-detik terakhir kehidupannya hanya lewat sinyal. Mendengar teror dan kengerian yang sang pemanggil rasakan.

Menit demi menit berlalu setelah panggilan Jung Hoseok, masih juga membayanginya, begitu lekat dan kentara. Bahkan setelah Jeongguk pamit sebentar untuk mencuci mukanya; refleksi wajahnya begitu mengerikan. Begitu pucat dan lingkaran hitam di bawah matanya. Ia mengembuskan napas di depan kaca wastafel toilet, membasuh sekali lagi wajahnya agar terlihat lebih hidup kemudian kembali ke ruang kerjanya.

Kursi itu berputar sejenak dan Jeongguk menyenderkan punggungnya, jari memijit pangkal hidungnya sembari menarik napas dalam. Mencoba menenangkan diri sekuat yang ia bisa, malam belum berakhir, jadwal kerjanya malam itu belum usai, ia masih harus bertahan untuk menangani entah berapa panggilan lagi malam ini.

Pria itu kemudian menoleh ke luar jendela, malam semakin larut dan cahaya bintang maupun bulan di luar sana semakin pudar, yang nampak hanyalah cahaya-cahaya temaram untuk pencahayaan gedung-gedung pencakar langit langit.

Ia paling ingat dengan empat panggilan ini; tentang seseorang yang dikuntit, panggilan oleh orang yang ingin bunuh diri, orang yang dihantui dan berakhir mengenaskan, dan kini yang terakhir; panggilan dari orang yang terbunuh. Suara terakhirnya.

Hingga Jeongguk berpikir, bagaimana rasanya ada di posisi mereka. Di tengah-tengah sempitnya kesempatan, begitu lekat dengan akhir hidup, secercah harapan yang digunakan dan segera menghubungi 112 namun tetap tidak bisa diselamatkan. Apakah mereka kecewa? Apakah mereka menyesal sudah menghubingi 112? Atau mereka mengutuk dengan napas terakhir mereka karena usaha yang begitu sia-sia dan tidak berguna dan tidak berbuah apa-apa selain merekam detik-detik dimana mereka direnggut secara paksa.

Apakah pekerjaannya ini benar-benar berguna?

Kau ini media penghubung, Jeon Jeongguk. Bukan penyelamat, bukan penentu takdir. Jangan bodoh dengan menyalahkan dirimu sendiri. Ini di luar kuasamu. Kau sudah melakukan yang terbaik.

"Benar ini yang terbaik? Atau usaha yang sudah dilakukan masih amat sangat kurang?" Jeongguk bergumam pelan dengan nada tajam, ujung jarinya mengetuk meja kaca keras. Ia tidak pernah sekecewa ini terhadap sesuatu sebelumnya. Terlebih, menyadari bahwa usahanya tidak seberhasil yang ia kira, tidak berperan banyak seperti yang ia kira sebelumnya.

Jeongguk menoleh kala lampu merah di monitor berkedip, tanpa berekspektasi apa-apa setelah menarik napas panjang untuk menstabilkan suaranya, ia menyambut panggilan tersebut. Setelah Jung Hoseok, yang sambungannya masih terhubung saat ia terbunuh, tidak ada yang bisa lebih buruk di malam yang sama, bukan?


"Selamat malam. Dengan 112 disini, ada yang bisa kami bantu?"

Jeongguk menekan tombol kombinasi di keyboard untuk melacak lokasi, namun ia masih sedikit enggan menatap monitor sehingga pandangannya ia layangkan ke luar jendela. Tidak melakukan apapun selain menatap cahaya bulan yang berpendar keperakan, sesuatu entah kenapa mengusik Jeongguk, menimbulkan desir samar yang terlalu ganjil untuk toleransi ketenangannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Emergency Call 112Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang