Seoul, Korea
Aku melihat Wendy yang sedang meringkuk di sofa, aku tak berniat membangunkannya karena butuh tenaga lebih untuk membujuknya tidur didalam kamar. Untuk kali ini saja aku tak ingin jadi pengertian untuk Wendy, aku tak peduli jika ia besok pagi terkena flu atau demam karena tidur tanpa penghangat diruang tamu pada musim dingin seperti ini, karena ia susah sekali dibagunkan.Setelah membersihkan riasan wajah kini mataku benar-benar terlihat lebih bengkak lagi, aku sangat membenci diriku yang menagis begitu banyak pada hari pernikahan orang lain. Aku menghabiskan tigapulih menit untuk memandangi wajah pecundangku di pantulan cermin, wajah yang tak dapat menyentuh hati Dean sama sekali.
Jam menunjukan puku duabelas malam, tapi kantuk tak mau datang kepadaku. Akhir-akhir ini aku sering mengalami insomnia berbeda dengan Wendy yang seratus persen terbalik, aku yakin terlalu banyak tidur adalah keluhan satu-satunya bagi Wendy. Aku mengabil buku di atas nakas lalu duduk setengah berbaring sambil bersandar di kepala ranjang, obat tidur tanpa efek samping pastilah membaca buku, dan aku berharap hal itu dapat berhasil kali ini.
Aku melirik ponselku dan berniat menghubungi Mino karena buku tak mambuatku bisa tidur setelah duapuluh menit membacanya, sejak bertemu diaula pernikahan tadi siang, aku belum sempat menghubunginya. Aku ingin tau apa yang ia lakukan setelah acara pernikahan, walaupun jelas dia tak akan baik-baik saja seperti diriku sekarang ini. Aku hanya ingin ada teman bicara malam ini. Aku menekan tombol panggil setelah menemukan nomor ponsel Mino. "Hallo" aku menyapanya canggung setelah panggilan tersambung.
"Irene? Kau belum tidur?" kata mino diseberang sana.
"Tidak bisa tepatnya". Jawabku jujur
"Kau baik- baik saja?" tanyaku. Peryanyaan bodoh, walaupun Mino tak cengeng sepertiku pasti ia juga tak akan baik-baik saja sekarang. Aku harusnya tau betul persaan itu, ia masih diam tak menjawab pertanyaanku. Terdengar nafasnya yang kasar diseberang sana.
"Haruskah aku kesana kerumahmu sekarang?" tawarku pada Mino.
Aku mengenakan mantelku, lalu meluncur keluar pintu apartemen setelah meyelimuti Wendy karena Mino sudah menungguku dibesmen, ia bilang ingin menjemput setelah penawaranku di telepon tadi. Ini mungkin salah, karena jika aku bersama Mino maka segala hal tentang Dean akan selalu ada dalam kepalaku. Saat ini aku hanya butuh orang yang memiliki pemikiran yang sama, karena ia akan memahami keresahanku. Maka dari itu aku membutuhkannya.
Mino menekan klakson setelah melihatku keluar dari lift, memberi isyarat untuk segera masuk kedalam mobil, dan kini aku duduk dikursi depan sedangkan Mino mengemudikan mobil. Aku benar-benar tak perduli bagaimana penampilanku dihadapan pria yang kini membawaku pergi meninggalkan apartemen, karena aku tau ia juga pasti tak akan begitu peduli dengan diriku.
Aku masih diam, aku merasa ada jarak dengan Mino sekarang. Berbeda dengan siang tadi, aku dengan gampangnya menggenggam tangannya erat ketika Dean mencium istrinya setelah janji pernikahan. Aku menatapnya sebentar, lalu menggigit sudut bibirku. Saat ini mungkin hal paling berani yang pernah aku lakukan setelah keluar dari rumah orangtuaku, pergi tengah malam dengan seorang pria yang baru dikenal. Apalagi aku berencana bermalam dirumahnya sekarang.
Jalanan sangat lengang, mungkin karena sekarang adalah tengah malam. Mobil masuk gang agak sempit dan berbelok dan sepertinya kami sudah hampir sampai.
"Rumahku disana" ia menunjuk rumah atap yang berjarak dua rumah tepat setelah kami turun dari mobil."Haruskah kita membeli minuman?" aku yakin iya mengerti maksudku dengan minuman, malam ini mengobrol dan minum alkohol hingga tertidur akan cocok dengan suasana hati kami berdua. Atau aku tentu saja, karena aku belum yakin karena Mino belum merespon apapun.
"Tentu!" lalu menatapku sambil tersenyum simpul.
***
Selagi Mino memasukan sandi pada panel pintu rumahnya, aku melirik ponsel memastikan jam berapa sekarang. Pukul satu lewat lima, sepertinya aku dan Mino menghabiskan waktu terlalu lama hanyan untuk membeli minuman di minimarket.Pintu terbuka disertai dengan suara khasnya. Ini tidak seperti diriku yang biasa, aku belum pernah kerumah seorang pria semalam ini atau bahkan bisa dibilang sudah dini hari. Anehnya aku tak merasakan gugup ataupun merasa cemas sama sekali. Saat melewati bingkai pintu tadi, bahkan hingga kini sudah duduk di sofa tanpa matel, dan kini hanya pajama polkadot kekanakkan yang aku pakai. Mino duduk disebelahku membuka kaleng beer lalu menyodorkan kepada ku.
"Rumahmu cukup bersih untuk seorang pria." Ucapku setelah itu menegguk beer seperti orang yang kehausan.
"Aku maniak kebersihan"
"Begitukah. Aku baru tau, Pria bisa seperti itu." ia terkekeh, Aku hanya menatapnya dengan tatapan ketidak percayaan. Lalu ia menatap wajahku denga teliti, membuatku sedikit risih.
"Berhenti menatapku!" lanjutku protes.
"Aku rasa tau jawabannya. Alasan orang-orang di mini market tadi menatapmu."
"Karena aku cantik!" aku tau ia menahan tawa.
"Aku suka rasa percaya diri itu, tapi bukan itu. Sepertinya efek hujan airmata membuatmu seperti mendapat pukulan dikedua mata." Ia menyodorkan ponsel kedepan mukaku, supaya aku bisa bercermin. Lalu ia terbahak-bahak sampai bersandar di punggung sofa.
"Sialan, kau!" Aku memukul dadanya, lalu ia terhentak kesakitan.
Ah, benar aku lupa soal mataku yang bengkak. Aku pasti terlihat seperti panda bodoh dihadapannya.
"Tenang saja. Kau bukan wanita untukku" lanjutnya lagi, membuatku semakin tersinggung. Aku berdiri sambil berdecak pinggang.
"Kau juga bukan pria dihadapanku!"
Kami berdua saling menatap agak lama dan dalam, namun setelahnya tawa kami pecah. Ini sedikit kekanakkan.
Aku merasa hangat di dekatnya, bukan karena perasaan ingin memiliki, ataupun perasaan cinta. Hanya senang bahwa aku tak sendirian sekarang.