#Square

483 74 8
                                    


Aku tak ingin turun dari ranjang, tak ingin pergi bekerja. Aku hanya ingin menutup mata dengan bantal, karena mata ini menciptakan penghalang antara aku dan setiap cermin yang ada di aparetemen ini. Aku menjadi benci dengan apa yang ada dalam diriku. Aku tak ingin melihat kecermin, karena takut melihat refleksi diriku yang menyedihkan ini. Gadis yang tak tak pernah dipilih oleh siapapun.

Semakin aku lama berbaring disini semakin lama aku memikirkan hal yang terjadi, semakin aku tak ingin bertatap muka dengan Mino. Aku tau, bahwa segalanya sudah makin tidak beres karena aku pikir bahwa Mino tak bisa merubah hatinya.
Dengan enggan aku berjalan ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Setelahnya aku
membuka pintu dan berjalan keruang tamu.

Langkahku berhenti

Aku melihat ibuku sedang membuat makanan, sedangkan Wendy bersandar dipinggir meja lalu menatapku lurus. Bukan itu yang membuatku terkejut disana melainkan pria yang kini tengah memegang buket bunga itu. Aku menatap tajam Wendy dan dan membuat gerakan bibir ‘ada apa?’ Wendy mengangkat bahu, aku mengelus keningku dan ‘Oh tuhan celaka lah!’ aku belum siap mendapat masalah lain bahkan masalah dengan Mino saja masih membuatku kalut.

Aku masih tak bisa bergerak, jika bisa maka akan memperlebar jarak anatara aku dan
mereka bertiga. “Aku akan pergi duluan” kata wendy. Lalu menghentikan kontak mata padaku dan aku merasa bahwa ada yang sengaja menempatkanku pada situasi yang abstrak ini, bagaimana ibu dan Dean. Aku hilang akal dengan situasinya.

“Hari ini bisakah kau cuti?” Katanya lalu menghampiriku dengan bunga ditangannya.

Aku rasa seperti ada lumpur penghisap yang menahanku untuk tak pergi kemanapun, aku melirik kearah ibu yang sialnya malah mengabaikan situasiku dan memilih menenggelamkan dirinya pada kegiatan membuat sarapan pagi. Dan 'hello' dengan mudahnya Dean membuat keadaan seperti kami sedang dalam hubungan kami semula.

Ia menyodorkannku bunga dihadapanku, aku tak menyambut bunga itu. “Apa yang kau lakukan huh?!”

“Ayo kita mulai lagi, dari awal” katanya lalu menarik lenganku dan mendesakku mengambil bunga yang ia beri. Aku melemparnya kelantai.

“Ibu terimakasih, Kalian memang yang terburuk!” aku menggertakaan gigiku menahan marah karena merasa dipermainkan.

“Ayo bicara diluar” kata Dean menarik tanganku menujun lobi apartemen. “Jangan salahkan ibu, aku yang memintanya membantu untuk menemuimu. Karena Wendy sama sekali tak mau membantu”

“Sebenarnya maumu apa sih?”

“Aku akan bercerai”

“Oh ya? Selamat kalau begitu!” kataku sakratis

“Berhenti menjadi angkuh, ayo kita kembali berhubungan seperti semula”

“Aku tak mau!”

“Irene kau tau kan sudah berapa lama hubungan kita? Delapan tahun. tak bisakah kau memberiku kesempatan lagi?”

“Hey! Kau pikir aku akan setuju?”

“Aku menikahi Jisoo juga bukan karena aku mau, karena situasinya yang mengharuskan ku melakukan itu. Aku juga mempertaruhkan diriku untuk meninggalkanmu”

“Kau membuatku menjadi wanita murahan diamata Jisoo”

“Sedari awalaku memang milikmu buka Jisoo, aku melakukannya karena tak punya pilihan lain”

“Jadi kenapa kau melakukan kesalahan, dan membuat segalanya menjadi rumit!”

“Aku mabuk, dan semuanya terjadi bahkan sebelum aku bisa mencegahnya”

“Kau bahkan bisa pergi ke klub pada saat itu, beseanang-senang. kau tau aku bahkan tak bisa memberikan waktu untuk diriku sendiri untuk sehari saja"

“Sebelumnya kau pernah menawarkanmu untuk berhenti bekerja saja kan”

“Kau pikir aku wanita murahan yang mendapatkan uang dari kekasihnya? Kau memang yang terburuk!” nafasku terengah mencoba menstabilkan emosi yang sudah memuncak dikepalaku.

“Bukan begitu maksudku Irene” Dean berusaha menarik tubuhku.

Aku mendorongnya, hingga semua orang dilobi terkejut melihatnya. “Bajingan sialan!” Umpatku  lalu melewatinya yang masih beusaha berdiri sambil. Aku menahan tangis, aku tau berperilaku kasar pada Dean memang berlebihan. Seolah aku meluapkan dua emosi bukan hanya untuknya tapi juga untuk Mino yang seketika pecah dikepalaku dan hanya
terlampiaskan kepada Dean.

Aku mengepalkan tangan erat lalu membanting pintu apatemen dengan keras, seakan tatakrama pada orangtuaku sudah hilang karena emosi. Ibu rupanya sudah menungguku dengan tatapan khawatir didepan pintu lalu berkata “Ibu sangat menyesal”.

Aku menjatuhkan diri ke kasur lalu mulai menagis sesegukan di bantal, ibu mengelus rambutku pelan.

“Aku sudah melupakannya Dean, tapi ia terus menempakanku pada situasi rumit” ibu terus mengelus rambutku pelan

“Kau berhasil sayang” kata ibu sama lembutnya seperti kapas Aku terus menangis sesegukkan dengan ibu disampingku. Selain Dean aku juga membenci Jisoo, aku benci dirinya yang berada di pihak yang tak bisa aku salahkan. Aku benci ia yang terus membuat hati Mino goyah. Dan terlebih aku benci diriku yang tak bisa merubah hati Mino sepenuhnya dari bayang-bayang Jisoo.

***

Pada akhirnya jatah satu minggu cuti kerja aku gunakan untuk memulihkan diri demi
kebaikan fisik dan pikiranku. Walau faktanya seperti lari dari masalah aku tetap tak peduli.

Dua pria itu terus saja memberiku pesan dan mengajakku bicara, aku cuma mau sendiri sekarang . Nemberi waktu diriku berpikir dan memutuskan hal apa yang harus aku lakukan.

Wendy bilang Dean sudah membawa berkas penggugatan cerainya ke pengadilan, dan Mino dari cerita Wendy kedapatan sering mengantar Jisoo untuk terapi patah tulangnya. Aku sepertinya salah mengira bahwa tekad Mino tak seteguh apa yang aku kira saat ia bilang
akan berusaha melupakan Jisoo.

Jika ia meninggalkanku sekarang karena Jisoo akan bercerai dengan Dean juga pasti bukan suatu hal yang akan jadi masalah jika aku tak menyukai Mino. Aku akan mendukungnya untuk mendapatkan Jisoo tanpa keraguan. Aku hanya bisa menyesal akan keputusanku dengan Mino. Dan penyesalan itu semakin mengerogoti driku.

Aku menatap ponselku lagi yang lebih hening dibanding tadi pagi. Mino memberi pesan lebih pendek dari sebelumnya yang sembilan puluh delapan persen uacapan permintaan maaf karena melakukan hal yang membuatku tersinggung katanya.

Namun, kali ini berbeda.

Mino: Aku tunggu besok jam 8 dibukit namsan dan mari perjelas perasaan masing-masing.

Pesan itu seperti mengisyaratkan rasa patah hatiku bahkan sebelum tau apa yang akan
mino katakan mengenai perasaannya padaku.

NavigationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang