2

30 3 0
                                    

Suara petikkan gitar menemani hariku yang membosankan.

Ku mainkan gitarku dengan nada asal. Setidaknya tidak terasa sunyi,pikirku.

Aku rindu Yola sahabat ku. Aku rindu Andin dan Jesi. Aku rindu mereka. Mereka yang setiap hari di sampingku menemaniku. Kalau di pikir lebih banyak waktu ku habiskan bersama mereka di bandingkan saudaraku. Jadi aku dan mereka sudah sangat mengenal.

Rumah sedang tak ada orang. Hanya aku sendiri yang sedang membangkai di kamar.

Jangan tanya mengapa aku tidak memainkan hp atau melihat vidio-vidio lucu di youtube, jawabannya hanya satu. Aku tidak punya hp.

***

Ku ambil radio tua yang sudah ada sebelum aku lahir. Radio itu sudah tua, bahkan umurnya lebih tua 2 tahun dariku.

Kuhidupkan, dan ku pilih siaran radio kesukaan ku. Sore itu yang ku lakukan hanya duduk di depan meja belajarku sambil membolak-balik album foto yang berisi 4 wajah.

Didalam album itu hanya ada wajah ku, Yola, Jesi, dan Andin.

Hidupku tidak seenak anak lainnya dan tak semenderita anak lainnya.

Aku tidak ingin mengatakan hidupku sangat menderita, karena aku rasa masih banyak anak lain nya lebih menderita dariku.

Aku hanya kurang mensyukuri saja, pikirku.

Aku terlahir dari keluarga yang buruk, tapi orang lain memandang sebaliknya.

Orang pikir, hidupku sangat menyenangkan. Terlahir dari kedua orang tua yang berpendidikan tinggi.

Mereka salah.

Aku pernah merasakan seorang ayah dan ibu serta saudara yang menyayangiku. Keluarga yang ada di saat ku butuh, teriakan-teriakan ejekan dari saudaraku yang justru membuatku bahagia.

Aku pernah sedekat itu dengan keluargaku, tapi tidak detik ini.

Ayahku yang semakin sukses dengan pendidikan dan pekerjaan nya berubah menjadi monster yang mengerikan. Ia terlalu mencintai jabatan dan uang.

Ibuku yang menjadi imbasan kemarahan ayahku, menjadi sering stress dan melampiaskannya pada kami, anaknya.

Ibuku adalah perempuan yang baik, bahkan sulit untuk menemukan wanita sepertinya.

Aku tak ingin membahas nya lebih dalam, biarlah itu menjadi cerita ibuku saja.

Sedangkan kedua saudaraku, maniak dengan teknologi. Mereka juga menjadi gila dan kejam jika kemauan mereka tidak dituruti. Memukul fisik dan mengucap kata kasar tak jarang mereka lakukan.

Aku tidak peduli dengan itu. Jika memang begitu, aku juga bisa menjadi es yang dingin dan beku.

Dan pada akhirnya, keluarga ku semakin hancur. Pertengkaran-pertengkaran sering terjadi.

Tidak ada yang menginginkan nya. Tapi hanya karena kemalasan itu pun terjadi.
Ini lah yang ku rasakan, jika dirumah aku selalu merasa tak bersemangat.

Kami bukan keluarga yang broken home, tapi mendekati itu.

***

Bodoh nya aku, aku tidak pernah berfikir akan kemana aku melanjut sekolah.

Ada salah satu sekolah swasta di kotaku. Sekolah itu cukup elit, tapi entah mengapa aku tidak tertarik untuk bersekolah di sana.

Jesi mengajakku untuk sekolah di sana, jujur aku tidak ingin masuk ke sana, apalagi kebanyakan murid disana tidak asli orang pribumi.

Akhirnya aku ikut mendaftar ke sekolah itu, testing dilaksanakan satu bulan lagi.
Aku mendaftar tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku. Aku takut mereka marah. Aku takut mereka tak sanggup menyekolahkanku.

***

"mau SMA di mana kamu?", tanya ayah.

"entah", jawabku.

"kok entah, gak usah sekolah aja lah kamu ya", ucapnya.

"boleh", balasku pelan.

Aku memang benar-benar tak berniat melanjut sekolah. Keluarga ku tidak miskin. Ayahku seorang Profesor. Tidak ada kata tidak sanggup untuk menyekolahkan.

Hanya aku saja yang merasa putus asa. Aku selalu ingin berteriak, "AKU INGIN MATI."

Jika teman-temanku sedang menikmati liburan yang indah, aku sedang menikmati pertengkaran-pertengkaran setiap harinya.

"Hahaha."
Dia tertawa.

"sekolah yang dekat disini aja taruh dia", ucap ibu.

Dia memberikan pendapat begitu, karena sewaktu aku SMP aku nakal di sekolah.

Awalnya aku keberatan dengan pendapatnya. Tapi aku iklas, lagi pula kalau dipikir bukan sekolah yang menentukan kesuksesan, tapi muridnya.

Aku tak keberatan.

"iya sekolah di SMA X aja ya?", ucap ayah.

"iya", jawabku santai.

Mereka tertawa. Aku bingung.

Sekarang mereka menertawaiku karena ku setuju. Dulu saat ku meminta untuk meminta masuk di sekolah elit mereka juga menertawakan ku. Bodoh.



Esok nya ayahku bilang ia sudah mendaftarkan ku di sekolah internasional.

Aku terkejut, bagaimana bisa. Aku bukan orang cerdas yang lancar berbahasa inggris. Aku hanya murid biasa yang mempunyai IQ 120.

Aku menolak dengan keras. Tentu saja, di sana aku akan hanya buang-buang uang saja. Uang sekolah nya yang sangat mahal membuatku ternganga.

"ga usah takut kalah, kamu pasti masuk", ucapnya.

Tidak. Aku tidak akan masuk. Bukan karena aku bodoh, tapi karena aku yang tidak mau.

"aku gak mau sekolah di situ."

"apa nya, sudah saya daftar", balasnya lalu pergi.

Saya sudah daftar?
kata pembohong macam apa itu. Hahaha.. dia berbohong.

***

Pada akhirnya aku tidak mengambil SMA swasta yang di ajak Jesi, atau pun sekolah internasional pilihan ayah.

Aku memilih sendiri sekolah yang sudah ku impikan. Salah satu SMA rujukan di pulau itu. Hanya ada 3 SMA rujukan di pulau itu.

Aku tidak akan heran dengan murid-murid disana. Aku tidak akan heran dengan kecerdasan otak mereka. Murid-murid di sana bukan hanya berasal dari satu kota saja, melainkan antar provinsi,kota,kabupaten juga.

Aku senang bisa masuk ke sekolah itu, ada ribuan peserta yang mendaftar dan hanya 500 siswa yang di terima. termasuk aku.

Ku pikir aku tidak akan bisa lolos, apalagi selama liburan aku tidak pernah sekali pun menyentuh buku pelajaran.

Aku mendaftar satu hari sebelum pendaftarannya tutup, esok nya adalah jadwal testuling. Itu berarti aku hanya belajar satu malam saja.

Mujizat tuhan berkehendak. Aku senang sekali.

Akhir nya aku masuk di salah satu sekolah favorit di negeri ini.




💌AUTHOR💌
hai, buat klian!
Cerita dong seberapa greget nya kalian liat hasil pengumuman lulus testing?
Pasti ada yg seneng atau sedih, yuk komen, aku pengen denger.
#29juli

Catatan SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang