16% - Sorry

2.5K 314 243
                                    

warn!
minor edit.
mulmed ganyambung tapi aku lagi suka lagunya (*´∇`*)

Tiga jam telah berlalu, tapi Jinyoung sama sekali belum terbangun.

Dan selama itu, Guanlin sama sekali tidak beranjak dari posisinya.

Dengan mata memerah, yang nampak sekali gurat sembab dan emosi yang terpancar dari sana. Rambutnya berantakan dan wajah tampannya dihiasi bekas-bekas luka memar kebiruan, ulah dari tangannya sendiri.

Ia berlutut di samping tempat tidur Jinyoung, tangannya menggenggam erat tangan mungil yang nampak pucat dan dingin itu, membawanya dalam kecupan-kecupan penuh penyesalan.

"Sayang ayo bangun.." menyentuhkan telapak tangan Jinyoung ke pipinya, Guanlin berbisik lirih. "..maaf, maafin aku."

Jinyoung masih enggan bergeming. Kedua matanya masih terpejam erat, dengan wajah terutama bibir yang memucat, dan nafas yang berhembus lambat. Dibalik selimut tebal yang menggelung tubuhnya, terdapat begitu banyak luka yang Guanlin torehkan. Beberapa sudah mengering, namun kebanyakan masih memerah dan sesekali mengeluarkan darah.

Bibir tebalnya mengulum senyum pahit, Ia mengelus bekas lecet kemerahan di pergelangan tangan Jinyoung.

Rasanya sesak, dan perih. Melihat luka-luka itu menghiasi tubuh mungil kesayangannya, membuat Guanlin memaki dalam hati, meruntuki kebodohannya. Bagaimana bisa Ia menyakiti Jinyoungnya, hal yang paling berharga yang ada di hidupnya?

Ia mengambil peralatan bedah minor miliknya di lemari, mengeluarkan beberapa lembar kasa, perban, antiseptik, obat merah, gunting perban dan beberapa peralatan lain dari sana.

Meraih tangan mungil itu, lalu mengecupi punggung dan telapak tangannya dengan kasih. "Masih belum mau bangun, hm? Aku mau obatin luka kamu loh, kamu mau aku obatin?" Sepasang kelereng bulat miliknya berkaca, nyaris-nyaris tumpah jika saja tidak diusap dengan kasar oleh punggung tangan besar itu.

"Kamu bilang balutan perban aku kaya nasi bungkus? Kamu mau tangan kamu jadi kaya nasi bungkus lagi?"

Guanlin terkekeh lirih, teringat wajah menggemaskan Jinyoung saat memarahinya karena membalut paha si manis itu seperti nasi bungkus.









"Guan, ih! Dibilangin perbannya jangan tebel-tebel, secukupnya aja!" Omel pemuda manis itu sambil tangannya melepaskan balutan kasa acak-acakan yang melingkari pahanya. "Kayak nasi bungkus tau!"

Si tampan mencibir, "itu paha kamu yang montok, Bae. Bukan perbannya yang ketebelan." Balasnya sambil mengeriling jenaka pada paha putih Jinyoung yang hanya ditutupi oleh kemeja tanpa bawahan.

"Jadi aku gendut gitu?!"

"Bukan aku yang ngo—AMPUN BAE JANGAN DIJAMBAK NANTI AKU BOTAK GIMANA KAMU GAK NAKSIR LAGI?!"









Masih tergambar jelas di ingatannya wajah imut sang kekasih hati saat tengah merajuk—plus jambakan maha dahysatnya yang membuat beberapa helai rambutnya rontok, sangat cantik dan membuat hatinya berdesir.

Wajah yang membuatnya jatuh cinta, berulang kali dan semakin dalam setiap kalinya.

Membuatnya selalu berjanji di dalam hati, untuk senantiasa menjaga agar senyuman manis selalu terbit di wajah mungilnya. Karena Jinyoung sangat cantik saat tersenyum.

Tapi dirinya pula lah yang melunturkan senyuman itu, menggantinya dengan air mata yang tidak seharusnya ada disana, tidak sampai kapanpun.

Lai Guanlin memang bajingan, batinnya memaki.

「Too Close」 ➽PanDeepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang