Tiga

845 61 0
                                    

Happy reading guys :)

~~~

Sudah kuduga. Hari ini aku datang terlalu pagi ke sekolah. Pasti hanya ada beberapa orang di kelas. Aku berdecak, biasanya jika jam segini aku masih menunggu Iqbal menjemputku.

Ck, kenapa harus memikirkan dia lagi? Aku 'mungkin' sudah membencinya, sangat membencinya. Baru beberapa langkah aku berjalan, mataku menangkap sosok lelaki yang tak asing lagi. Dia sedang tersenyum bersama Maya, gadis yang menjadi alasan kenapa dirinya meninggalkanku.

Aku berjalan pelan. Sial, aku akan melewati mereka. Apa sebaiknya aku mengambil jalan lain? Tapi kemana?

Dengan tenang aku tetap ayunkan langkahku. Mencoba menganggap mereka berdua adalah angin lalu. Aku mengambil ponsel, berpura-pura membaca pesan yang masuk padahal tidak ada satu pesanpun yang datang. Dasar jomblo. Begini amat hidupku.

"Hanum?" Ngapain sih Maya manggil namaku? Mau nyoba terlihat ramah di depan Iqbal? Basi!

Aku diam memilih melanjutkan perjalananku. Kenapa kelas terasa memiliki jarak lebih jauh?

"Hanum, gue nyapa elo. Lo gak mau nyapa balik gitu?" katanya lagi. Aku menghembuskan napas. Harus ya aku menyapa dia juga?

"Hanum sombong banget sih."

"Udah lah biarin aja."

Oke terdengar suara Iqbal. Suara lelaki sialan itu kenapa harus keluar? Aku mempercepat langkah kakiku. Ingin segera masuk ke kelas.

Aku bernapas lega ketika aku sudah sampai di ambang pintu kelas. Aku tersenyum saat melihat beberapa teman sekelasku sedang melakukan aktivitas mereka.

"ASSALAMU'ALAIKUM WAHAI SAUDARAKU SEIMAN SETAQWA! COGAN BARU DATENG NIH!!" teriak Lutfi dari samping kiriku. Membuat aku terlonjak kaget. Tanpa babibu kujitak kepalanya agak keras.

"Ngagetin aja!" Lutfi hanya meringis kemudian memamerkan cengiran khasnya.

"Jangan marah-marah dong, masih pagi." katanya. "Kalo lo marah, nanti cuacanya gak cerah dan mendung. Kayak hati lo." Aku menatap Lutfi horor. Lelaki ini.

"LUTFI!!" Lutfi tertawa dan dengan santainya dia memasuki kelas membiarkanku yang masih berdiri di depan pintu.

Aku berjalan menuju bangku kedua dari kanan dan ketiga dari depan. Aku mengerutkan kening ketika melihat ada setangkai bunga mawar merah dan sacarik kertas di bawahnya. Aku mengambil bunga dan kertas itu.

Hei, Hanum.
Jangan terlalu sedih, lo pasti bisa ngelewatin ini. Dan gue yakin, lo bakal bahagia setelah badai ini gak ada.

Tulisan ini sepertinya aku kenal. Mirip dengan tulisan Iqbal. Tapi tak mungkin lelaki itu mengirim tulisan seperti ini.

"Kalian tau gak siapa yang naruh bunga di bangku gue?" tanyaku.

"Pas gue dateng juga udah ada kok." sahut Rina.

"Dari pengagum lo kali, Num."

"Nah bisa jadi."

"Yakali." gumamku. Kuperhatikan sekali lagi. Tapi serius, tulisan ini seperti tulisan Iqbal. Ck, kenapa sih otakku penuh dengan Iqbal. Pasti ini gara-gara tadi aku bertemu dengannya.

"Hebat ya, Hanum. Abis putus dari Iqbal lo langsung diincer yang lain." Aku menoleh pada Amelia yang barusan bersuara.

"Hahah, apaan sih, Mel. Ini tuh cuma orang iseng."

"Bukan, bukan orang iseng."

"Si Lutfi sotoi amat." Lutfi mengangkat kedua bahunya tak peduli. Aku memilih duduk dan menyimpan kertas kecil tadi ke dalam saku tasku.

Again (Muhammad Iqbal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang