Empat

784 49 3
                                    

Enjoy

~~~

Hari ini, aku dan Iqbal duduk di meja yang sama, di ruangan yang sama, mencium udara yang sama bahkan melakukan aktivitas yang sama, yaitu diam memperhatikan Pak Diki.

Sebenarnya aku sudah melihat Witan yang akan berjalan menuju mejaku, tapi dengan santainya lelaki berkumis tipis ini duduk tepat di samping kiriku. Semua gara-gara Pak Diki, jika saja beliau tak menyuruh kami rapat. Aku dan Iqbal takkan berada di satu ruangan dan di satu meja tentunya.

"Gak usah tegang gitu dong." bisik Iqbal. Aku menoleh sekilas.

"Siapa yang tegang. Dasar sotoi." Iqbal hanya tertawa. "Gak usah ketawa, gak lucu." semprotku pada lelaki itu.

"Kaku amat idup lo. Tertawalah sebelum tawa itu dilarang." Aku memutar bola mataku malas.

"Lo pikir siapa yang bikin gue kaku kayak gini? Elo!" Iqbal terkekeh kecil. Ck, sepertinya Iqbal sudah gila.

"Iqbal sama Hanum tolong ambil berkas Humas angkatan tahun kemarin di Bu Laila." suruh Pak Diki. Membuat kami berdua langsung menatap sumber suara.

"Saya, Pak? Sama Iqbal?" Pak Diki mengangguk mantap.

"Kalian kan bagian humas." Aku berdecak. Iqbal bangkit dari duduknya, membuatku mau tak mau juga ikut bangkit.

"Kami permisi dulu." ucap Iqbal. Pak Diki mengangguk mempersilahkan.

Kami berdua berjalan keluar. Aku mengekor di belakang Iqbal. Tak ingin beriringan dengan lelaki itu.

Kuperhatikan punggung tegap Iqbal, meski baru seminggu kami tak bersama. Rasanya sudah rindu, apalagi moment begini. Senyumku terangkat, membiarkan ingatan datang menyelinap.

"Lo ke bu Laila sendiri aja, Num. Gue mau nemuin Maya dulu." Aku menatap Iqbal yang barusan membalikkan tubuhnya. Kulihat matanya lekat.

"Lo keluar cuma buat pacaran sama Maya dan biarin gue yang harus nyari berkas di tempat bu Laila sendiri? Gitu?" Iqbal mengangguk mantap.

"Ya udah gue ke kantin dulu, ya. Semangat nyari berkasnya." Iqbal mulai melangkahkan kakinya. Namun buru-buru aku tahan tangan kanan Iqbal. Dia diam dan menatapku.

"Kenapa? Lo kangen sama gue?" Aku memutar bola mata malas.

"Pak Diki nyuruh kita berdua yang nyari berkas. Bukan cuma gue sendiri."

"Ya udahlah. Lo sambil inget gue aja. Atau bayangin lo nyari berkasnya berdua sama gue."

"Iqbal gue serius!"

"Jangan terlalu serius nanti baper."

"Iqbal!"

"Apalagi sih, Num? Gue mau ke kantin, gak enak bikin pacar gue nunggu." Oke, Iqbal mulai menyebalkan.

"Ya udah, sana!" Iqbal masih diam di hadapanku.

"Hanum?" katanya.

"Apa? Sana temuin pacar lo!"

"Ya gimana gue bisa pergi, lo aja masih megang tangan kanan gue." Aku melotot, kuarahkan pandangan ke tanganku. Sial. Dengan kasar kulepaskan genggamanku pada Iqbal, membuat lelaki itu terkekeh geli.

"Gue ke kantin dulu." Aku diam tak menghiraukan ucapannya. Aku membuang napas berat setelah memastikan Iqbal tak ada di depanku.

"Sial terus kalo gue satu kelompok sama cecunguk itu." umpatku kesal. Kuperhatikan Iqbal yang masih berjalan dengan santai, sedetik kemudian dia berbalik.

"Hanum, jangan kangen gue. Rindu aja. Kangen terlalu spontan sedangkan rindu dia mendalam." teriaknya. Ia melambai lalu belok ke kiri menuju kantin.

"SIAPA JUGA YANG KANGEN SAMA LO. DAN GUE GAK MAU RINDU SAMA LO!" histerisku. Aku menggelengkan kepala. Lebih baik, aku mulai mencari berkas di bu Laila.

***

15 menit aku mencari buku itu, sekarang saatnya aku kembali ke ruang OSIS. Iqbal mungkin masih lama, apa sebaiknya aku menunggu dia dulu? Ck, kenapa dia harus memilih bertemu dengan Maya?

"Lama amat, sih. Sepuluh menit gue nunggu elo." Aku terlonjak, kulihat lelaki berkumis tipis sedang menatapku dengan mukanya yang sedikit ditekuk. Aku tau Iqbal sangat tak suka menunggu. Tapi apa benar dia menungguku keluar?

"Lo nungguin gue?" tanyaku.

"Lo pikir gue ngapain berdiri dengan santai di depan ruang guru kalo bukan nungguin elo?" Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku mengerti. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk pergi ke ruang OSIS.

"Makanya kalo disuruh itu, nurut. Bukannya malah keluyuran nemuin yang lain." ucapku santai.

"Nungguin elo yang lagi nyari berkas itu kan termasuk suruhan Pak Diki."

"Ngarang. Harusnya lo bantuin gue nyari."

"Nunggu juga termasuk pekerjaan. Lo pikir nunggu itu gak ngebatin?"

Dasar, bucin. Iqbal kenapa jadi alay begini sih?

"Lo dikasih makan apa sama Maya? Kok berubah jadi gini?"

"Berubah cuma buat power rangers." Tuh kan dia nyaut mulu.

"Alay."

"Lo lebih." Ck, aku merasa menyesal pernah menjadi pacar Iqbal. Sepertinya sifat Maya yang menyebalkan mulai menular pada lelaki ini.

Kami sampai di ruang OSIS, Iqbal mulai membuka pintu ruangan bercat abu putih itu.

"Kalian dari mana saja?" tanya Pak Diki.

"Maaf, Pak. Tadi bu Laila lupa naruh bukunya di mana. Saya di suruh cari di rak kepala sekolah sekalian juga beresin tempatnya." sahutku.

"Ya sudah, kalian boleh duduk."

"Bukunya, Pak?"

"Kalian bawa bukunya, pelajari. Sebagai contoh untuk laporan nanti." Aku dan Iqbal mengangguk kemudian kembali duduk di bangku ketiga dari jendela.

"Lo yang bawa bukunya." Iqbal menggelengkan kepala.

"Lo aja."

"Sekali-kali elo yang pelajari."

"Males."

Dasar, lihat saja nanti. Iqbal harus membawa buku ini bagaimanapun caranya.

Aku kembali mendengarkan Pak Diki yang masih bertanya pada Abi. Sesekali kulirik Iqbal yang sedang berbincang dengan Aji. Apakah aku mampu bangkit dari lelaki ini? Apakah aku sanggup memupuk benci? Sulit rasanya harus membenci lelaki yang menjadi cerita selama dua tahun terakhir.

Aku menghembuskan napasku asal. Langkah pertama menuju bangkit adalah aku hanya ingin bisa lepas dari ingatan tentang Iqbal. Hanya itu saja. Tapi kenapa semuanya seolah tak bisa? Kenapa Iqbal selalu melekat dalam ingatan? Caraku yang salah atau dia yang memang tak pernah mau lepas dan terus terarah.

~~~

Menurut kalian gimana?
Maaf ya untuk typo yang bertebaran dan alur cerita yang gak nyambung.
Jangan lupa vomment, oke?
Muach.

Again (Muhammad Iqbal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang