Dua

851 63 2
                                    

Enjoy
~~~

Dua hari setelah kejadian di taman belakang sekolah. Aku menanamkan rasa benci pada Iqbal di dalam hatiku. Itu adalah cara terbaik agar aku mampu bangkit dan kembali kuat.

Hari ini jadwal seluruh anggota OSIS mengadakan rapat. Aku sedang tak ingin mengikuti rapat ini. Selain karena membuang waktu belajarku. Alasan paling utama adalah aku tak ingin bertemu dengan Iqbal.

"Ris, lo mau kumpulan OSIS?" tanyaku pada Risma. Gadis itu mengangguk semangat. Ya iyalah, gimana gak semangat. Abi si ketua OSIS kan pacarnya.

"Lo juga harus kumpul!" katanya. "Gak pake alesan." Aku mencibir. Dasar, tau saja aku ingin bolos.

"Bang Sagara udah nunggu gue."

"Abang lo udah gue chat. Katanya dia bakal jemput lo di gerbang jam 5." Tuh kan, ngeselin. Aku mengerucutkan bibirku. Kesal dengan kelakuan dua orang ini.

Risma menarik tanganku, membuat mau tak mau aku ikut juga bersamanya. Aku membuang napas asal. Bisakah aku hilang meski sebentar saja?

"Jangan takut, lo bareng gue." Aku mengangguk pasrah. Sekarang memang bersama Risma. Tapi setelah rapat nanti Risma bersama Abi. Berdua, pacaran, di pojokan.

Kebiasaan Risma dan Abi. Padahal aku dan Iqbal tak pernah begitu. Kami profesional. Saat harus bekerja, kami bekerja. Saat waktunya istirahat kami istirahat. Tak pernah seperti mereka yang mencari kesempatan untuk bisa pacaran. Aku menghela napas berkali-kali. Merasa berat untuk masuk ke ruang OSIS.

Aku dan Risma memasuki ruangan bercat abu-abu dan putih itu. Aku tak berani mengedarkan pandanganku, takut bersiborok dengan mata Iqbal dan membuat luka itu kembali muncul. Tapi sepertinya Iqbal belum datang, belum ada 'aura' mengerikan yang menyapakaku.

Aku memilih duduk dekat jendela bersama Witan, si ketua divisi olahraga. Untung saja denah kursi dibuat menjadi huruf U. Jadi Iqbal gak akan duduk di depan ataupun di belakang. Apalagi di pinggirku. Kutatap Witan yang sedang menatapku lekat. Aku tersenyum ke arah lelaki itu.

"Kok gak bareng Iqbal?" Boom. Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Witan mampu membuat lukaku kembali terbuka. Aku menggeleng dan masih memamerkan senyum manisku.

"Udah enggak bareng dia." jawabku mencoba dengan suara tenang dan tak bergetar.

"Maksudnya?"

"Udah putus." Witan melebarkan matanya membuatku tertawa kecil.

"Kalian-"

"Iya, Witan. Kami putus. Udah ah Abi udah mau mulai." Witan mengangguk. Akhirnya aku bisa mengalihkan pembicaraan. Terimakasih Abi. Jika ketua OSIS bertubuh tegap itu tak datang mungkin Witan akan terus bertanya.

Kulihat Iqbal baru saja datang, bersama dua sahabatnya, Lutfi dan Aji. Aku memilih memfokuskan pandanganku kepada Risma yang sedang tertawa bersama Kadek.

"Oke guys. Kayaknya udah kumpul semua. Kita mulai aja rapatnya." Semua orang langsung duduk di tempatnya masing-masing. Dan sialnya Iqbal duduk menghadap ke arahku. Lelaki itu.

"Jadi, kita bakal ngadain kemping buat pelantikan pengurus OSIS baru. Lokasinya di daerah Puncak dan mungkin kita di sana buat seminggu."

Seminggu aku berada di satu lokasi yang sama dengan anak-anak OSIS. Berarti selama itu juga aku full bersama Iqbal. Biasanya aku paling senang, tapi sekarang, aku yang paling benci dengan semua ini.

Abi kembali berbicara. Dengan setengah hati aku mengikutinya. Aku hanya ingin segera pulang.

***

Satu jam, dan rapat masih berlangsung. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Mencoba mencari suasana baru. Mataku sudah bosan menatap Abi.

Tanpa sengaja tatapanku beradu dengan tatapan Iqbal. Lelaki itu menatapku? Sejak kapan? Kuperhatikan dia, namun buru-buru Iqbal palingkan pandangannya.

Aku juga kembali memperhatikan Abi. Sekarang Abi lebih penting. Selain karena aku akan merona, aku juga tak ingin semua pengumuman yang dia sampaikan bisa kuingat dengan baik.

"Num?" Aku berdehem. "Lo beneran putus sama Iqbal?" Aku menoleh ke arah Witan. Lelaki ini masih setia menatap Abi.

"Lo pikir gue becanda?" Witan menggaruk kepalanya. Membuatku menghembuskan napas.

"Dari tadi Iqbal liatin kita mulu." Aku mengerutkan keningku. Kemudian kulihat ke arah Iqbal. What the f*ck. Iqbal kembali menatapku?

"Sekarang kita undi buat panitia sama tugasnya." Aku diam, berharap tak sekelompok lagi dengan Iqbal.

"Semuanya ada yang dua orang, ada yang tiga orang. Soalnya kita ganjil." ucap Risma.

"Undian pertama buat bagian dokumentasi, ya."

Risma mulai mengundi. Ia mengocok kertas nama yang berada di tangannya. Dua kertas jatuh, buru-buru Abi ambil.

"Tugas untuk bagian dokumentasi jatuh ke Kadek sama Aji."

Risma melakukan undian seperti tadi. Terus begitu sampai semua nama tersebut. Hanya namaku, Iqbal, Risma, Abi, Lutfi dan Nadya yang belum terdengar.

"Nah sisanya tinggal Iqbal sama Hanum. Kalian jadi humas, ya?"

Mataku melebar. Aku dengan Iqbal? Serius?

"Kok gitu? Gak bisa dong." protesku.

"Udah profesional aja, Num. Lagian juga Iqbal paling seneng dapet bagian sama lo." Hih, seneng bapakmu. Lutfi bisa bilang begitu, karena dia gak tau apa yang aku rasakan.

Aku mengerucutkan bibirku. Sepertinya ini adalah skenario yang sudah ditulis oleh Risma dan Abi. Jika benar, lihat saja mereka berdua.

"Ya udah, gue siap." Aku menatap Iqbal tak percaya. Ck, kenapa sih lelaki itu? Kenapa gak protes juga?

"Oke karena pembagian tugas sudah selesai. Kita tutup rapat hari ini."

Akhirnya, rapat selesai. Abi menutup rapat, semua anggota OSIS keluar ruangan dengan semangat. Aku menghembuskan napas berat. Jika begini terus, bagaimana aku bisa move on dari lelaki berkumis tipis yang sekarang jadi mantan paling manis?

~~~

Part 2 nya jelek ya :(
Hehehe..
Lanjut jangan?
Vomment jangan lupa. Muach :'v

Again (Muhammad Iqbal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang