Rasa-rasanya matahari tak pernah semuram ini di langit Indonesia. Cahayanya sejak pagi hingga sesiang ini, melemah berwarna putih keperakan seperti tiram laut karena tertutup mendung. Sesekali suara gemuruh terdengar. Bukan di langit kali ini. Tapi di dalam dada milik seorang perempuan yang sedang berbaring di atas kasurnya sambil menatap layar hape dengan tatapan muram.
Sudah sejak seminggu lalu gadis berkulit kuning langsat dan berambut cokelat sebahu itu aktif memata-matai kegiatan mantan pacarnya di Instagram. Kecurigaannya sejak dua bulan lalu, terbukti. Pria yang amat dicintainya namun sangat ia benci saat ini, telah terbukti mengkhianatinya. Tidak tanggung-tanggung, pria itu berselingkuh dengan temannya sendiri.
Belati demi belati yang tertancap dalam di hatinya, ia terima tanpa tapi. Entah sampai kapan perempuan bernama Aruna itu mampu membawa kotak dengan tumpukan nyeri itu kemana-mana.
Aruna merasa mungkin selama ini ia salah. Dia lebih senang disibukkan oleh pekerjaannya sebagai wartawan dan penulis artikel lepas di sebuah majalah dan beberapa koran. Sampai-sampai ia tidak paham bahwa selama ini Rega kurang perhatian.
Aruna mencintai dunia literasi. Tapi andai Rega tahu, cinta Aruna pada Rega kadarnya lebih besar.
Perempuan berumur 26 tahun itu, kembali termangu di sudut kamarnya. Smartphone-nya ia jauhkan. Ia kembali menuding bahwa penyebab semua ini adalah deadline sialan dari editornya.
Sambil berbaring, ia menatap langit lewat jendela kamarnya yang besar dengan tatapan kosong. Mata Aruna yang sedikit sipit saat ini makin terlihat sipit. Hampir seminggu ia memilih menangis diam-diam setiap malam. Jika ditanya ibu dan ayahnya, ia berkilah sedang sakit mata karena kelilipan debu dari jalan waktu liputan.
Kali ini Aruna berencana mengambil cuti beberapa hari sampai ia merasa baik-baik saja. Akhir-akhir ini pekerjaannya banyak yang berantakan. Sempat kena semprot beberapa kali oleh atasannya, malah makin membuatnya down.
Dia tidak ingin Travelling kemana-mana sebab tahu kemanapun ia membawa hati yang terluka, tak akan pernah membuatnya baik-baik saja. Kecuali di atas sajadah, memeluk Al-Qur'an kemudian menangis sejadi-jadinya. Dia pun paham menjadi sang ahli tabah pun percuma. Move on karena patah hati itu tak akan pernah mudah.
Setelah ini Aruna ingin kembali lebih dekat dari biasanya kepada Sang Maha Sutradara Semesta. Ia ingin memahami maksud dan hikmah dari cobaan ini.
Aruna sadar bahwa hingga hari ini, sholatnya sering bolong-bolong dan lebih sering menunda-nunda. Banyak kualitas ibadah yang harus ia perbaiki, pikirnya. Aruna sangat paham kemana ia harus kembali.
Musim dingin ini tidak boleh berumur selamanya. Ia harus segera mengakhirinya. Walau harus menghadirkan kemarau ekstrim sekalipun untuk melawannya, tekadnya.
***
"Na, kamu nggak sarapan dulu?" Pekik seorang wanita paruh baya dari arah dapur.
Sambil mengikat tali sneakers putihnya di teras depan rumah, Aruna menjawab, "Nana diet, Buk."
"Gayamu. Biar apa? Badanmu itu udah pas, nduk. Mau diapain lagi, sih?" Kata ibunya berceloteh sambil mengaduk kopi hitam untuk suaminya yang sedang mengganti oli motor tua miliknya di halaman dekat teras rumah.
Ayah Aruna yang berkumis tebal melintir itu memandangi anak perempuan satu-satunya dengan tatapan memeriksa. "Na, kamu punya masalah?"
Aruna langsung nyengir. "Nggak ada, pak. Nana cuma butuh piknik. Kerjaan di kantor makin gila-gilaan. Bentar mau izin sama Pak Fuad kalo mau cuti. Udah lama juga Nana pengen ngumpul bareng Wendah sama Uci." Ujar Aruna berkilah.
"Moso?" Sergah ayahnya. "Bapak lihat kamu kayak orang baru patah hati."
Aruna terbahak. "Patah hati apaan. Hahahaha."
Dalam hatinya, "tahu darimana Bapak ini. Tahunya mereka 'kan, aku nggak pacaran."Ibu dan Ayah Aruna memang tak pernah melarang anaknya berpacaran. Namun mereka selalu mengatakan bahwa Allah tidak suka pada hambanya yang mendekati zina. Sudah ada larangannya. Kini Aruna pun terkena batunya karena berani melanggar nasihat orang tuanya.
"Yo wes, pak. Nana pamit dulu ke kantor bentar." Tukas Aruna buru-buru sambil memasang helm di kepalanya yang dibalut hijab biru muda pendek sebahu. Ia ingin segera mengalihkan pembicaraan sensitif ini.
"Iya hati-hati, nduk." Ujar ayah ibunya hampir bersamaan. Ibunya sudah terlihat membawakan secangkir kopi panas dengan uap menggoda hidung di sebelah ayah.
Aruna tersenyum. "Dasar jodoh." Komentarnya sambil mencium punggung tangan ayah dan ibunya.
"Oh ya, nggak bawa mantel atau jas hujan? Bentar lagi kayaknya mau hujan deras, nih." Kata Ibunya bernada khawatir.
"Siap, Buk. Udah ada di jok motor kok. Yaudah. Assalamu'alaikum." Pamit Aruna sambil sambil menghidupkan motor bebeknya.
Tak lama motor Aruna melaju dengan kecepatan sedang, membelah kota Balikpapan yang sudah tidak terlalu padat jika sudah mulai mendekati pukul 10 pagi. Jaket tebalnya terlihat berkibar-kibar belakangnya.
Langit makin terlihat gelap. Sesekali terdengar gemuruh petir dari kejauhan.
Aruna langsung menambah laju kendaraannya. Takut-takut akan kehujanan di tengah jalan.
Angin yang berhembus terasa lebih dingin dari biasanya. Tapi Aruna tak merasa menggigil sedikit pun. Entah karena jaketnya atau ada yang lebih dingin mengalahkan dinginnya cuaca akhir-akhir ini. Musim dingin yang sudah merumah di dadanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Hujan dan Perempuan Kemarau
General FictionSeorang perempuan yang membawa banyak trauma di ingatannya. Pembenci segala hal yang berbau hujan. Namun semesta justru malah berkelakar tentang apa yang tak ada dalam kosakata musim. Bagaimana pun juga kemarau harus bertemu dengan hujannya. Akankah...