Bab II : Kedai Teduh

2.2K 124 9
                                    

"Bukan salahku! Aku begini gara-gara kamu!" Bentak Rega. "Tiap kali aku minta waktumu khusus fokus untuk aku, kamu selalu bilang yang nanti-nanti lah, bentar dulu lah, masih sibuk lah!"

Pria berambut gondrong yang sudah menjalin hubungan dengan Aruna sejak setahun yang lalu itu, akhirnya sudah berani memperlihatkan taringnya. Ia lelah harus terus menutupi banyak kebohongan yang dibuatnya sendiri.
Mau tidak mau ia harus mengakui bahwa Aruna tidak cukup membuatnya bahagia. Hati Rega telah ditutupi sosok indah Lusi yang sudah tiga bulan lalu mencuri hatinya. Padahal Rega sangat tahu bahwa Lusi adalah teman Aruna sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku SMA.

"Lihat dia. Dia selalu punya waktu untuk aku!"tambah Rega lagi sambil menggenggam tangan Lusi erat. Lusi adalah perempuan manis bertubuh langsing dan menggemaskan seperti gadis Korea. Wajahnya yang polos dan lugu bahkan bisa membuatmu tak percaya kalau dia bukanlah tipe wanita perebut.

Lusi hanya menunduk. Tak ingin melihat Aruna yang sedang menatapnya nanar.

Di antara deru angin jalanan, tiba-tiba air mata Aruna merembes melewati pipi. Ia masih teringat bagaimana Rega membentaknya setelah sekian lama bersikap dan bermulut manis di depannya. Teringat lagi bagaimana Rega yang ia percaya, tega membohonginya selama ini. Namun yang lebih membuatnya perih adalah, mengapa perempuan itu harus Lusi?

Lusi bertemu dengan Aruna saat menjadi teman sekelasnya waktu kelas 2 SMA. Pernah cukup dekat waktu semester genap, namun begitu kenaikan kelas 3, mereka tidak terlalu dekat lagi. Sebab Aruna berganti akrab dengan Wendah dan Uci yang sama-sama berkecimpung di ekskul jurnalistik. Mereka bertiga adalah kutu buku akut.

Perlahan Lusi pun sedikit terlupakan waktu itu.

Tidak lama kemudian, tak hanya pipinya yang basah. Dari mulai helm hingga ujung sepatu miliknya pun ikut basah. Aruna makin tersedu. Rupanya langit ikut menangis. Seakan ia tak rela jika Aruna harus menangis sendirian.

Suara guntur makin jelas terdengar mendekat. Akhirnya mau tak mau Aruna harus mencari tempat berteduh terdekat untuk segera memakai jas hujan sebelum semuanya makin basah kuyup.

Motornya mulai melipir ke kiri jalan. Lalu tiba-tiba mata Aruna tercuri oleh pemandangan menakjubkan di depannya. Ia tertegun melihat sebuah kedai sederhana tidak terlalu besar yang di sekitarnya sedikit rimbun ditumbuhi pohon-pohon. Dibawahnya ditumbuhi rumput gajah dengan susunan batu-batu kerikil memanjang rapi menuju tempat parkir yang lokasinya di samping kedai. Sementara di sisi kanan depan kedai itu tumbuh sebuah pohon bintaro yang rindang. Salah satu dahannya yang paling rendah dan kokoh dijadikan gantungan plang bertuliskan 'Kedai Teduh'.

Seketika Aruna pun mengurungkan niat untuk memakai mantel hujan miliknya.

Selain kopi, ada sesuatu yang entah. Seperti magnet. Seperti ada yang menariknya ke arah kedai berdinding kayu dengan nuansa vintage itu. Sebuah perasaan hangat yang entah - mirip sesuatu yang berhubungan dengan rumah.

***

Suara derap kaki-kaki hujan makin terdengar merdu waktu jatuh di atas genteng tanah liat kedai itu. Aruna pun tergopoh-gopoh masuk ke dalam kedai itu sambil menenteng tas ransel yang berisi buku catatan dan laptopnya.

Aruna kembali tertegun. Kali ini dari depan pintu, matanya langsung sibuk menyusuri tiap sudut ruangan yang ternyata dari dalam cukup terlihat luas.

Hidung Aruna kemudian disambut oleh aroma uap kopi yang pekat. Mata Aruna pun langsung mencari-cari tempat ternyaman untuk dia duduk termenung sambil menyesap kopi menunggu hujan reda.

Di dekat pintu masuk terdapat meja bar panjang berbahan jati belanda, yang di atasnya tersaji puluhan toples berisi biji kopi utuh dengan berbagai jenis, berjajar rapi di sebelah mesin penggiling, mesin penyeduh kopi dan mesin kasirnya. Tidak jauh dari meja bar, tersusun rapi meja dan kursi berbahan kayu jati yang sepertinya sengaja didesain sealami mungkin mengikuti bentuk awal pohon tersebut dipotong. Hanya diratakan tanpa diplitur. Kursinya pun terbuat dari batang pohon yang sama. Hanya saja diameternya lebih kecil.

Tak menunggu lama, Aruna sudah menemukan tempat dimana ia harus duduk. Tapi dia harus menuju meja barista terlebih dahulu sekarang.

Perempuan bertubuh semampai agak berisi itu mungkin sedang tidak sadar bahwa sembari dia celingak-celinguk sedari tadi, ada seseorang yang terus memperhatikannya diam-diam, bersembunyi di balik mesin penggiling kopi. Bukan karena Aruna yang terlihat acak-acakan. Namun pria itu sendiri tak mengerti mengapa matanya selalu tertuju pada rupa gadis yang kini berdiri tak jauh darinya itu.

"Tundukkan pandanganmu, Jan. Kamu nggak sopan!" Pekiknya dalam hati.

Sedetik kemudian Aruna menatapnya. Pria itu salah tingkah kemudian. Agak lama, baru dia bisa menguasai diri kembali.

Aruna mengernyitkan dahi. Bingung.

"A...ada yang bisa dibantu? Ma...maksudku mau pesan apa, Bu eh, Mbak?" Tanya pria berambut hitam dengan potongan pendek dan rapi itu dengan agak terbata.

Dalam hati ia memekik lagi. "Seriusan, Jan? Bu? Kamu ini kenapa? Bikin malu. Seperti baru bertemu perempuan saja. Lihatlah dia. Dimana letak menariknya?"

Ekspresi wajah Aruna sedikit berubah.
"Emang aku kayak ibu-ibu, ya?" Keluhnya dalam hati.

"Arabica Gayo Vietnam drip tanpa susu, ya." Jawab Aruna ramah dengan senyum. Dia pikir barangkali dengan begini dia bisa lebih terlihat muda agar tidak dipanggil 'Bu'.

Tapi sungguh. Kali ini senyumnya agak dipaksakan.

Penampilan Aruna hari ini cukup berantakan. Wajahnya pucat tanpa make-up. Biasanya dia pakai liptint meski cuma tipis. Jilbabnya miring sedikit kusut dan setengah kebasahan. Juga jaket kebesaran yang terlihat sama mengenaskannya.

"Hujan." Ujar barista itu tiba-tiba. Lagi-lagi ia memandang Aruna dengan ekspresi tertegun.

Aruna memasang tampang bingung lagi.
"I...iya. Ini sedang hujan." Balas Aruna agak tidak mengerti.

Pria itu langsung nyengir. "Maksud saya kenalkan nama saya, Hujan. Pesanan mbak akan segera siap dan akan saya antarkan sebentar lagi."

"Hujan?"

"Iya."

"Baiklah."

"Eh...jika butuh sesuatu, jangan sungkan untuk memanggil saya." Tawar pria yang bernama Hujan itu. Senyumnya mengembang. Antara ramah dan berniat tebar pesona.

"Oke sip." Balas Aruna sekenanya langsung berlalu pergi tanpa memperhatikan wajah Hujan yang sengaja dibuat semanis-manisnya.

Dengan terburu-buru, Aruna segera menuju meja paling ujung dekat jendela besar yang dari sana terlihat pemandangan lembah menakjubkan. Sekumpulan pepohonan Pinus yang membentang membentuk setengah lingkaran, memeluk danau buatan berwarna kehijauan. Namun semuanya terlihat samar karena benang-benang hujan dan tetesan-tetesannya yang menempel di jendela.

Sementara itu dari balik meja bar, seorang pria bernama Hujan malah terlihat keki setengah mati. Dari belakang tiba-tiba terdengar suara terkekeh. Seorang pria bertubuh tambun dengan kulit putih kemerahan keluar dari ruang dapur.

"Tumben. Pesonamu kemana, mas bos? Hahaha" ejek pria tambun itu.

"Tutup mulutmu." Dengus Hujan sambil menyeduh kopi pesanan Aruna. "Ini gara-gara Reza yang telat dateng, nih. Jadi aku kan repot begini."

"Mas bos, it..."

"Kamu bisa nggak untuk sementara ini kalo ada mbak-mbak yang tadi jangan manggil saya begitu? Panggil Hujan aja." Pintanya.

"Oke siap, Mas Hujan." Jawabnya sambil mengacungkan jempolnya. "Oh ya Mas bos eh Mas Hujan, biasanya suka banyak cewek-cewek yang kesengsem begitu lihat..."

"Bud, kamu jagain sini dulu. Saya mau nganterin pesanan mbak yang di sana." Potong Hujan.

"Oke, Mas bo...Hujan." ujar pria muda berpipi tembem dengan nama Budi itu sambil nyengir.

Hujan terlihat sangat bersemangat melangkahkan kaki keluar dari meja bar menuju tempat Aruna yang sedang melamun melihat keluar jendela.

***

Lelaki Hujan dan Perempuan KemarauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang