"Ya Allah, maafkan hambaMu yang tidak tahu diri ini, yang sudah tahu jika itu salah dan membuatMu murka, namun masih saja hamba lakukan." Ucap Aruna lirih sambil terisak. Tangannya terlihat menengadah dengan sedikit gemetar. Wajahnya tertunduk dengan pipi membasah.
Saat itu, saat hampir separuh bumi sedang dininabobokan suara serangga malam, Aruna bersujud lebih lama dari biasanya. Ia merasa bahwa cobaan ini adalah teguran untuknya. Allah masih sangat menyayanginya dengan mematahkan hatinya sepatah-patahnya agar dia memahami bahwa beginilah cara Allah menjauhkannya dari dosa atau mungkin beginilah caraNya menunjukkan bahwa Rega bukan orang yang terbaik untuknya.
Sejak setahun yang lalu, adalah kali pertama Aruna menjalin hubungan cinta yang biasa orang sebut dengan pacaran. Aruna sudah tahu jika itu kelak akan menyeretnya mendekati zina tapi ia telah buta saat itu. Buta tertutupi oleh cintanya kepada Rega.
Sebenarnya Rega adalah teman satu kelompok teater Aruna waktu jaman kuliah dulu. Sudah sejak saat itu juga Aruna menyimpan rasa kagumnya pada Rega yang nyentrik dan populer karena rambut gimbalnya juga kepiawaiannya dalam memainkan seni peran dan dalam mengatur panggung.
Rega adalah ketua kelompok teater kampusnya yang cukup teruji dan berkualitas. Terbukti kalau kelompok teater mereka sering dipakai dimana-mana. Tiap kali kota ini merayakan ulangtahunnya, kelompok teater Rega selalu diundang untuk mengisi acara.
Selang setahun kemudian setelah kelulusan, mereka berdua dipertemukan kembali dalam acara reuni akbar khusus jurusan Hubungan Internasional tahun angkatan 2013-2016. Cinta Aruna pada Rega yang waktu itu belum surut sedikitpun. Ditambah lagi rupanya Rega telah diam-diam menyimpan rasa kagum pada Aruna yang telah menggapai cita-citanya sebagai seorang jurnalis. Sementara Rega sendiri adalah seorang sales marketing otomotif.
Sejak reuni itu, mereka berdua terlihat makin dekat dan semakin dekat. Ditambah lagi banyak teman-teman grup WhatsApp yang mendukung hubungan mereka. Hingga pada akhirnya di suatu hari yang dingin, Rega pun menyatakan cinta pada Aruna saat mereka berteduh bersama di sebuah komplek pertokoan karena hujan deras.
Aruna yang sempat diliputi rasa ragu, mau tak mau luluh di bawah jaket milik Rega yang digunakan untuk memayunginya agar tidak terkena tempias hujan. Saat itu wajah Rega dan Aruna berdekatan. Aruna memilih pasrah. Ia membiarkan ciuman pertamanya dimiliki oleh Rega. Pria yang ia cintai bertahun-tahun lamanya.
Sejak saat itu, Aruna selalu suka dan bahagia bila hujan turun. Mulai dari bunyi rintiknya, aroma petrichor hingga kenangannya dengan Rega, beradu menjadi satu.
Namun kini sejak ia dipatahhatikan begitu hebat oleh seorang pembawa kenangan hujan itu, Aruna langsung merasa jengah tiap kali turun hujan. Ia benci hujan.
***
"Lusi?" Pekik Wendah.
"Biasa aja. Aku sih sudah menduga kalo tuh emang anak manis di depan doang. Tapi busuk di belakang." Cerocos Uci lalu dilanjutkan menyeruput kopi latte yang uapnya masih mengepul.
Saat ini Aruna bersama dengan dua sahabatnya yang akhirnya bertemu lagi di kantin sekolah mereka dulu. Selain ingin bernostalgia, di kantin ini mereka bebas makan enak sebanyak apa pun dengan harga terjangkau.
"Nah, sekarang jangan coba-coba lagi ya menjalin hubungan macam begini. Bukti cinta sebenarnya cuma lewat pernikahan, cantik." Omel Wendah sambil mencubit pipi Aruna gemas.
Wendah adalah perempuan berparas ayu berdarah Arab. Suka memakai gamis dan jilbab syar'i kemana-mana. Di antara mereka bertiga, Wendah lah yang sudah menikah duluan. Anaknya sudah satu dan sudah sekolah di taman kanak-kanak. Dulu sebelum menikah, Wendah penulis artikel sebuah majalah religi Islam di Jakarta.
Sementara Uci adalah katolik yang taat. Perempuan Toraja berkulit sawo matang nan manis. Rambutnya ikal sebahu. Wanita pecinta style etnik yang cinta mati dengan Indonesia. Kegemarannya adalah Travelling keliling Indonesia dari hasil memotret. Uci adalah seorang fotografer media cetak dulunya dan terikat oleh media cetak tersebut. Tapi kini ia bebas. Hasil jepretannya sering dibeli oleh media koran, majalah dan bahkan media digital kelas dunia untuk didokumentasikan dan dipamerkan.
"Aku aja sampai sekarang jomblo lho." Ujar Uci bangga.
"Kamu sih saking sibuknya jalan-jalan, Ci." Imbuh Wendah geli.
"Gimana kalo kita jalan-jalan?" Ajak Uci sumringah.
Aruna menanggapi dengan lesu.
Sementara Wendah langsung sewot "Suami sama anakku gimana, Ci?"
"Oh, iye." Kata Uci sambil menepuk jidat. "Duh kapan ya bisa nikah juga?" Ia langsung memonyongkan bibir.
"Yaudah, yuk ke rumahku. Ntar kita nonton film sambil ngemil bareng, deh." Ajak Wendah.
"Lah, Mas Bambang kemana, Wen?" Tanya Uci.
"Doi ke luar kota. Ngurus proyek." Jawab Wendah. "Aku di rumah cuma bareng Fatimah."
Fatimah adalah putri semata wayangnya Wendah.
Akhirnya malam itu Aruna, Uci dan Wendah pun menginap bersama di rumah Wendah. Sementara Fatimah tidur sendiri di kamar ibunya, mereka bertiga tidur di ruang keluarga. Tepat di depan televisi. Mereka asyik sekali bercakap-cakap yang sesekali terdengar suara Aruna terisak.
Aruna tahu ini tak akan lama. Ia sudah paham bagaimana polanya. Dari buku-buku yang pernah ia baca, alur patah hati seseorang memang harus diawali dengan tangis. Ia akan jadi makhluk secengeng-cengengnya di atas sajadah, menjadi makhluk paling sok kuat di depan ayah bundanya dan menjadi seorang paling manja semanja-manjanya di depan sahabatnya.
Hingga malam mulai kian renta, saat Wendah dan Uci sudah lebih dulu terlelap, Aruna yang masih terjaga sendirian langsung bergegas menuju tempat wudhu. Ada yang harus ia tunaikan. Ada resah yang harus ia lenyapkan.
***
Hari ini adalah cuti hari pertama Aruna. Tepat tanggal 3 Juni 2018, dimana hujan sedang jatuh sejatuh-jatuhnya tanpa mau peduli apakah Aruna butuh vitamin-sea atau kekurangan piknik.
Sudah sejak subuh tadi Aruna pamit pulang dari rumah Wendah. Aruna ingin sendiri dulu sejenak.
Aruna kini termangu sendiri di sudut kamar. Sesekali ia membuka buku yang pernah ia beli dulu. Karangan Sapardi Djoko Damono, berjudul Hujan Di Bulan Juni.
Ia membatin. "Huft...sekarang aku harus bagaimana, Rega? Aku ibarat anak ayam yang kehilangan tantenya. Eh, ibunya. Kenapa kamu setega itu? Entah sampai kapan aku sanggup mengenyahkanmu dari kepala?"
Aruna lalu melirik angka arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Menjelang pukul 9 pagi. Lalu ia alihkan lagi pandangan keluar jendela. Aruna melihat perlahan hujan yang tercurah dari langit berangsur-angsur berkurang rinainya. Namun begitu tetap menyisakan gerimis.
Bisanya pagi-pagi begini, selalu ada secangkir kopi yang biasa iaseduh lalu dihidangkan saat uapnya masih mengepul sambil bertukar kata lewat pesan dari Rega. Rega selalu rutin mengirimkan pesan selamat pagi dan mengingatkan untuk tidak lupa sarapan. Tapi kini...
"Karna engkau tlah jadi miliknya
tak sepantasnya diriku merenggutmu dari cintanya" gumam Aruna bersenandung lirih.Gerimis masih turun, kali ini diiringi sapuan angin hingga merontokan daun-daun pada dahan pepohonan di sekeliling pekarangan rumah Aruna yang tak terlalu lebar itu. Bulu kuduknya meremang sesaat karena tersapu hawa dingin. Mungkin ia harus menghapus harapannya lagi pagi ini. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Menghapus harap yang kerap kali menginginkan kehadiran Rega demi secangkir kopi. Demi menemuinya. Dan rasanya mengharapkannya pagi ini sama seperti meminta bumi berhenti mengedari matahari. Ya, seperti itu barangkali.
Aruna menarik nafas dalam-dalam. Berharap resahnya akan berkurang. Tapi sia-sia. Ia harus keluar rumah sekarang. Entah kemana ia tak peduli yang penting kepalanya bisa terkena angin. Pikirnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Hujan dan Perempuan Kemarau
General FictionSeorang perempuan yang membawa banyak trauma di ingatannya. Pembenci segala hal yang berbau hujan. Namun semesta justru malah berkelakar tentang apa yang tak ada dalam kosakata musim. Bagaimana pun juga kemarau harus bertemu dengan hujannya. Akankah...