Bagian 1.5

3K 152 3
                                    

Dominic mengentuk pintu beberapa kali, malam hampir berlalu. Hanya tinggal menunggu matahari untuk memancarkan sinarnya, tak berapa lama pintu kayu itu terbuka. Menampilkan sosok pria tua dengan wajah lelah menghiasi wajahnya.

Ia sedikit terkejut karena melihat wajah Dominic yang terlihat acak-acakan dan Eve dalam gendongannya, lalu pria itu memutuskan menunggu penjelasan dari pria asing didepannya.

"Maafkan kami menganggu anda, bolehkah kami beristirahat sejenak?" sahut Dominic menjaga suaranya agar tetap pelan.

Pria tua itu tanpa bicara apapun segera mempersilahkan kedua tamu asingnya itu, ia dengan terburu segera menutup pintu setelah Dominic masuk.

Eve ditidurkan diatas kursi panjang, kepalanya disandarkan dipangkuan Dominic. Gadis itu terlihat kelelahan, dengan jejak air mata masih terlihat dikedua matanya. Wajah Dominic pun tidak jauh berbeda dari gadis itu, wajah lelah menghias wajah Dominic karena memacu kudanya selama empat hari empat malam.

"Akhir-akhir ini banyak terjadi kerusuhan karena pemindahan kekuasaan, jadi bagaimanapun aku sedikit berhati-hati menerima orang asing. Tapi sepertinya, kalian berdua bukan terlihat seperti orang jahat." pria tua itu mengangsurkan sup hangat kepada Dominic, suaranya serak sarat akan umurnya yang sudah hampir setengah abad.

Dominic mengambil sup itu, menyuruputnya sebentar lalu tersenyum penuh terimakasih. "Aku sebenarnya seorang prajurit biasa, dan aku sepertinya terkena imbas kerusuhan itu." ucap Dominic memulai ceritanya, "rumah-rumah didesa kami dibakar dan hanya aku dan anaku yang bisa lari dari kerusuhan itu.

"Beruntung aku sedang mendapat jatah libur, sehingga kami bisa selamat." Dominic mengakhiri cerita karangannya, sembari menyeruput sup hangatnya.

Dalam empat hari ini ia hanya memakan tumbuh-tumbuhan yang dapat ditemukan disekitar hutan, jika sedang beruntung pria itu menemukan hewan hutan untuk penunjang hidup.

"Tinggalah didesa ini dan panggil aku kakek Yao," ucap pria itu sembari tersenyum lembut. "Istirahatlah dahulu disini, kalian pasti melewati perjalanan yang berat."

🌺🌺🌺

Eve secara perlahan membuka matanya, lalu perlahan-lahan sakit kepala menyerangnya. Tubuhnya terasa kaku dan sakit ketika digerakan, sepertinya ia kelelahan hingga berimbas pada tubuhnya yang terbiasa mendapatkan kemewahan.

"Tidak perlu bangun dulu nona," Dominic berucap pelan sembari membawa nampan dengan semangkuk sup hangat, ikan goreng dan semangkuk nasi.

Perut Eve seketika berbunyi melihat itu semua, sudah empat hari ia tidak memakan makanan yang layak. Ia tidak bisa mengeluh karena merasa kasihan kepada Dominic yang berkorban menyelamatkan nyawanya, ia sudah sangat dekat ketika pria itu belum diangkat menjadi Jendral.

Pria itu melangkah cepat, menaruh nampan makanan dan membantu Eve untuk duduk. Tatapannya berubah sendu ketika menatap gadis didepannya, Eve menjadi sedikit kurus dan yang paling berbeda adalah kedua bola netra hitam yang biasanya bersinar. Kini menjadi redup.

"Kita berdua akan menyamar dan memulai kehidupan kita yang baru, tidak ada lagi Istana, tidak ada lagi kemewahan, tidak ada Jendral, dan aku akan menjadi ayahmu. Panggil aku Ayah nona, dan aku akan memanggilmu tanpa embel-embel nona." jelas Dominic dengan wajah serius, Eve menatap bola mata mantan Jendral ayahnya-yang dilepas oleh Dominic sendiri.

Warna biru Dominic dulu adalah warna favoritnya, kini mata biru itu adalah salah satu warna keberuntungannya. Karena Dominic ia masih bisa bertahan hidup, karena Dominic ia bisa kembali melanjutkan hidup.

"Baik ayah," sahut Eve pelan merasa pahit ketika menerima kenyataan ini.

Pria itu tersenyum puas, kemudian ia menyuapi Eve dengan makanan yang ia bawa karena gadis itu masih sulit untuk menggerakan tubuhnya. "Setelah ini engkau harus mengganti pakaianmu, kita harus memulai beradaptasi."

Eve mengangguk ketika makanan terus disuapi kemulutnya, air mata menetes dari kedua netra hitamnya. Tak lama menetes Eve akan menghapusnya, ia merasa sangat lemah. Ia merasa satu-satunya cara hidup adalah dengan menggantungkan diri kepada Dominic, dan ia membenci itu.

Ia tidak membenci Dominic, melainkan lebih kepada dirinya sendiri. Melihat gadis itu menangis, mengetuk sisi lembut hati Dominic. Ia menaruh nampan makanan itu di meja terdekat lalu memelul Eve, gadis itu terasa mungil di pelukannya.

Dominic mengelus rambut Eve untuk menenangkan gadis itu, "tidak apa-apa nona, saya yakin kedua orang tua anda sudah tenang karena anda selamat. Tenang saja, saya akan melindungi anda apapun yang terjadi.

"Tidak perlu takut, karena tidak akan ada yang bisa menyentuh anda barang sekalipun. Saya Dominic Ken berjanji akan melindungi anda sampai saya mati."

🌺🌺🌺

Seperti yang Dominic katakan, tidak akan ada kemewahan. Eve memakai kain dengan sutra kualitas terendah, bahannya kasar ketika di sentuh. Serta tipis dan mudah robek, Eve tidak akan mengeluh. Ia gadis kuat.

"Engkau terlihat pantas memakai itu anaku." Dominic bersuara dibelakangnya.

Eve menoleh sejenak, netra hitamnya tidak seterang dahulu lagi. Namun tidak masalah, itu lebih baik daripada melihat Eve dipenggal oleh pedang yang tajam atau ditembaki oleh senapan bising yang memekakan telinga.

Biasanya Eve akan membalas dengan lelucon konyolnya, dengan alih-alih akan membuat Dominic jendralnya kesal. Di Istana Eve memang tidak pernah punya teman, karena tidak ada anak yang seumuran dengannya.

Maka dari itu ia akan merecoki Dominic ketika pria itu sedang terlihat senggang, tak ayal Dominic kesal. Namun sepertinya ia cukup rindu dengan momen-momen itu, karena saat itu Eve bisa tertawa dengan ceria, bisa bergerak dengan lincah. Tapi sepertinya memang semua sudah berubah, bahkan Eve tidak akan sama lagi seperti dulu.

Eve hanya tersenyum kecil dan mengangguk, gadis itu tahu. Pujian itu ditujukan untuk menghibur hatinya, tenang saja ia tidak akan balas dendam karena ia tau tidak akan artinya. Seperti ia mengantarkan nyawa ketika diselamatkan, dan itu bodoh. Eve bukan gadis bodoh.

Seperti kata Dominic ia akan meninggalkan segalanya tentang Istana, namun tidak melupakannya karena berarti ia juga melupakan ayahanda dan ibundanya yang sudah berkorban. Eve akan menjalani hidup dengan baik seperti yang diperintahkan kedua orangtuanya, tenang saja Eve tidak akan balas dendam. Tidak akan..

Eve mengeratkan kepalan tangannya, ia tidak ingin balas dendam tetapi dendam seolah bergumul dalam hatinya meminta dilepaskan.

Sebuah tangan mengelus kepalanya, wajah keriput itu menyunggingkan senyumnya. Matanya terlihat menyipit ketika tersenyum, ia terlihat seperti sesosok ayah sesungguhnya.

"Tenang sana, nak. Disini aman, tidak ada yang menakutkan." suara pria tua itu bergema halus dalam kepala Eve.

"Anda siapa?" tanya Eve pelan, namun ia tidak merasa terancam karena perlakuan pria tua ini.

Kakek Yao kembali tersenyum "aku Yao Shulian, panggil aja aku kakek Yao." senyumnya kembali mengembang, dan senyum itu menular kepada Eve hingga gadis itu ikut tersenyum.


To Be Continued..

Kembali lagi bersama Sana, saya ini anak SMA lhoo :v ada yang tau SMA 28, kalo ada halooo :v kalo ga ada haloo juga :v (apa sih San)

Gimana chap satu suka? Klo suka silahkan klik bintang klo ngadep sebelah kiri kalo hapenya kebelakang sebelah kanan :v dikutip dari salah satu komentator wkwk :v

Happy Reading..

Sana




The Devil Want MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang