Prolog

98 11 1
                                    

Perkenalkan, Mouzara Xalovea Abrar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perkenalkan, Mouzara Xalovea Abrar.

Bagi seorang Mouzara hidupnya cukup rumit sehingga ia tidak butuh orang lain menambah kerumitan dalam setiap langkahnya. Pernah merasakan kelam mencekam membelenggu raga juga hati ketika orang terkasihnya kembali pada Tuhan tanpa menyertakan dirinya merupakan pukulan terberat yang pernah ia emban. Terlebih. Lingkungan berperan besar dalam menciptakan jati diri tak tersentuh kini.

Semua orang merasa paling benar berhak mendekrit seolah apa yang mereka raungkan sejalan dengan pikirannya. Sayangnya Mouzara tidak seperduli itu sehingga harus merasa perlu melakukan kata manusia tak peka di bumi ini.

Ini jalan hidupnya dan manusia mana pun tak berhak atas skenario yang ia inginkan walau tetap tuhan adalah sutradara tetapi hanya dirinya yang berhak akan kemana ia menuju.

Tarikan pada gelas kristal membuat Mouzara menggeram menatap datar sosok yang kini meraung kesal padanya. "Hentikan. Ini sudah gelas ke sekian! Kau bisa membunuh dirimu." Apa Moza perduli? Tidak. Ia ingin minum sampai tidak bisa bangun lagi selamanya. Jika ia bisa menghilang saat ini maka dengan senang hati akan ia lakukan itu. Menyakitkan rasanya berada dalam kubang luka tiada akhir.

Sosok itu menarik Moza bangun dari sofa di tempatnya memapah membelah lautan manusia yang tengah menggila melepas dahaga pada dunia penuh kelam.

Moza menggeliat berusaha melepas rangkulan di tubuhnya namun sia-sia karena tubuhnya lemah tak berdaya sama dengan derai air mata yang kini mengalir bak darah membasuh luka tak kasat mata. Ironis. Padahal ia tidak lagi ingin mengenang peristiwa itu tapi bagai tuhan sengaja membuat dirinya di hukum sedemikian rupa tanpa merasa lelah padahal Moza sudah menyerah pada dunia.

Berapa ribu kali cara agar hidupnya berakhir tapi lagi-lagi harus berakhir pada kenyataan dia masih bernafas dalam detak nyata.

Di area pribadi sosok itu menempatkan Moza di sofa lalu pergi entah kemana meninggalkan Moza dalam kepedihan mendalam.

Samar-samar ia melihat kekasih yang kini telah berpeluk surga kini menyapa membuat Moza mengulurkan tangan minta di dekap tapi hanya angin di jangkauannya. Sosok itu makin menjauh dan semakin jauh. Moza menjerit berusaha menggapai tapi tak mampu. Lantas ia meraih botol di meja membantingnya ke segala arah sambil terus menjerit kesakitan.

Jemput aku mom, jemput aku. Di sini dingin. Lirihnya. Lalu kelam menenggelamkan dirinya.

Sosok tadi kembali lalu segera membopong Moza ke ranjang meletakan dengan hati-hati seolah tahu manusia di pelukannya seringkih kaca jika di sentuh akan pecah berkeping-keping.

Sosok tinggi tegap juga paras menawan memandang wajah Moza yang penuh derita dengan perasaan pedih.

"Apa begitu sakit? Sampai dalam mimpi pun kau menangis seperti ini?" Ia menyeka setitik air mata yang mengalir di sudut mata Moza.

Ruangan itu tampak di penuhi orang-orang berbahagia karena sang putri akhirnya berulang tahun yang ke dua puluh di temani kekasih tercintanya yang sejak di kandungan mencintainya tanpa syarat.

"Happy birthday, love. Mom harap kamu selalu meraih seluruh yang kamu impikan. Mom akan terus bersama mu karena kamu adalah cinta terbaik mom." Wanita tinggi semampai tersebut mencium keningnya penuh rasa cinta membuncahkan hati Moza mendekap sang belahan jiwa.

"Thanks, mom. Moza hanya mau mom selalu sama Moza. Bagi Moza mom adalah cinta terbaik yang akan selalu Za jaga. I love you mama."

Rasa hangat melingkupinya ketika dekapan di tubuhnya makin erat.

"Jangan takluk pada dunia, Za. hadapilah. Hiduplah dengan baik untuk mom."

Dia terbangun dengan peluh membasahi tubuh lalu menunduk memeluk lutut merasa sakit teramat sangat di dada.

Isak seolah menjadi bukti betapa pedihnya kehilangan cinta juga rumah untuk bernaung.

Kilat jua kegigihan terpancar dari netra secerah Almond dalam hati Moza berjanji akan hidup dengan baik dan membalas rasa sakit yang di deritanya.

"Za, janji mom akan membalas mereka beribu kali lipat dari apa yang kita terima. Ini sebuah sumpah yang akan aku emban walau harus bertaruh nyawa." Tekatnya mengepal kuat hingga kukuh menancap dalam daging membiarkan cairan pekat berbau besi mengalir dari kulitnya.

Ia beringsut turun dari kasur membiarkan dinginnya lantai membelai kulitnya berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia harus pergi ke suatu tempat sebelum semua rencananya di mulai. Pembalasan ini akan mengurus tenaga jadi lebih baik ia membuat rencana matang terlebih dahulu.

Selang beberapa saat mobil yang di kendarai olehnya berhenti di depan sebuah gudang tua terbengkalai yang sekali lihat saja orang-orang akan berfikir seribu kali untuk datang ke tempat ini. Namun Moza tidak perlu seperti itu karena kelam malam sudah berteman akrab dengannya. Ia dan kegelapan adalah satu ke satuan.

Kaki jenjangnya melangkah memasuki area kotor, kumuh, juga berdebu itu. Semua tampak Reok jika di lihat dari luar namun semakin kedalam akan semakin tampak perbedaan nyata. Apa yang terlihat di depan sangat kontras dengan yang kini ada di hadapan Moza.

"Kau datang?" Sosok itu berdiri menyambut kedatangannya. Moza mengangguk mengambil tempat di sofa hitam yang tersedia di sana.

"Ini yang kau cari." Dia meletakan beberapa botol bening kecil berukuran 6 ml berisikan cairan berwarna kuning emas. "Milikmu sudah siap tinggal kau ambil di tempat Logan." Moza tidak menyahut dan hanya meneliti botol cairan di tangannya.

"Dosisnya akan langsung mati kan?" Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya membuat pria bertatto di depannya terkekeh.

"Sure, itu sudah pasti. Kau tidak sedang meragukan aku soal itu kan?"

Moza mengalihkan matanya dari botol pada pria di depannya. Satu alisnya terangkat seolah mengatakan. Kau bercanda? Pria itu mengibaskan tangan.

"Jangan melihat ku seperti itu, kau seperti ingin melubangi Kapala ku."

"Aku mau tapi bukan sekarang."

Pria di depan Moza hampir tersedak ludahnya sendiri. Dia menatap horor pada Moza yang masih menampilkan raut datar miliknya.

"Kau memang kurang waras." Decaknya meradang.

Mouzara (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang