Coffe Latte

1.5K 191 61
                                    

Segelas iced americano ukuran medium, segelas iced covalzenut, segelas mojito, sepotong matcha short cake dan enam donat mini dengan berbagai varian topping diatasnya, sudah tersaji hingga memenuhi salah satu meja di sudut cafe. Ketiga wanita usia pertengahan 30-an memandang takjub. Bukan takjub pada banyaknya menu yang secara tidak sadar mereka pesan –porsi yang cukup untuk membuat jarum timbangan bergeser ke kanan— terlebih mereka takjub pada ketampanan pegawai baru yang mengantarkan pesanan mereka.

"Selamat menikmati."

Pegawai baru yang secara tidak sengaja menjadi daya tarik Almond Tree Cafe tersenyum tipis, lalu meninggalkan ketiga wanita yang masih belum bisa melepaskan pandangan kagum darinya.

Gosip yang mereka dengar di kantor tentang salah satu cafe dengan pelayan tampan di daerah Hoegi-dong benar adanya. Mereka akui semua pegawai di Almond Tree Cafe memiliki paras diatas rata-rata. Namun yang paling menonjol diantara semuanya adalah lelaki dengan nametag 'Jeon Wonwoo'.

Lelaki dengan sepasang manik rubah, rambut hitam kelamnya, kemeja putih yang lengannya ia gulung hingga siku, celana bahan hitam yang tertutup apron berwarna tawny dari pinggang hingga setengah pahanya, sepasang converse birunya –lebih tepatnya steel blue— dengan tinggi rata-rata lelaki seusianya membuatnya tampak begitu menawan.

Meskipun terbilang baru tiga bulan bekerja, Wonwoo sudah menghafal formulasi semua menu di cafe yang seharusnya baru ia pelajari tiga bulan lagi setelah ia menjadi pegawai tetap—itupun jika ia dianggap lolos pada masa training. Tidak ada yang mengajarkan padanya, Wonwoo mengetahuinya dengan cara memperhatikan diam-diam. Seperti saat ini, disaat ia harus menunggu barista menyiapkan secangkir conmelo, ia memperhatikan takaran serta perbandingan antara espresso, whipped cream dan caramel. Takaran dan perbandingan bahan-bahan harus sesuai dengan formulasi, tidak boleh lebih ataupun kurang demi menjaga cita rasa yang sama.

Hoseok yang saat itu tengah serius meracik conmelo merasa terus diperhatikan, ia menatap keponakannya dengan raut bertanya.

"Wae? Kau mau satu?"

Wonwoo menggeleng sebagai bentuk jawaban.

"Hanya mengawasi agar samchon tidak mengurangi takaran whipped creamnya lagi."

Hoseok medelik ketika lagi-lagi keponakannya membahas kejahatan yang pernah ia lakukan minggu lalu. Hoseok menarik Wonwoo ke area tertutup di belakang lemari pendingin.

"Pulang kerja nanti aku traktir tteokbokki sepuasnya."

Wonwoo mendengung, menimbang-nimbang tawaran dari Hoseok "Aku ingin makan nasi nanti malam. Bagaimana dengan galbitguk?"

Hoseok menatap keponakannya dengan wajah datar. Padahal ia sudah berbaik hati dengan menawarkan tteokbokki sepuasnya, dengan tidak tahu malu keponakannya meminta makanan mahal disaat isi dompetnya sudah keritis. Ia menghela nafas, sabarr

"Nanti kita bicarakan lagi sepulang kerja. Sekarang antarkan conmelo-nya ke meja tujuh sebelum Jeonghan dan Jihoon mengamuk."

Wonwoo tersenyum senang, beruntung baginya masih bisa makan enak di tanggal tua. Setidaknya ia masih bisa hidup hari ini, karena gajian masih tersisa tiga hari lagi dan saat ini Wonwoo sudah tidak memiliki uang sepeser pun.



🌸🌸


Wonwoo baru saja akan protes pada pamannya yang hanya terpaut usia dua tahun darinya, namun niat itu ia urungkan ketika Hoseok sudah menyumpal mulut Wonwoo dengan odeng yang masih mengepul. Hoseok tersenyum senang ketika keponakan satu-satunya yang sudah ia anggap adiknya sendiri merengut kesal dengan pipi penuh dengan odeng. Ia membiarkan lelaki yang lebih tinggi beberapa centimeter itu meminta seporsi tteokbokki tidak pedas dan beberapa cemilan lainnya. Kekesalan Wonwoo karena tidak jadi dibelikan galbitguk disalurkan dengan menghabiskan sebanyak mungkin makanan yang sudah ia pesan.

"Heii, pelan-pelan saja. Kalau masih kurang kau boleh pesan lagi."

"Tentu saja boleh. Semua ini tidak sebanding dengan semangkuk galbitguk."

Hoseok tertawa renyah. Keponakannya sungguh perhitungan. Sifat yang sama persis dengan mendiang kakak perempuannya. "Bagaimana dengan kuliah mu?"

"Setelah jadi pegawai tetap aku harus membeli pen tablet. Bisa kau bayangkan membuat animasi hanya dengan scanner dan mouse?"

Hoseok menggeleng "Yang aku tau hanya menari. Jangan menanyakan pertanyaan yang jelas jawabannya aku tidak tau."

Wonwoo menghela nafas, tentu saja, seharusnya ia tidak bertanya.

Hoseok dan Wonwoo, paman dan keponakan yang sejak kecil sudah melalui berbagai macam cobaan bersama, memiliki kecerdasan yang biasa saja, namun keberuntungan dan tekad yang kuat membuat mereka dapat berkuliah di Kyung Hee University, meskipun dengan jurusan yang berbeda. Hoseok dengan contemporary dance, sedangkan Wonwoo dengan visual information design.

Keduanya sebatangkara, kedua orang tua Wonwoo sudah meninggal sejak empat tahun lalu karena kecelakaan lalu lintas. Sedangkan Hoseok saat itu hanya memiliki satu kakak perempuan yang menitipkan anak semata wayangnya pada dirinya. Mereka berdua saling mengandalkan satu sama lain karena tidak memiliki kerabat lain yang bersedia membantu.

Sejak kepergian kedua orang tuanya Wonwoo dan Hoseok sudah terbiasa bekerja paruh waktu di beberapa tempat demi menyambung hidup mereka. Tidak banyak uang yang orang tua Wonwoo tinggalkan sehingga hanya mereka manfaatkan dengan baik untuk biaya pendidikan mereka berdua. Keberuntungan masih berpihak pada mereka karena kedua orang tua Wonwoo meninggalkan rumah yang masih layak untuk dihuni. Sehingga mereka masih bisa tidur dengan lelap di rumah mereka sendiri.

Wonwoo berdiri menyender di dinding luar kedai sambil memainkan smartphonenya, menunggu Hoseok membayar semua makanan yang telah mereka makan.

Setelah menghabiskan sepiring tteokbokki, tujuh tusuk odeng dan tiga tusuk hot bar, Hoseok akan berpikir kembali untuk menawarkan makan sepuasanya pada Wonwoo di lain waktu.

Karena terlalu fokus pada smartphonenya, Wonwoo tidak sadar beberapa orang yang berlalu lalang di hadapannya menatap dengan pandangan yang berbeda -lebih banyak pandangan kekaguman yang ditunjukkan.

Sinar lampu jalanan di depan kedai yang pada awalnya menerpa tubuh Wonwoo tiba-tiba gelap, seperti mentari yang tertutup awan tebal. Wonwoo mendongak –memutus kontaknya dengan smartphone— melihat pelaku yang mengusiknya.

Lelaki tan dengan turtle neck berwarna dark green menatapnya tajam.

Wonwoo tidak mengenalnya.

"Jeon Wonwoo?"

"Ya?"

Wonwoo menautkan alisnya ketika merasa namanya dipanggil.











"Berkencanlah dengan ku."





















"Kau tidak waras."


TBC


Dengan tidak tau diri akhirnya buat ff baru. Spesial buat Hoshilhouette yang udah kasih semangat buat lanjutin Dreaming Again. Tunggu ya tam aku masih bingung ngelanjutinnya TT

Ff ini aku persembahkan buat tamtam yang waktu itu pingin ff fluffy dan semuanya yang suka ff ringan gk kebanyakan konflik :"))

Coffee Addict [Meanie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang