Pertemuan ini selalu menjadi impianku sejak dulu. Seperti yang selalu kubayangkan, dia berdiri menjulang di depanku dengan mengenakan celana jeans dan kaus abu-abu polos ditimpa kemeja katun kotak-kotak yang dibiarkan tak dikancingi, membungkus postur tingginya dengan cara yang sangat keren. Wajahnya yang kecoklatan memiliki dua jerawat kecil yang menandakan kulitnya sehat, tidak kering dan tidak juga terlalu berminyak. Sementara rambutnya yang lurus sepanjang telinga membutnya terlihat seperti tokoh-tokoh cowok ganteng dalam komik Jepang.
Dia menatapku lekat-lekat, seolah tidak ingin melepaskanku lagi dari jangkauan pandangannya. Seolah ingin memenjarakanku untuk dijadikannya tawanan cinta yang hanya untuknya sendiri. Seolah ingin memerangkapku dalam sangkar rindu yang lama kosong menunggu. Tidak apa, aku pasrah menjadi tawanannya. Sudah lama kutunggu saat seperti ini.
"Dimi?"
Suaranya terdengar lebih bariton dibanding dulu, tapi tetap terdengar menenangkan.
"Jordy?" Aku merekahkan senyum, tanpa mampu melepaskan tatapanku pada hening kerinduan di telaga matanya.
"Dimi?" Suaranya terdengar lebih keras, agak melengking.
"Iya, Jordy, ini aku."
"Dimii!"
Astaga, suaranya sekarang berubah jauh lebih melengking seperti nada sopran seorang penyanyi dalam grup paduan suara. Aku mengerjap, buru-buru melenyapkan sisa senyumanku. Bayangan lelaki bertampang komik itupun leyap, berganti dengan munculnya sosok perempuan tinggi ramping berambut model bob yang dicat hitam legam, berkacak pinggang di pintu ruang istirahat karyawan. Seketika aku terlonjak bangkit, berdiri dengan keseimbangan yang payah, membuatku limbung dan nyaris terjungkal di depannya.
"Oh, Ibu yang memanggil saya?" Aku berusaha memunguti sisa harga diriku. Bagaimanapun, aku putri pemilik restoran ini yang baru saja selesai dari kursus singkat enam bulan di Le Cordon Bleu London dan sebentar lagi pasti akan menggantikan kedudukannya, menjadi orang yang paling berkuasa penuh atas restoran ini. Dia tidak bisa memandangku dengan tatapan meremehkan seperti itu lagi kalau sadar aku bisa membuatnya pensiun lebih dini.
"Bukan saya. Menteri Susi yang memanggilmu." Sisy mencoba bercanda dengan nada sinis. Dia selalu begitu, melemparkan sarkasme sadis yang garing kemana-mana.
"Ada apa?" Aku mengais-ngaiskan kaki ke kolong sofa tempatku berbaring tadi mencari flat shoes hitamku. Dapat. Aku langsung mengenakannya dengan ahli.
"Ada apa? Pertanyaan yang lebih tepat harusnya 'jam berapa sekarang'?" Dengan gaya menyebalkannya Sisy beratraksi menyibak lengan kemeja di pergelangan tangannya untuk menunjukkan jam tangan Alba yang mungkin warisan turun temurun keluarganya saking tua dan kunonya model jam itu. Kemudian dia menatapku lagi sambil mengangkat kedua alis runcingnya yang ketinggalan zaman.
"Sekarang bukan waktunya mimpi basah dan mendesah-desah memanggil nama seorang lelaki di dalam ruang istirahat. Balik ke dapur! Ada timbunan resep yang harus kamu eksekusi!"
Mendesah-desah katanya? Mimpi basah? Hey! Dia mungkin yang mimpi! Coba jelaskan bagaimana dia bisa bertahan begitu lama melajang tanpa mengusahakan kedatangan mimpi-mimpi erotis di malam-malamnya yang sepi? Dasar munafik.
Ketika dia berbalik pergi sambil mendongak, aku sangat ingin melempari punggungnya dengan kulit kacang yang berserakan di atas meja sisa kudapanku tadi, tapi akal sehatku menahan. Tunggu dua bulan lagi. Dua bulan lagi masa kerja perawan tua berusia hampir empat puluh tahun itu akan habis, dan bisa kuyakinkan papaku tidak akan memperpanjang kontraknya di sini. Aku yang akan menggantikannya. Okelah dia sudah sepuluh tahun di sini. Atau dua puluh? Aku tidak yakin. Jangan-jangan sudah seumur hidup. Papaku pasti sangat puas dengan kinerjanya sehingga selalu memperpanjang kontrak lima tahunnya—sungguh berbanding terbalik dengan yang dirasakan para karyawan lain—sampai-sampai dia bisa bertahan begitu lama.
YOU ARE READING
Janji Jordy
ChickLitDimitri, gadis yang paling tahu apa yang diinginkannya. termasuk bagaimana strategi memenangkan karir masa depan yang didambakan. Seumur hidupnya difokuskan pada satu tujuan, yaitu bisa meraih simpati ayah tirinya yang selalu memgagungkan kesempurn...