2. Jordy

16 1 0
                                    


Sebagian orang—terutama perempuan—berpikir bahwa lelaki adalah makhluk menjijikkan tak berperasaan yang cenderung memiliki hasrat kotor sampai-sampai otaknya tak bisa mengendalikan nafsunya lagi. Kebejatan seolah jadi label yang menempel di jidat kaum kami. Manusia bergender perempuan yang hidupnya penuh rasa takut oleh ancaman intimidasi seksual menganggap keperawanan mereka adalah mahkota yang harus dijaga dan hanya pantas diserahkan pada pangeran impian dengan sembilan kesempurnaan seperti dalam daftar yang mereka buat sejak masih balita. Hah, bodo amat. Tapi satu hal yang mereka pikir secara picik dan sok tahu, adalah bahwa pria tidak memiliki kecenderungan yang sama.

Maksudnya, kami para pria, suka seenaknya mengobral keperjakaan kami secara semena-mena ke siapa saja asal nafsu terpuaskan. Menurut mereka, lho. Picik, kan?

Jelas kami juga punya standar. Aku misalnya, bukan jenis cowok abege yang nafsunya sudah luber keluar dari otaknya, membuat air liurnya bertetesan kemana-mana sehingga rela menyisihkan uang jajan hanya untuk melepas keperjakaan pada pelacur tua atau gadis-gadis kurang cantik yang butuh uang buat nonton dan beli lipstik. Ada cara lebih elegan. Misalnya, punya pacar.

Aku sering menceramahi Arman tentang pentingnya punya pacar untuk memuaskan nafsu tak terkendali tanpa harus takut terkena penyakit menular atau keluar uang terlalu banyak, tapi sayangnya sejak masuk SMA sampai sekarang, Arman tetap saja kesulitan dapat pacar jadi belum pernah berhasil menerapkan strategiku. Dalam hal ini aku maklum, dari segi penampilan dia sangat jauh berbeda denganku. Aku bisa menjadikan seseorang sebagai kencan malam Mingguku hanya dengan mengedipkan sebelah mata saat cewek incaranku lewat di depan kelas, misalnya. Aku bahkan bisa bergonta-ganti cewek setiap malam Minggu dan sesumbar pada Arman mengenai apa-apa saja yang bisa kulakukan pada cewek-cewekku. Sementara Arman? Jangan tanya kalau buntutnya kita merasa kasihan. Sungguh, namanya saja yang lumayan keren.

Sayangnya, memacari anak SMA demi memenuhi kepuasan hasrat agak-agak sulit juga, mereka nggak mau membuka segel cepat-cepat. Kecuali yang segelnya sudah rusak, dan anehnya aku nggak berminat dengan jenis begini. Mengapa? Karena seperti yang kubilang tadi, keperjakaan bagi sebagian lelaki seperti aku juga penting. Tidak pada sembarang orang kami bisa melepaskannya. Sepertinya aku belum menemukan orang yang tepat untuk melepaskan segelku itu sampai hampir lima tahun sesudah lulus SMA. Jadilah, tak ada bedanya dengan Arman, aku tetap bisa menyelamatkan keperjakaanku.

Paling tidak, sampai dua minggu yang lalu.

Tidak ada yang patut kusesali dari melepaskan keperjakaan pada seorang perempuan luar biasa yang mampu membuat duniaku terbolak-balik dengan gugup seperti Helena. Benar dia bosku, pemilik kedai kopi tempat aku bekerja sebagai barista—baiklah, baru pelayan maksudku—selama dua bulan ini. Aku sudah lama menerima sinyal-sinyal yang dia nyalakan diam-diam di setiap ruang dalam keberadaanku dan jangan salahkan aku yang terlalu pandai menangkapnya.

Helena bukan perempuan biasa seperti yang kulihat pada sosok teman-teman SMA atau kuliahku (aku pernah ambil kuliah dua semester sebelum memutuskan hengkang karena semua orang juga tahu bagaimana membosankannya kuliah manajemen itu). Dia perempuan matang pemilik bisnis kedai kopi yang beromzet lumayan besar. Kemampuan otaknya dalam berpikir dan memilah sudut pandang, tentu sangat berbeda dengan otak cewek alay kebanyakan. Kepribadiannya jauh lebih anggun, tenang, dan setiap gerak-geriknya menjadikannya pusat perhatian dunia. Helena bisa dibilang cukup dewasa, secara harfiah, karena usianya juga sudah menginjak angka tiga puluh lima. Seusia dengan Vivian—kakak perempuanku yang sudah menikah dan punya dua orang anak—yang kebetulan memang teman sekolah Helena dulu.

Hanya satu kekurangan Helena, dia sudah bersuami.

Dua minggu lalu, semesta memberikan berbagai pertanda padaku untuk memahami kebutuhan Helena yang paling mendasar dan mungkin tidak bisa didapatkannya. Yaitu, cinta. Suplemen pokok yang bisa menggerakkan otak, jantung dan tubuh manusia secara sinergi itu kerontang dalam jiwa Helena. Suaminya yang kebangsaan Australia tidak tinggal di sini bersamanya. Dia hanya sesekali datang, mungkin dua atau paling banyak enam kali dalam setahun. Angka yang seimbang dengan jumlah kunjungan Helena ke negeri kanguru itu. Mereka jarang bersama-sama, dan hanya mereka berdua serta Tuhan yang tahu mengapa tidak ada salah satu dari keduanya yang berani mengalah untuk tinggal di negara pasangan. Cinta tanah air pastilah bukan alasan yang sesungguhnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 30, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Janji JordyWhere stories live. Discover now