"Cih, menyebalkan! Nilai jujur diomelin, nilai bagus tapi nyontek dipuja puja. Pendidikan macam apa ini! Sekalipun kemaren ada setan yang mau ngebantuin, gue tetep nggak mau!"
Laki-laki itu meremas kuat kertas yang digenggamnya, seolah melampiaskan semua amarahnya pada kertas tak berdosa itu. Dibukanya kran air di hadapannya, membiarkan air, yang juga tak berdosa, mengalir terbuang begitu saja. Pantulan wajah tampannya di cermin tampak tersenyum licik seperti pemeran antagonis dalam sinetron Indonesia yang sedang memikirkan niat jahat.
"Dari pada memusnahkan benda ini di rumah, mendingan musnahinnya di sini saja sekalian. Bukannya menyelesaikan masalah lebih baik dengan cara dingin?"
Laki-laki itu, Radith, menatap jijik dalam-dalam nilai bertinta merah itu, bibirnya tetap tersenyum, "Selamat tinggal nilaiku. Muach"
Setelah ucapan perpisahan dan kecupan manis pada kertasnya, tanpa rasa ragu sedikit pun, laki-laki itu perlahan mempertemukan kertasnya dengan air yang seharusnya tidak menjadi pasangannya.
Setengah kertas itu basah menyerap molekul-molekul air. Tinta merah yang menghiasi kertas itu semakin berestetik lantaran lunturannya membentuk corak-corak abstrak yang unik. Senyum licik itu masih menghiasi wajahnya. Laki-laki itu sama sekali tidak menyesali nilainya yang memalukan, ia hanya sekadar merasa muak lantaran kejadian di ruang wakasek tadi. Ya, Radith muak.
Air itu hampir menyentuh seluruh permukaan kertas, hingga sebuah suara yang terdengar samar-samar menghentikan tingkah konyol Radith. Laki-laki itu menutup kran air, lalu diam, memastikan suara yang baru saja mampir ke gendang telinganya.
"Bodoh, setelah itu apa?"
Benar, suara perempuan.
Ucap Radith dalam hati. Laki-laki itu spontan berbalik, keningnya berkerut, matanya menyeleksi dengan cepat toilet yang saat itu memang kosong. Laki-laki itu menjadi waspada, takut-takut ada kejadian aneh yang akan dialaminya, semisal pelecehan terhadap lelaki tampan di toilet umum sekolah.
"Heh, siapa lu? Ini toilet cowok. Toilet cewek di samping!"
Suara Radith menggelegar ke seisi toilet. Untung lagi jam pelajaran, kalau tidak, mungkin sudah banyak orang yang menghampiri Radith saat ini.
Suara itu hanya tertawa. Kening Radith semakin berkerut. Rasa kesal karena dipermainkan kini menyelimuti dirinya, bersama dengan rasa penasaran terhadap suara itu menggugurkan semua amarahnya dari kertas yang kini tergeletak begitu saja di wastafel.
"Dih, ketawa. Lu siapa? Mau apa di sini?"
"Mau bantuin kamu."
Radith tertegun, bantuin apa?
"Lu setan, ya?" Wajah Radith sekarang mulai memucat.
"Bukan."
"Bohong. Pasti setan. Keluar gak!"
Dalam hati, "Bego, kenapa lu nantangin, Radithya."
"Dibilangin bukan. Mau ngeliat?"
Radith diam, berpikir sejenak, lalu dengan ragu menjawab,
"Eh? Serem nggak? Kalau serem, nggak mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
GHOST DEAL
Teen FictionGhost Deal? Perjanjian dengan setan? Kesepakatan dengan hantu? Mana boleh seperti itu! Ini bukan drama korea, kan? Namun, mengapa aku merasa seperti pemeran utama dalam sebuah cerita romance remaja? Apakah aku salah mencintaimu? Setidaknya biarkan a...